Saya antusias sekali ketika dulu mengetahui GagasMedia menerbitkan novel-novel dengan tema Indonesiana. Menurut saya, novel dengan tema Indonesia memiliki sesuatu yang menarik untuk ditawarkan. Terlebih di tengah menjamurnya novel-novel Indonesia dengan tema luar negeri.
Sebagai orang Indonesia, kadang kita menyepelekan hal ini. Saya orang Indonesia, apa sih yang tidak saya tahu tentang Indonesia?
Ketika membaca novel "Kita dan Rindu yang Tak Terjawab" karya Dian Purnomo ini, terbukti anggapan saya salah dan benar. Anggapan saya salah ketika berpikir saya mengetahui segala hal tentang Indonesia, karena ketika membaca novel ini ada banyak hal yang rupanya tak saya ketahui. Di sisi lain, anggapan saya juga benar, karena novel ini sangat menarik untuk dibaca. Sebuah kisah cinta dan persahabatan dalam balutan tema adat Batak. Berikut ini ulasannya.
Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Naiza yang mendapat tuntutan menikah oleh kedua orangtuanya. Tuntutan ini menjadi sebuah beban karena kedua orangtua Naiza berharap anaknya menikah dengan laki-laki Batak agar dapat meneruskan adat. Naiza dijodohkan dengan Sydney, seorang pemuda keturunan Batak yang masa depannya terlihat cerah . Naiza selalu mengeluhkan situasinya pada Tantra, sahabatnya sejak kecil-kadang bahkan terlihat lebih dari sahabat . Tantra adalah seorang pemuda cerdas yang sangat perhatian pada Naiza dan sedang melanjutkan studi di Belanda.
Saya merasa novel ini memiliki unsur cerita yang lengkap. Alur ceritanya disampaikan dengan sangat baik sehingga saya tak bisa berhenti membalik tiap halaman. Konflik utama dalam novel ini terasa sangat kuat, ditambah dengan konflik-konflik tambahan yang semakin memperkuat cerita. Contohnya saja, Naiza dihadapkan pada kondisi kesehatan jantung ayahnya, sehingga membuatnya ingin membahagiakan ayahnya. Juga ada konflik tambahan lain seperti hubungan Naiza dan Tantra yang sangat manis, serta hubungan baik keluarga Naiza dan keluarga Tantra yang membawa dilema.
Karakteriasi tiap tokoh ini disampaikan dengan sangat baik sehingga kita bisa ikut merasakan emosi dan alasan tindakan tiap-tiap tokohnya. Seperti misalnya tokoh Naiza yang kadang membuat saya kesal karena seolah tak berani mengambil sikap tegas atas tuntutan menikah dari kedua orangtuanya. Namun, Naiza rupanya memiliki alasan mengapa ia bersikap seperti itu. Juga melalui tema adat, di satu sisi saya bisa mengerti alasan kedua orangtua Naiza yang ingin menikahkan anaknya dengan Sydney. Namun di sisi lain saya merasa ikut kesal dengan keegoisan mereka. Perpaduan-perpaduan inilah yang membuat saya makin menikmati cerita.
Saya bisa menemukan kisah cinta dan persahabatan Naiza sebagai tokoh utama novel. Saya juga bisa menemukan kisah yang menawarkan nilai-nilai keluarga yang terdapat pada tokoh Tantra dan kedua orangtuanya. Selain itu, saya juga jadi bisa memahami sudut pandang orang tua yang sangat menjaga adat, khususnya Batak, seperti kutipan dialog Ibu Naiza berikut ini.
