Mencintai itu mudah,
namun sejauh apa kamu mau berkorban demi sebuah cinta?
Pertanyaan itulah yang muncul di pikiranku setelah membaca novel Perfect Pain karya Anggun Prameswari.
Novel ini berbicara banyak hal tentang cinta dan kasih sayang. Cinta antara Bidari dan Karel, anaknya, yang harus tegar menghadapi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Bram, suami Bidari. Selain itu, ada pula jalinan kasih sayang antara Bidari dan Sidhu, seorang pengacara, yang membantu Bidari dalam menghadapi masalahnya.
Pada awalnya, novel ini terkesan akan bercerita mengenai hal yang cukup gelap, kekerasan dalam rumah tangga. Namun, sebagai pembaca, aku bisa menjanjikan bahwa novel ini akan menyuguhkan kisah dan pelajaran yang sangat indah mengenai kasih sayang dan cinta. Berikut ini sedikit alasannya.
namun sejauh apa kamu mau berkorban demi sebuah cinta?
Pertanyaan itulah yang muncul di pikiranku setelah membaca novel Perfect Pain karya Anggun Prameswari.
Novel ini berbicara banyak hal tentang cinta dan kasih sayang. Cinta antara Bidari dan Karel, anaknya, yang harus tegar menghadapi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Bram, suami Bidari. Selain itu, ada pula jalinan kasih sayang antara Bidari dan Sidhu, seorang pengacara, yang membantu Bidari dalam menghadapi masalahnya.
Pada awalnya, novel ini terkesan akan bercerita mengenai hal yang cukup gelap, kekerasan dalam rumah tangga. Namun, sebagai pembaca, aku bisa menjanjikan bahwa novel ini akan menyuguhkan kisah dan pelajaran yang sangat indah mengenai kasih sayang dan cinta. Berikut ini sedikit alasannya.
Aku sangat menyukai cara bab-bab awal novel ini menuturkan cerita.
Di sana, aku bisa ikut merasakan keraguan psikologis Bidari dalam menghadapi Bram. Dalam satu malam, Bram bisa demikian kasar. Namun pada pagi harinya, Bram bisa menjadi sosok suami terbaik, laki-laki yang diidamkan oleh perempuan manapun. Aku juga bisa ikut tersentuh dengan kekuatan cinta yang ditunjukkan Karel, sekaligus sedih membayangkan seorang anak kecil melihat Ibu yang sangat ia cintai disakiti oleh ayahnya sendiri.
Hubungan dan kombinasi karakterisasi tokoh Karel dan Bidarilah yang awalnya membuat aku terikat dengan cerita ini. Sebagai pembaca, sikap peragu Bidari berhasil mengaduk emosi, mampu membuat aku kadang merasa kesal. Kemudian, hal ini dipadukan dengan sikap Karel yang sangat ingin melindungi Ibunya. Hubungan kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan semacam harapan padaku sebagai pembaca untuk terus mengikuti cerita dan membayangkan akhir yang bahagia bagi keduanya.
Novel ini mampu menggali karakter para tokohnya dengan sangat dalam. Seperti contohnya tokoh Bidari. Ternyata ada alasan di balik mengapa Bidari memiliki sikap yang terkesan lemah dan peragu. Melalui interaksi Bidari dengan ayah dan Ibunya, aku kemudian bisa lebih memahami alasan mengapa tokoh Bidari bisa memiliki sikap seperti itu. Kemampuan Anggun Prameswari dalam menciptakan latar belakang karakter yang baik, serta menyampaikannya dalam alur cerita, membuat aku bisa memahami tokoh Bidari sebagai seorang perempuan, seorang ibu, juga sebagai seorang anak. Hebatnya, Anggun bisa dengan baik melakukan hal yang sama pada semua tokohnya.
Aku tak bisa berbicara terlalu banyak, karena hal itu akan mengurangi kejutan-kejutan dan keindahan yang kurasakan ketika pertama kali membaca novel ini.
Perfect Pain, aku agak mengerutkan kening saat pertama kali membaca judul ini. Bagaimana mungkin ada kepedihan yang sempurna? Barangkali aku salah. Barangkali aku ada benarnya. Satu hal yang pasti, aku menutup buku ini dengan sebuah senyuman. Seolah kini aku bisa lebih memahami makna cinta dan kasih sayang.
Mungkin bukan keindahan yang membuat kita bisa memahami cinta.
Mungkin kita membutuhkan kepedihan,
agar kita dapat lebih memahami berharganya perasaan yang Tuhan titipkan pada setiap manusia,
bernama cinta.
Selamat bercerita, selamat membaca.
Di sana, aku bisa ikut merasakan keraguan psikologis Bidari dalam menghadapi Bram. Dalam satu malam, Bram bisa demikian kasar. Namun pada pagi harinya, Bram bisa menjadi sosok suami terbaik, laki-laki yang diidamkan oleh perempuan manapun. Aku juga bisa ikut tersentuh dengan kekuatan cinta yang ditunjukkan Karel, sekaligus sedih membayangkan seorang anak kecil melihat Ibu yang sangat ia cintai disakiti oleh ayahnya sendiri.
Hubungan dan kombinasi karakterisasi tokoh Karel dan Bidarilah yang awalnya membuat aku terikat dengan cerita ini. Sebagai pembaca, sikap peragu Bidari berhasil mengaduk emosi, mampu membuat aku kadang merasa kesal. Kemudian, hal ini dipadukan dengan sikap Karel yang sangat ingin melindungi Ibunya. Hubungan kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan semacam harapan padaku sebagai pembaca untuk terus mengikuti cerita dan membayangkan akhir yang bahagia bagi keduanya.
Novel ini mampu menggali karakter para tokohnya dengan sangat dalam. Seperti contohnya tokoh Bidari. Ternyata ada alasan di balik mengapa Bidari memiliki sikap yang terkesan lemah dan peragu. Melalui interaksi Bidari dengan ayah dan Ibunya, aku kemudian bisa lebih memahami alasan mengapa tokoh Bidari bisa memiliki sikap seperti itu. Kemampuan Anggun Prameswari dalam menciptakan latar belakang karakter yang baik, serta menyampaikannya dalam alur cerita, membuat aku bisa memahami tokoh Bidari sebagai seorang perempuan, seorang ibu, juga sebagai seorang anak. Hebatnya, Anggun bisa dengan baik melakukan hal yang sama pada semua tokohnya.
Aku tak bisa berbicara terlalu banyak, karena hal itu akan mengurangi kejutan-kejutan dan keindahan yang kurasakan ketika pertama kali membaca novel ini.
Perfect Pain, aku agak mengerutkan kening saat pertama kali membaca judul ini. Bagaimana mungkin ada kepedihan yang sempurna? Barangkali aku salah. Barangkali aku ada benarnya. Satu hal yang pasti, aku menutup buku ini dengan sebuah senyuman. Seolah kini aku bisa lebih memahami makna cinta dan kasih sayang.
Mungkin bukan keindahan yang membuat kita bisa memahami cinta.
Mungkin kita membutuhkan kepedihan,
agar kita dapat lebih memahami berharganya perasaan yang Tuhan titipkan pada setiap manusia,
bernama cinta.
Selamat bercerita, selamat membaca.