“Kamu Nata, ya?”
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya menyediakan dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
***
Nata sudah memutuskan apa yang ingin ia lakukan, dua hari sebelum meninggalkan pekerjaannya sekarang. Niatan ini bermula ketika pada suatu malam di sebuah kafe, ia kehabisan topik pembicaraan saat sedang berdua dengan teman kencannya. Perempuan itu, yang sejak awal memang terlihat terlalu cantik untuk Nata, sibuk memeriksa telepon genggam meski tak mengeluarkan bunyi apapun. Tindakan seperti ini umum dikenal sebagai simbol kencan yang gagal. Tak ada yang bisa Nata lakukan, kecuali antara diam dan melihat keadaan sekitarnya, atau melanjutkan perbincangan yang dipaksakan. Ia memilih yang pertama. Nata mulai memerhatikan kekurangan-kekurangan yang ia temui di kafe itu.
“Bangku ini terasa kurang nyaman. Barangkali ini yang membuat kencanku gagal. Suasana nyaman punya andil sekitar 80% dalam keberhasilan kencan.”
Dari sana, pandangan kritis Nata mulai mengalir. Dengan cepat ia bisa menemukan hal-hal yang dengan mudah ia kritisi tentang kafe itu. Persis seperti seorang kritikus film yang dapat dengan tajam menelaah elemen naratif dan visual. Nata merasa menemukan bakat yang tak ia sadari selama ini. Ketika itulah gagasan ini muncul di pikirannya.
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya menyediakan dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
***
Nata sudah memutuskan apa yang ingin ia lakukan, dua hari sebelum meninggalkan pekerjaannya sekarang. Niatan ini bermula ketika pada suatu malam di sebuah kafe, ia kehabisan topik pembicaraan saat sedang berdua dengan teman kencannya. Perempuan itu, yang sejak awal memang terlihat terlalu cantik untuk Nata, sibuk memeriksa telepon genggam meski tak mengeluarkan bunyi apapun. Tindakan seperti ini umum dikenal sebagai simbol kencan yang gagal. Tak ada yang bisa Nata lakukan, kecuali antara diam dan melihat keadaan sekitarnya, atau melanjutkan perbincangan yang dipaksakan. Ia memilih yang pertama. Nata mulai memerhatikan kekurangan-kekurangan yang ia temui di kafe itu.
“Bangku ini terasa kurang nyaman. Barangkali ini yang membuat kencanku gagal. Suasana nyaman punya andil sekitar 80% dalam keberhasilan kencan.”
Dari sana, pandangan kritis Nata mulai mengalir. Dengan cepat ia bisa menemukan hal-hal yang dengan mudah ia kritisi tentang kafe itu. Persis seperti seorang kritikus film yang dapat dengan tajam menelaah elemen naratif dan visual. Nata merasa menemukan bakat yang tak ia sadari selama ini. Ketika itulah gagasan ini muncul di pikirannya.
Seperti sebelas kencan sebelumnya, kencannya malam itu gagal. Meski demikian, Nata menemukan semangat baru. Ada gairah yang mencuat dalam dirinya. Gairah ini, sangat disayangkan, bukan akibat pengalaman fisik yang tak pernah terjadi dengan sebelas teman kencannya. Bukan pula datang dari mantan kekasihnya, yang empat bulan lalu meninggalkannya. Melainkan datang dari keinginan yang kemudian ia tulis dalam pesan singkat untuk dikirim pada mantan kekasihnya. “Aku ingin menjadi kritikus kafe profesional.”
Nata merasa mendapatkan jawaban atas masalah yang ia temukan sejak empat bulan lalu. Kala itu, ia hanya ingin bersikap spontan. Ia sadar bahwa kekasihnya sudah mulai terlihat jenuh. Dari artikel yang ia baca melalui telepon genggam—di sela-sela jam istirahat makan siang—kejenuhan dalam hubungan bisa diatasi dengan mengalami peristiwa-persitiwa tak terduga bersama pasangan. Ia kemudian memutuskan untuk diam-diam menunggu dengan seikat bunga mawar di depan rumah kekasihnya itu. Hatinya berdebar, bukan karena takut jika kejutannya gagal. Ia hanya takut tak bisa menemui kekasihnya karena sebelumnya tak membuat janji bertemu.