"Kau tahulah, Nai. Kau ini boru sasada. Cuma satu harta kami ini, kau. Kalau kau tak teruskan adat kami ini, lalu siapa yang mau melanjutkan? Mati sudah Situmorang dari papamu. Tak ada sudah adatnya. Tapi kalau kau kawin sama Batak, masih berlanjut boru Situmorang ini. Masih jadi hula-hula (pihak keluarga dari istri)-nya kita di mata keluarga suamimu nanti. Kita masih dihormati dalam setiap adat Batak. Coba kalau kau kawin sama Sunda atau Jawa atau Manado. Kau ikut adat mereka. Kau dan anak-anakmu tak pernah lagi makan arsik dan ombus-ombus (makanan khas Batak). Lama-lama tak ada acara adat yang kau datangi, anak-anakmu tak kau adati. Berhenti sudah adat kita ini. Habis pula lama-lama Situmorang di muka bumi ini."
Dari kutipan ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya pertimbangan pernikahan satu suku itu, didasarkan pada pertimbangan menjaga tradisi dan adat yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Keinginan menjaga adat menjadi sebuah kebangaan dan hal yang mulia. Bagaimana mungkin Naiza bisa menentang semua ini?
Meski mengangkat tema adat, novel ini jauh dari kesan membosankan. Saya justru merasa novel ini merupakan kisah sehari-hari yang sangat manis. Entah bagaimana saya selalu tersenyum kecil ketika membaca hubungan antara Tantra dan Naiza yang sangat menyenangkan. Tentang hubungan kedua tokoh ini, lebih baik kalian baca sendiri saja ya kelanjutan kisah mereka. Kadang saya juga tersenyum sendiri ketika mengikuti cerita atau membaca dialog tokoh-tokohnya. Seperti contohnya satu bagian di halaman 123 yang membuat saya terdiam sejenak ketika membacanya.
Setelah selesai membacanya, saya jadi merefleksikan keberagaman dalam sebuah pertanyaan.
Apakah mencintai keberagaman yang diciptakan Tuhan merupakan sesuatu yang salah?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat kamu temukan dalam novel Kita dan Rindu yang Tak Terjawab ini.
Sebagai orang Indonesia, kadang kita menyepelekan hal ini. Saya orang Indonesia, apa sih yang tidak saya tahu tentang Indonesia?
Ketika membaca novel "Kita dan Rindu yang Tak Terjawab" karya Dian Purnomo ini, terbukti anggapan saya salah dan benar. Anggapan saya salah ketika berpikir saya mengetahui segala hal tentang Indonesia, karena ketika membaca novel ini ada banyak hal yang rupanya tak saya ketahui. Di sisi lain, anggapan saya juga benar, karena novel ini sangat menarik untuk dibaca. Sebuah kisah cinta dan persahabatan dalam balutan tema adat Batak. Berikut ini ulasannya.
Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Naiza yang mendapat tuntutan menikah oleh kedua orangtuanya. Tuntutan ini menjadi sebuah beban karena kedua orangtua Naiza berharap anaknya menikah dengan laki-laki Batak agar dapat meneruskan adat. Naiza dijodohkan dengan Sydney, seorang pemuda keturunan Batak yang masa depannya terlihat cerah . Naiza selalu mengeluhkan situasinya pada Tantra, sahabatnya sejak kecil-kadang bahkan terlihat lebih dari sahabat . Tantra adalah seorang pemuda cerdas yang sangat perhatian pada Naiza dan sedang melanjutkan studi di Belanda.
Saya merasa novel ini memiliki unsur cerita yang lengkap. Alur ceritanya disampaikan dengan sangat baik sehingga saya tak bisa berhenti membalik tiap halaman. Konflik utama dalam novel ini terasa sangat kuat, ditambah dengan konflik-konflik tambahan yang semakin memperkuat cerita. Contohnya saja, Naiza dihadapkan pada kondisi kesehatan jantung ayahnya, sehingga membuatnya ingin membahagiakan ayahnya. Juga ada konflik tambahan lain seperti hubungan Naiza dan Tantra yang sangat manis, serta hubungan baik keluarga Naiza dan keluarga Tantra yang membawa dilema.
