Malam itu, sekitar pukul 10, aku mengajak Ayahku berbicara di ruang tamu. Kukatakan padanya bahwa aku ingin berhenti bekerja kantoran dan ingin menjadi penulis. Tatapannya resah. Dari semua keputusan hidup yang kuambil, baru kali ini ia terlihat demikian resah.
Menjadi penulis, mengapa aku ingin melakukannya?
Semua berhubungan dengan ide tentang novel pertamaku "Rindu yang Membawamu Pulang." Aku harus mengajakmu sedikit ke belakang, beberapa bulan sebelum malam di ruang tamu tersebut.
Permasalahannya, kebencian yang didasari oleh perbedaan adalah hal yang masih terjadi di negeri ini.
Saat itu aku merasa harus melakukan sesuatu. Aku sadar bahwa aku bukan seorang yang memiliki banyak bakat. Sejak kecil hanya ada satu kemampuan yang aku miliki, menulis. Kupikir, hanya dengan menulislah, aku bisa melakukan sesuatu.
Saat itu ide tentang novel ini masih belum muncul. Aku hanya memiliki keresahan yang tenggelam dalam rutinitas bekerja sehari-hari. Aku selalu disibukkan dengan klien, acara-acara kantor, serta kesibukan lain yang menjadi tanggung jawabku. Namun, keresahan itu masih ada, keresahan untuk menulis. Saat itulah, aku menyadari bahwa aku sudah lebih dari dua tahun meninggalkan dunia menulis.
Terkadang memang kita baru menyadari apa yang kita cintai, setelah kita jauh darinya.
Dengan tidak menulis selama itu, aku jadi menyadari bahwa aku sangat merindukan menulis. Rupanya memang demikianlah kehidupan. Ia membawaku pergi jauh dari dunia menulis, hanya untuk mengingatkanku bahwa aku sangat mencintai menulis. Saat itu aku baru menyadari betapa pentingnya arti sebuah kegiatan sederhana bernama menulis, untuk hidupku. Hanya dengan menulis aku merasa bisa memberikan arti bagi hidupku dan orang-orang yang membaca tulisanku kelak.
Ada banyak kisah tentang perbedaan yang sudah dituliskan, atau difilmkan. Namun, semua kisah itu belum bisa menjawab pertanyaanku, mengapa harus ada perbedaan di negeri ini?
Pertanyaan tersebut yang kemudian memberikan ide tentang kisah cinta Ling dan Gun (tokoh-tokoh dalam novelku ini). Melalui mereka, aku ingin mencari tahu penyebab perbedaan di negeri ini. Di sela-sela kesibukan kantor, aku banyak membaca. Aku terpesona dengan penggambaran keindahan Batavia di masa lalu. Kota itu demikian indahnya, hingga mendapat julukan "Ratu dari Timur" oleh orang-orang Eropa. Tiba-tiba aku membayangkan kisah cinta di sebuah kota yang sangat indah. Memikirkannya saja, saat itu aku sudah terbayang sebuah kisah cinta yang romantis antara Ling dan Gun.
Ya, saat itu lahirlah ide utuh tentang novel ini: Kisah Ling seorang Tionghoa dan Gun seorang Pribumi, di kota Batavia yang begitu indah. Melalui kisah ini, aku ingin menunjukkan indahnya kisah tentang perbedaan. Aku ingin menjelaskan mengapa perbedaan antara "pribumi" dan "keturunan Tionghoa" bisa terjadi di Indonesia. Serta tentu aku ingin menceritakan kisah cinta yang romantis antara Ling dan Gun di kota Batavia, Ratu dari timur.