Dalam ketakutannya itu, kemudian Nata melihat kekasihnya tiba di depan rumah seorang diri. Nata kemudian menghampirinya, berlutut dan memberikan bunga, persis seperti hendak melamar. Kekasihnya itu tentu terkejut, memeluk Nata dengan erat dan mengucapkan terima kasih. Mereka berpandangan untuk beberapa saat, sebelum kemudian berciuman dan berpisah.
“Aku butuh variasi. Pekerjaanmu telah membuatmu jadi orang yang membosankan dan monoton.”
Demikianlah penjelasan yang esok harinya Nata dapatkan saat kekasihnya tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan.
Nata tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ia mulai menyadari bahwa barangkali mantan kekasihnya benar. Sebagai seorang pegawai bank, ia punya rutinitas yang sudah ia jalani bertahun-tahun. Bangun pagi, berangkat kerja menaiki bus bersama pekerja kantoran lainnya, bekerja sampai sore, kemudian pulang dengan kembali menaiki bus bersama pekerja kantoran lainnya, membeli makan malam, istirahat, kemudian mengulang rutinitas itu pada pagi selanjutnya. Sejak itu, kadang Nata menyadari bahwa selama bertahun-tahun ia berjalan kaki di bagian trotoar yang sama. Ketika berada di dalam bus, ia menyadari tak menyenangkannya wajah para pekerja kantoran sepertinya. Mereka semua terlihat kaku, dengan mata yang sayu dan wajah yang menunjukkan ketidakpuasan atas hidup.
Nata tak ingin berakhir menjadi manusia yang seperti itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mulai memikirkan definisinya sebagai manusia. Keinginan untuk berhenti bekerja mulai muncul sejak itu. Ia mulai mencari inspriasi melalui artikel di telepon genggam—yang lagi-lagi ia baca di sela-sela jam istirahat makan siang. Ia ingin melakukan hal-hal yang mengesankan seperti misalnya, membuat bar jazz dan menjadi penulis. Tapi hal seperti itu tentu tak bisa dilakukan semudah yang terlihat. Lagipula ia tak mengerti sastra.
Malam ini, akhirnya ia mendapatkan jawaban yang ia cari.
***
Selama dua tahun bekerja sebagai kritikus kafe profesional, baru kali ini Nata menemukan sebuah kafe yang demikian berbeda. Setiap meja hanya memiliki satu kursi. Tempat ini hanya menyediakan kopi Mandailing, dan roti manis yang terbuat dari campuran gandum dan gula merah. Pemiliknya tentu sangat percaya diri dengan kualitas menu yang ia sediakan, sehingga pengunjung tak mendapat pilihan selain dari itu. Nata duduk di pojok ruangan, tempat yang menurutnya paling strategis untuk mengamati situasi. Biasanya ia bisa memerhatikan pengunjung lain dari pojok ruangan tersebut. Malam ini ada beberapa pengunjung yang duduk sendiri di tempat masing-masing. Tak ada seorangpun dari mereka yang tampak saling berbicara. Mereka tampak seperti hanya melamun dan menikmati menu yang mereka pesan. Tak ada keluhan dari wajah mereka, seperti memang ingin datang ke tempat ini untuk diam.
“Kamu Nata, ya?”
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
Pramusaji itu pergi ke balik bar, menyiapkan kopi dan roti yang Nata pesan. Tak lama kemudian ia kembali menyuguhkan pesanan tersebut, dan duduk di meja sebelah Nata. Ia membakar sebatang rokok, dan memerhatikan Nata baik-baik.
“Aku ingin melihat wajahmu, saat kau menuliskan hal tak menyenangkan tentang kafe ini.”