Karakteriasi tiap tokoh ini disampaikan dengan sangat baik sehingga kita bisa ikut merasakan emosi dan alasan tindakan tiap-tiap tokohnya. Seperti misalnya tokoh Naiza yang kadang membuat saya kesal karena seolah tak berani mengambil sikap tegas atas tuntutan menikah dari kedua orangtuanya. Namun, Naiza rupanya memiliki alasan mengapa ia bersikap seperti itu. Juga melalui tema adat, di satu sisi saya bisa mengerti alasan kedua orangtua Naiza yang ingin menikahkan anaknya dengan Sydney. Namun di sisi lain saya merasa ikut kesal dengan keegoisan mereka. Perpaduan-perpaduan inilah yang membuat saya makin menikmati cerita.
Saya bisa menemukan kisah cinta dan persahabatan Naiza sebagai tokoh utama novel. Saya juga bisa menemukan kisah yang menawarkan nilai-nilai keluarga yang terdapat pada tokoh Tantra dan kedua orangtuanya. Selain itu, saya juga jadi bisa memahami sudut pandang orang tua yang sangat menjaga adat, khususnya Batak, seperti kutipan dialog Ibu Naiza berikut ini.
"Kau tahulah, Nai. Kau ini boru sasada. Cuma satu harta kami ini, kau. Kalau kau tak teruskan adat kami ini, lalu siapa yang mau melanjutkan? Mati sudah Situmorang dari papamu. Tak ada sudah adatnya. Tapi kalau kau kawin sama Batak, masih berlanjut boru Situmorang ini. Masih jadi hula-hula (pihak keluarga dari istri)-nya kita di mata keluarga suamimu nanti. Kita masih dihormati dalam setiap adat Batak. Coba kalau kau kawin sama Sunda atau Jawa atau Manado. Kau ikut adat mereka. Kau dan anak-anakmu tak pernah lagi makan arsik dan ombus-ombus (makanan khas Batak). Lama-lama tak ada acara adat yang kau datangi, anak-anakmu tak kau adati. Berhenti sudah adat kita ini. Habis pula lama-lama Situmorang di muka bumi ini."
Dari kutipan ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya pertimbangan pernikahan satu suku itu, didasarkan pada pertimbangan menjaga tradisi dan adat yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Keinginan menjaga adat menjadi sebuah kebangaan dan hal yang mulia. Bagaimana mungkin Naiza bisa menentang semua ini?
Meski mengangkat tema adat, novel ini jauh dari kesan membosankan. Saya justru merasa novel ini merupakan kisah sehari-hari yang sangat manis. Entah bagaimana saya selalu tersenyum kecil ketika membaca hubungan antara Tantra dan Naiza yang sangat menyenangkan. Tentang hubungan kedua tokoh ini, lebih baik kalian baca sendiri saja ya kelanjutan kisah mereka. Kadang saya juga tersenyum sendiri ketika mengikuti cerita atau membaca dialog tokoh-tokohnya. Seperti contohnya satu bagian di halaman 123 yang membuat saya terdiam sejenak ketika membacanya.
Setelah selesai membacanya, saya jadi merefleksikan keberagaman dalam sebuah pertanyaan.
Apakah mencintai keberagaman yang diciptakan Tuhan merupakan sesuatu yang salah?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat kamu temukan dalam novel Kita dan Rindu yang Tak Terjawab ini.
Kita dan Rindu yang Tak Terjawab
(viii+280 halaman)
Penerbit: GagasMedia
Penulis: Dian Purnomo
Editor: Tesara Rafiantika & Nurul Hikmah
Penyelaras Aksara: Idha Umamah
Penata Letak: Putra Julianto
Desainer Sampul: Agung Nugroho
(viii+280 halaman)
Penerbit: GagasMedia
Penulis: Dian Purnomo
Editor: Tesara Rafiantika & Nurul Hikmah
Penyelaras Aksara: Idha Umamah
Penata Letak: Putra Julianto
Desainer Sampul: Agung Nugroho