“Kamu Nata, ya?”
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya menyediakan dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
***
Nata sudah memutuskan apa yang ingin ia lakukan, dua hari sebelum meninggalkan pekerjaannya sekarang. Niatan ini bermula ketika pada suatu malam di sebuah kafe, ia kehabisan topik pembicaraan saat sedang berdua dengan teman kencannya. Perempuan itu, yang sejak awal memang terlihat terlalu cantik untuk Nata, sibuk memeriksa telepon genggam meski tak mengeluarkan bunyi apapun. Tindakan seperti ini umum dikenal sebagai simbol kencan yang gagal. Tak ada yang bisa Nata lakukan, kecuali antara diam dan melihat keadaan sekitarnya, atau melanjutkan perbincangan yang dipaksakan. Ia memilih yang pertama. Nata mulai memerhatikan kekurangan-kekurangan yang ia temui di kafe itu.
“Bangku ini terasa kurang nyaman. Barangkali ini yang membuat kencanku gagal. Suasana nyaman punya andil sekitar 80% dalam keberhasilan kencan.”
Dari sana, pandangan kritis Nata mulai mengalir. Dengan cepat ia bisa menemukan hal-hal yang dengan mudah ia kritisi tentang kafe itu. Persis seperti seorang kritikus film yang dapat dengan tajam menelaah elemen naratif dan visual. Nata merasa menemukan bakat yang tak ia sadari selama ini. Ketika itulah gagasan ini muncul di pikirannya.
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya menyediakan dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
***
Nata sudah memutuskan apa yang ingin ia lakukan, dua hari sebelum meninggalkan pekerjaannya sekarang. Niatan ini bermula ketika pada suatu malam di sebuah kafe, ia kehabisan topik pembicaraan saat sedang berdua dengan teman kencannya. Perempuan itu, yang sejak awal memang terlihat terlalu cantik untuk Nata, sibuk memeriksa telepon genggam meski tak mengeluarkan bunyi apapun. Tindakan seperti ini umum dikenal sebagai simbol kencan yang gagal. Tak ada yang bisa Nata lakukan, kecuali antara diam dan melihat keadaan sekitarnya, atau melanjutkan perbincangan yang dipaksakan. Ia memilih yang pertama. Nata mulai memerhatikan kekurangan-kekurangan yang ia temui di kafe itu.
“Bangku ini terasa kurang nyaman. Barangkali ini yang membuat kencanku gagal. Suasana nyaman punya andil sekitar 80% dalam keberhasilan kencan.”
Dari sana, pandangan kritis Nata mulai mengalir. Dengan cepat ia bisa menemukan hal-hal yang dengan mudah ia kritisi tentang kafe itu. Persis seperti seorang kritikus film yang dapat dengan tajam menelaah elemen naratif dan visual. Nata merasa menemukan bakat yang tak ia sadari selama ini. Ketika itulah gagasan ini muncul di pikirannya.