Nata belum pernah mengalami hal seperti ini. Jika ia bisa mengambil pelajaran, setelah ini harusnya ia segera menghapus foto wajahnya di website tempat ia menulis kritikan kafe yang ia kunjungi. Nata tak bisa menghilangkan rasa canggung karena diamati demikian lekat. Ia memutuskan untuk mencoba roti manisnya terlebih dahulu. Dilihat dari bentuk fisiknya, roti ini terasa agak keras ketika dipotong, biasanya sengaja dibuat seperti itu agar seseorang bisa merasakan tekstur roti ini ketika mengunyahnya. Roti ini terasa sangat asin. Ketika diperhatikan, Nata melihat taburan garam di atasnya.
“Apa kau bisa tidur nyenyak karena telah mendapat uang dengan cara menghakimi kerja keras orang lain?”
Nata tak siap menjawabnya. Ia memutuskan untuk meneguk secangkir kopi yang sudah ia pesan. Kopi ini terasa aneh, Nata hampir memuntahkannya.
“Aku telah mencampur kopi itu dengan garam. Aku ingin tahu bagaimana kau menuliskannya nanti.”
Nata mengamati wajah perempuan itu.
“Hanya ada dua pilihan, antara kamu adalah pegawai yang sudah berniat ganti pekerjaan, atau kamu adalah pemilik tempat ini.”
“Kau tak perlu tahu.”
Nata kembali mengambil cangkir kopinya. Ia tatap kedua mata perempuan itu lekat-lekat.
“Bagaimana kalau kita buat perjanjian. Jika aku bisa menghabiskan kopi ini, aku boleh berkenalan denganmu. Setuju?”
Malam itu Nata tak pulang ke tempatnya.
***
Nata duduk di pojok ruangan yang sama. Ia menikmati roti manis dan kopi Mandailing, yang kali ini keduanya tak dicampur garam. Pramusaji itu duduk di meja sebelahnya, persis seperti ketika pertama mereka bertemu. Sejak hari itu, Nata mengetahui bahwa ia bernama Talia. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, ia mulai mengetahui bahwa perempuan itu mendapat nama yang demikian karena ibunya sangat mengagumi seorang artis telenovela. Meski pada kelanjutannya, ibunya itu baru menyadari bahwa ejaan nama anaknya kekurangan huruf ‘h’.
“Kau masih tak mau mengubah tempat ini?”
“Tidak jika hanya untuk mengubah opinimu saja.”
“Kau tahu, aku kritikus profesional. Aku tak mungkin membuat pujian yang.”
“Aku memang tak butuh pujianmu.” Talia memotong ucapan Nata begitu saja.
Nata kembali menikmati roti manisnya.
“Menurutku kafe adalah tempat yang dicari seseorang, untuk berbicara. Kau tahu, berapa banyak gagasan besar yang muncul dari kafe di Paris?”
Semenjak menjadi kritikus profesional, Nata banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku filsafat. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk ia lakukan. Menurutnya, referensi konsep-konsep rumit bisa membuat tulisannya menjadi lebih ilmiah.
“Bagaimana dengan orang-orang yang memang mencari tempat untuk merasa kesepian dengan nyaman?”
Nata memerhatikan suasana tempat itu kembali. Semua orang duduk sendiri, hanya diam dan menikmati kopi mereka masing-masing. Pencahayaan yang kecokelatan, dan samar-samar musik keroncong, membuat suasana sepi menjadi terlalu nyaman. Mereka yang ada di sini, seperti berkumpul untuk menunjukkan kesepian masing-masing.
“Nata, apa kau pernah melihat orang yang hanya seorang diri di keramaian? Apa kau pernah memikirkan bagaimana sepi yang ia rasakan saat itu? Tidak kau pikir, banyak orang di kota besar seperti ini, butuh tempat untuk merasa kesepian dengan nyaman?”
Nata sebenarnya sangat bisa menjawab pertanyaan itu, namun ia memutuskan untuk diam.
“Pekerjaanmu sebagai kritikus. Tentu kau adalah orang yang kesepian. Tak ada kritikus yang tidak kesepian.”
