(Novel "Rindu yang Membawamu Pulang" sudah dapat dibeli di toko buku)
Gun mengulurkan tangannya pada Ling. Gadis ini menutup mulutnya, tertawa lebar dan menyambut uluran tangan tersebut. Berdansalah mereka dalam alunan biola yang membawa hati. Mereka menari di bawah purnama malam ini. Jalanan menjelma lantai dansa. Ling terus tersenyum. Ia pandangi mata Gun yang sejak tadi tak lepas menatap wajahnya. Ling dapat merasakan degup jantung di dada Gun. Ia dapat rasakan degup jantung itu bertambah cepat dan hangat. Gun merapatkan tubuhnya. Di dalam batin, Gun berkeinginan untuk meminta waktu berhenti sampai begini saja. Kemudian Gun teringat pada sebuah hal.
“Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, Ling.”
“Tentang apa?”
“Membawamu berdansa di tempat ini. Aku ucapkan janji itu sewaktu menuntun kereta anginku yang sedang rusak. Malam-malam, persis seperti sekarang.”
“Jangan kau mulai jadi buaya lagi kepadaku. Kau ini sungguh punya bakat buaya keroncong.”
“Tidak, Ling. Aku sungguh pernah ucapkan itu pada diriku sendiri.”
“Atas alasan apa kau ingin mengajakku berdansa di sini?”
Jantung Gun menjadi semakin berdebar.
Gun mengulurkan tangannya pada Ling. Gadis ini menutup mulutnya, tertawa lebar dan menyambut uluran tangan tersebut. Berdansalah mereka dalam alunan biola yang membawa hati. Mereka menari di bawah purnama malam ini. Jalanan menjelma lantai dansa. Ling terus tersenyum. Ia pandangi mata Gun yang sejak tadi tak lepas menatap wajahnya. Ling dapat merasakan degup jantung di dada Gun. Ia dapat rasakan degup jantung itu bertambah cepat dan hangat. Gun merapatkan tubuhnya. Di dalam batin, Gun berkeinginan untuk meminta waktu berhenti sampai begini saja. Kemudian Gun teringat pada sebuah hal.
“Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, Ling.”
“Tentang apa?”
“Membawamu berdansa di tempat ini. Aku ucapkan janji itu sewaktu menuntun kereta anginku yang sedang rusak. Malam-malam, persis seperti sekarang.”
“Jangan kau mulai jadi buaya lagi kepadaku. Kau ini sungguh punya bakat buaya keroncong.”
“Tidak, Ling. Aku sungguh pernah ucapkan itu pada diriku sendiri.”
“Atas alasan apa kau ingin mengajakku berdansa di sini?”
Jantung Gun menjadi semakin berdebar.
Barangkali inilah saat yang paling baik. Ia yakinkan batinnya. Ia pandangi wajah Ling, gadis idamannya yang sungguh membuatnya jatuh hati. Ia sadar betul dalam dirinya perihal perasaan ini. Ia sadar betul akan sebuah kenyataan bahwa gadis inilah yang sungguh membuatnya gila.
“Aku cinta kau, Ling.”
Diucapkanlah perasaannya itu pada kali pertama. Ucapan ini seperti membawa Ling kembali ke bumi. Kakinya jadi terasa berat dan napasnya menjadi tak baik. Tiba-tiba saja senyuman itu hilang. Tubuhnya kini tak mau menurut pada irama lagu yang masih sanggup ia dengar. Kerisauan datang setelah Ling mendengar apa yang Gun ucapkan padanya. Tiba-tiba saja matanya tak sanggup memandang Gun. Pemuda ini menyadari perubahan dalam diri Ling. Firasatnya mengatakan kalau keadaan akan menjadi tak baik.
“Ucapanmu itu terlalu jauh, Gun.”
Ling melepaskan dirinya. Ia berhenti di sana, berdiri dan hanya menatap Gun.
“Mengapa berhenti? Kalian ingin lagu yang lain?”
Para pemain musik itu rupanya menyadari keadaan ini.
“Tidak. Kami ingin segera pulang. Terima kasih atas permainan musik kalian.”
Ling lekas berjalan setelah mengucapkan itu. Gun kini mencoba menyusulnya dengan menuntun kereta angin.
“Ling, apa ada yang salah dengan ucapanku?”
“Aku ingin sendiri, Gun.”
“Ling, tunggulah! Tak baik kau berjalan sendiri pada malam begini. Biar kau kuantar.”
“Terima kasih banyak. Tapi, aku sedang tak ingin membicarakan ini. Aku ingin sendiri.”
“Baiklah, aku takkan mengajakmu bicara. Tapi, paling tidak beri aku izin mengantarmu sampai tempat yang baik.”
Ling menghentikan langkahnya.
“Maaf, sekali lagi aku merepotkanmu.”
Ling menaiki kereta angin itu. Malam ini menjadi dingin. Mereka tak mengucapkan apa pun juga dalam perjalanan ini. Kini Gun merasa Ling berada jauh sekali. Ia berada terlalu jauh sampai Gun tak sanggup menemukan keberadaannya lagi. Hati Gun menjadi berat, ia rasa malam ini tidurnya takkan nyenyak.
Ling meminta turun pada tempat yang ia anggap sudah baik untuk berjalan kaki. Tak seperti biasanya, Ling hanya mengucapkan terima kasih tanpa menatap Gun sama sekali. Ling berjalan pergi dalam malam. Gun memandangi gadis itu, yang kemudian hilang pada sebuah perempatan. Gun mendapati dirinya kini seorang diri saja. Meratap pada langit.