Satu hal lain yang akhirnya kupahami ketika menulis novel ini, rupanya Tuhan menciptakan cinta, bukan tanpa alasan. Cinta adalah jawaban untuk menyatukan perbedaan. Cinta tak akan pernah memedulikan rasmu, sukumu, agamamu, asal-usulmu. Saat dua orang saling mencintai, mereka tak akan merasa berbeda. Mereka akan merasa satu. Cinta adalah kekuatan yang menyatukan kita. Keluarga ada karena cinta. Sahabat ada karena cinta. Atau misalnya, kecintaan kita pada negeri inilah yang membuat kita bersatu sebagai seorang Indonesia.
Aku sadar, butuh banyak riset dan kerja keras untuk mengerjakan novel ini. Jika aku mengerjakannya hanya seperempat waktu, rasanya novel ini tak akan selesai. Saat itulah, akhirnya aku mengambil keputusan, barangkali keputusan penting dalam hidupku. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja kantoran. Aku sampaikan niatku ini pada Ayahku, malam itu di ruang tamu pukul 10. Ia resah. Baru pertama kali aku melihat matanya seresah itu. Namun akhirnya ia bisa menerima keputusanku.
Butuh waktu yang sangat panjang untuk mengerjakan novel ini. Aku tahu bahwa dengan mengambil latar tempat di Batavia, ada banyak riset yang harus aku lakukan. Aku melakukan riset sampai 1 tahun, hanya membaca, mencatat, dan belum menulis sama sekali. Setelah merasa cukup, akhirnya aku menulis cerita ini selama beberapa bulan. Jadi jika ditotalkan, novel "Rindu yang Membawamu Pulang" ini membutuhkan waktu hampir 1,5 tahun untuk membuatnya.
Saat itu, dan sampai hari ini, aku percaya bahwa sebenarnya semua orang bisa menulis. Namun tak semua orang berani melakukannya dan menjadi penulis. Hanya terima kasih pada Tuhan, yang bisa kusampaikan, karena ia menitipkan keberanian itu padaku.
Kuharap novel ini bisa membuat kita semua mencintai perbedaan.
Tak hanya itu, novel ini juga merupakan pesan untuk para pembaca di luar sana. Dengan terbitnya novel ini, aku ingin menunjukkan bahwa terkadang kita harus berani dalam melakukan sesuatu. Segalanya bisa kita capai asalkan kita berani untuk melakukannya. Siapalah hidup, yang bisa mengatur kita untuk melakukan apa.
Aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada GagasMedia karena telah memberikan kesempatan padaku untuk menerbitkan novel ini. Bagiku, kesempatan ini adalah sebuah kepercayaan yang sangat berharga, dukungan yang sangat kubutuhkan.
Semoga kerja kerasku dan GagasMedia dalam menerbitkan novel ini bisa diapresiasi dengan baik oleh kalian, para pembaca.
Oh ya, jangan lupa, ada banyak pihak yang bekerja keras siang-malam dalam proses penerbitan sebuah buku. Dengan membeli buku yang asli, secara langsung kamu telah memberi dukungan pada penulis dan penerbit untuk menerbitkan buku-buku selanjutnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam membeli, jangan beli buku/download PDF bajakan. :)
Selamat membaca, selamat menulis!
November 2015
Ario Sasongko
Berkali-kali aku mencoba menepismu, menamaimu cinta yang tak tentu arah.
Benarkah kita tak bisa memberi kesempatan pada sesuatu yang tak akan pernah sama?
Aku tak paham banyak tentang cinta, tetapi bukankah kita hanya perlu merasakannya?
Mereka bertemu di antara perbedaan. Bagi Gun dan Ling, cinta tak pernah mudah dimengerti. Tidak juga mudah dimiliki. Bertahan dalam ketidakpastian membuat mereka ingin menyerah walau tak pernah sanggup saling melepaskan. Atas nama dua hati yang saling mencintai, keduanya berpegang pada janji yang tak sempat terucap. Bentangan jarak dan waktu bukan halangan. Rindu akan membawa pulang.
Namun, masih cukupkah rindu yang mereka miliki?
Penulis: Ario Sasongko
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 240 hlm
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-844-0
Harga: Rp 56.000,-