“Kau sendiri, apa kau tak kesepian dengan suasana seperti ini. “
“Setiap hari berada di antara orang-orang yang kesepian, memberikan aku banyak waktu luang untuk berpikir. Kadang sampai bisa mengarang cerita di dalam hati ketika memandangi satu-satu wajah mereka.”
“Talia, kau pernah mengarang cerita, ketika memandang wajahku?”
“Ya.”
“Kapan itu?”
“Saat pertama kali bertemu.” Talia memandang Nata persis di kedua matanya, dan melanjutkan ucapannnya.
“Saat itu aku demikian benci denganmu, sampai aku membayangkan untuk menyetubuhimu dengan puas. Setelahnya, aku tak perlu mengarang cerita seperti itu tentangmu lagi. Kau tahu alasannya.”
Nata tak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun. Sejujurnya, saat pertama bertemu juga ia memikirkan hal yang sama.
“Talia, kali ini kita pulang ke tempatmu saja.”
Malam itu, Nata baru benar-benar menyadari kesepiannya. Meski seperti biasa, ia dan Talia berpadu dengan penuh gairah di atas ranjang, namun Nata bisa merasakan sepi itu dari lenguhan napas mereka masing-masing. Segala sentuhan yang ia rasakan, seperti tak bisa memenuhi kehampaan dalam dirinya. Tubuh Talia, seperti sebuah vas kosong, yang ia sentuh untuk dapat merasakan keindahannya. Namun sebuah vas, bagaimana pun indahnya, tak akan seindah ketika menampung bunga.
***
Nata tak pernah bisa meninggalkan kafe ini. Tiap hari, setelah datang ke beberapa kafe lain, ia selalu mengakhiri perjalanannya di tempat ini. Menikmati roti manis dan kopi Mandailing.
“Nata, malam ini aku ingin kembali ke tempatmu saja.”
Nata mengangguk tanpa mengucapkan apapun sambil menghirup kopi di mejanya. Nata melanjutkan.
“Mengapa tak kau pindahkan saja kursimu ke mejaku?”
“Aku tak ingin.” Talia menjawab itu, kemudian mengembuskan asap rokoknya.
“Kau ini, monoton sekali.”
Talia menggelengkan kepalanya.
“Dulu ada orang yang justru menganggap sebaliknya, akhirnya ia meninggalkanku. Barangkali kau juga.”
“Maksudmu?”
Talia adalah perempuan yang tak mudah bercerita tentang dirinya ketika diminta. Sebaliknya, kadang ia akan menceritakannya tanpa diminta. Nata tak pernah memahami bagaimana mekanisme kerja sikapnya tersebut. Berbanding terbalik dengan apa yang ia sajikan, Talia memiliki menu kepribadian yang tak mudah diterka.
“Seseorang meninggalkanku karena ia menganggap aku sudah terlalu banyak berubah.”
“Maaf, sebelum kau lanjut bercerita, boleh aku minta rokokmu?”
“Kau merokok?”
“Mulai sekarang, iya.”
Talia tak benar-benar paham maksud Nata. Ia tetap memberikan sebatang rokok, juga koreknya. Nata membakar rokok itu, jelas ia tak menyangka benda tersebut menghasilkan rasa yang tak menyenangkan. Wajah Nata seperti mengatakan “bagaimana mungkin semua orang menghabiskan uang untuk benda seperti ini?” Meski demikan, Nata melanjutkan rokoknya, Talia juga melanjutkan ceritanya.
“Ia ingin seorang yang lebih, monoton. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku bisa berubah. Namun, bukankah sebelumnya ia mengatakan bahwa ia ingin meninggalkanku karena aku terlalu banyak berubah? Jadi, perubahan bukanlah jawabannya. Entah apa.”
“Seseorang justru meninggalkanku karena aku terlalu monoton dan membosankan. Persis seperti kafemu ini.”
Nata mengucapkannya sambil kemudian menghisap rokoknya. Jarinya masih terlihat kaku ketika menggerakkan rokok itu ke bibir. Kemudian ia melanjutkan ucapannya.