Rasa kecewa muncul dan menyeruak begitu saja dalam batinnya. Malam itu, Gun tenggelam dalam sebuah perasaan yang tak baik. Batinnya menjadi diam dan tanpa ia sadari, matanya mulai menggenang. Satu tetes jatuh persis di lengannya. Air hujan. Malam ini berganti begitu saja. Langit yang demikian cerah pada akhirnya menurunkan hujan. Dalam hujan itulah kemudian Gun menangis. Ia bersandar pada langit yang seperti mengerti betul perasaannya. Air matanya kini menyatu bersama hujan. Ia selimuti kesedihan dalam dirinya di balik malam. Luruh sudah rambutnya yang telah ia tata rapi itu. Kembalilah Gun menjadi dirinya, seorang yang tak patut dipersatukan dengan seorang Tionghoa.
(Novel Rindu yang Membawamu Pulang, sudah dapat dibeli di toko buku terdekat.)
“Aku cinta kau, Ling.”
Diucapkanlah perasaannya itu pada kali pertama. Ucapan ini seperti membawa Ling kembali ke bumi. Kakinya jadi terasa berat dan napasnya menjadi tak baik. Tiba-tiba saja senyuman itu hilang. Tubuhnya kini tak mau menurut pada irama lagu yang masih sanggup ia dengar. Kerisauan datang setelah Ling mendengar apa yang Gun ucapkan padanya. Tiba-tiba saja matanya tak sanggup memandang Gun. Pemuda ini menyadari perubahan dalam diri Ling. Firasatnya mengatakan kalau keadaan akan menjadi tak baik.
“Ucapanmu itu terlalu jauh, Gun.”
Ling melepaskan dirinya. Ia berhenti di sana, berdiri dan hanya menatap Gun.
“Mengapa berhenti? Kalian ingin lagu yang lain?”
Para pemain musik itu rupanya menyadari keadaan ini.
“Tidak. Kami ingin segera pulang. Terima kasih atas permainan musik kalian.”
Ling lekas berjalan setelah mengucapkan itu. Gun kini mencoba menyusulnya dengan menuntun kereta angin.
“Ling, apa ada yang salah dengan ucapanku?”
“Aku ingin sendiri, Gun.”
“Ling, tunggulah! Tak baik kau berjalan sendiri pada malam begini. Biar kau kuantar.”
“Terima kasih banyak. Tapi, aku sedang tak ingin membicarakan ini. Aku ingin sendiri.”
“Baiklah, aku takkan mengajakmu bicara. Tapi, paling tidak beri aku izin mengantarmu sampai tempat yang baik.”
Ling menghentikan langkahnya.
“Maaf, sekali lagi aku merepotkanmu.”
Ling menaiki kereta angin itu. Malam ini menjadi dingin. Mereka tak mengucapkan apa pun juga dalam perjalanan ini. Kini Gun merasa Ling berada jauh sekali. Ia berada terlalu jauh sampai Gun tak sanggup menemukan keberadaannya lagi. Hati Gun menjadi berat, ia rasa malam ini tidurnya takkan nyenyak.
Ling meminta turun pada tempat yang ia anggap sudah baik untuk berjalan kaki. Tak seperti biasanya, Ling hanya mengucapkan terima kasih tanpa menatap Gun sama sekali. Ling berjalan pergi dalam malam. Gun memandangi gadis itu, yang kemudian hilang pada sebuah perempatan. Gun mendapati dirinya kini seorang diri saja. Meratap pada langit.
Rasa kecewa muncul dan menyeruak begitu saja dalam batinnya. Malam itu, Gun tenggelam dalam sebuah perasaan yang tak baik. Batinnya menjadi diam dan tanpa ia sadari, matanya mulai menggenang. Satu tetes jatuh persis di lengannya. Air hujan. Malam ini berganti begitu saja. Langit yang demikian cerah pada akhirnya menurunkan hujan. Dalam hujan itulah kemudian Gun menangis. Ia bersandar pada langit yang seperti mengerti betul perasaannya. Air matanya kini menyatu bersama hujan. Ia selimuti kesedihan dalam dirinya di balik malam. Luruh sudah rambutnya yang telah ia tata rapi itu. Kembalilah Gun menjadi dirinya, seorang yang tak patut dipersatukan dengan seorang Tionghoa.
(Novel Rindu yang Membawamu Pulang, sudah dapat dibeli di toko buku terdekat.)
Kita pernah berhenti di persimpangan jalan yang hampir membuat kita menyerah.
Berkali-kali aku mencoba menepismu, menamaimu cinta yang tak tentu arah.
Benarkah kita tak bisa memberi kesempatan pada sesuatu yang tak akan pernah sama?
Aku tak paham banyak tentang cinta, tetapi bukankah kita hanya perlu merasakannya?
Mereka bertemu di antara perbedaan. Bagi Gun dan Ling, cinta tak pernah mudah dimengerti. Tidak juga mudah dimiliki. Bertahan dalam ketidakpastian membuat mereka ingin menyerah walau tak pernah sanggup saling melepaskan. Atas nama dua hati yang saling mencintai, keduanya berpegang pada janji yang tak sempat terucap. Bentangan jarak dan waktu bukan halangan. Rindu akan membawa pulang.
Namun, masih cukupkah rindu yang mereka miliki?
Penulis: Ario Sasongko
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 240 hlm
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-844-0
Harga: Rp 56.000,-