“Aku ingin mengatakan bahwa aku bisa berubah. Itulah yang ingin ia dengar. Tapi aku tak bisa melakukan perubahan tanpa merencanakannya terlebih dulu.”
Setelahnya, mereka tak mengucapkan apa-apa. Talia memutuskan untuk berhenti merokok; sementara Nata melatih kemampuan merokoknya dan menghabiskan sebungkus rokok Talia. Malam itu tanpa perlu diucapkan, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat masing-masing.
Setelah malam itu, Nata tak pernah lagi mengunjungi Talia. Ia punya firasat aneh, bahwa Talia tak lagi membuka kafenya.
Ario Sasongko
10-11 Agustus 2015
Nata merasa mendapatkan jawaban atas masalah yang ia temukan sejak empat bulan lalu. Kala itu, ia hanya ingin bersikap spontan. Ia sadar bahwa kekasihnya sudah mulai terlihat jenuh. Dari artikel yang ia baca melalui telepon genggam—di sela-sela jam istirahat makan siang—kejenuhan dalam hubungan bisa diatasi dengan mengalami peristiwa-persitiwa tak terduga bersama pasangan. Ia kemudian memutuskan untuk diam-diam menunggu dengan seikat bunga mawar di depan rumah kekasihnya itu. Hatinya berdebar, bukan karena takut jika kejutannya gagal. Ia hanya takut tak bisa menemui kekasihnya karena sebelumnya tak membuat janji bertemu.
Dalam ketakutannya itu, kemudian Nata melihat kekasihnya tiba di depan rumah seorang diri. Nata kemudian menghampirinya, berlutut dan memberikan bunga, persis seperti hendak melamar. Kekasihnya itu tentu terkejut, memeluk Nata dengan erat dan mengucapkan terima kasih. Mereka berpandangan untuk beberapa saat, sebelum kemudian berciuman dan berpisah.
“Aku butuh variasi. Pekerjaanmu telah membuatmu jadi orang yang membosankan dan monoton.”
Demikianlah penjelasan yang esok harinya Nata dapatkan saat kekasihnya tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan.
Nata tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ia mulai menyadari bahwa barangkali mantan kekasihnya benar. Sebagai seorang pegawai bank, ia punya rutinitas yang sudah ia jalani bertahun-tahun. Bangun pagi, berangkat kerja menaiki bus bersama pekerja kantoran lainnya, bekerja sampai sore, kemudian pulang dengan kembali menaiki bus bersama pekerja kantoran lainnya, membeli makan malam, istirahat, kemudian mengulang rutinitas itu pada pagi selanjutnya. Sejak itu, kadang Nata menyadari bahwa selama bertahun-tahun ia berjalan kaki di bagian trotoar yang sama. Ketika berada di dalam bus, ia menyadari tak menyenangkannya wajah para pekerja kantoran sepertinya. Mereka semua terlihat kaku, dengan mata yang sayu dan wajah yang menunjukkan ketidakpuasan atas hidup.
Nata tak ingin berakhir menjadi manusia yang seperti itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mulai memikirkan definisinya sebagai manusia. Keinginan untuk berhenti bekerja mulai muncul sejak itu. Ia mulai mencari inspriasi melalui artikel di telepon genggam—yang lagi-lagi ia baca di sela-sela jam istirahat makan siang. Ia ingin melakukan hal-hal yang mengesankan seperti misalnya, membuat bar jazz dan menjadi penulis. Tapi hal seperti itu tentu tak bisa dilakukan semudah yang terlihat. Lagipula ia tak mengerti sastra.
Malam ini, akhirnya ia mendapatkan jawaban yang ia cari.
***
Selama dua tahun bekerja sebagai kritikus kafe profesional, baru kali ini Nata menemukan sebuah kafe yang demikian berbeda. Setiap meja hanya memiliki satu kursi. Tempat ini hanya menyediakan kopi Mandailing, dan roti manis yang terbuat dari campuran gandum dan gula merah. Pemiliknya tentu sangat percaya diri dengan kualitas menu yang ia sediakan, sehingga pengunjung tak mendapat pilihan selain dari itu. Nata duduk di pojok ruangan, tempat yang menurutnya paling strategis untuk mengamati situasi. Biasanya ia bisa memerhatikan pengunjung lain dari pojok ruangan tersebut. Malam ini ada beberapa pengunjung yang duduk sendiri di tempat masing-masing. Tak ada seorangpun dari mereka yang tampak saling berbicara. Mereka tampak seperti hanya melamun dan menikmati menu yang mereka pesan. Tak ada keluhan dari wajah mereka, seperti memang ingin datang ke tempat ini untuk diam.
“Kamu Nata, ya?”
Tiba-tiba saja seorang pramusaji menanyakan itu setelah mendengar menu yang Nata minta. Dengan hanya dua menu, ia memang tak perlu mencatat menu pesanan pengunjung. Nata mengerutkan dahinya, ia belum pernah bertemu orang asing yang tiba-tiba saja mengenali dirinya. Pramusaji ini seorang perempuan, sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Nata. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Ia mengenakan apron cokelat dengan motif kotak-kotak.
“Ya, benar. Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sering membaca tulisan di websitemu. Bajingan.”
Pramusaji itu pergi ke balik bar, menyiapkan kopi dan roti yang Nata pesan. Tak lama kemudian ia kembali menyuguhkan pesanan tersebut, dan duduk di meja sebelah Nata. Ia membakar sebatang rokok, dan memerhatikan Nata baik-baik.
“Aku ingin melihat wajahmu, saat kau menuliskan hal tak menyenangkan tentang kafe ini.”
Nata belum pernah mengalami hal seperti ini. Jika ia bisa mengambil pelajaran, setelah ini harusnya ia segera menghapus foto wajahnya di website tempat ia menulis kritikan kafe yang ia kunjungi. Nata tak bisa menghilangkan rasa canggung karena diamati demikian lekat. Ia memutuskan untuk mencoba roti manisnya terlebih dahulu. Dilihat dari bentuk fisiknya, roti ini terasa agak keras ketika dipotong, biasanya sengaja dibuat seperti itu agar seseorang bisa merasakan tekstur roti ini ketika mengunyahnya. Roti ini terasa sangat asin. Ketika diperhatikan, Nata melihat taburan garam di atasnya.
“Apa kau bisa tidur nyenyak karena telah mendapat uang dengan cara menghakimi kerja keras orang lain?”
Nata tak siap menjawabnya. Ia memutuskan untuk meneguk secangkir kopi yang sudah ia pesan. Kopi ini terasa aneh, Nata hampir memuntahkannya.
“Aku telah mencampur kopi itu dengan garam. Aku ingin tahu bagaimana kau menuliskannya nanti.”
Nata mengamati wajah perempuan itu.
“Hanya ada dua pilihan, antara kamu adalah pegawai yang sudah berniat ganti pekerjaan, atau kamu adalah pemilik tempat ini.”
“Kau tak perlu tahu.”
Nata kembali mengambil cangkir kopinya. Ia tatap kedua mata perempuan itu lekat-lekat.
“Bagaimana kalau kita buat perjanjian. Jika aku bisa menghabiskan kopi ini, aku boleh berkenalan denganmu. Setuju?”
Malam itu Nata tak pulang ke tempatnya.
***
Nata duduk di pojok ruangan yang sama. Ia menikmati roti manis dan kopi Mandailing, yang kali ini keduanya tak dicampur garam. Pramusaji itu duduk di meja sebelahnya, persis seperti ketika pertama mereka bertemu. Sejak hari itu, Nata mengetahui bahwa ia bernama Talia. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, ia mulai mengetahui bahwa perempuan itu mendapat nama yang demikian karena ibunya sangat mengagumi seorang artis telenovela. Meski pada kelanjutannya, ibunya itu baru menyadari bahwa ejaan nama anaknya kekurangan huruf ‘h’.
“Kau masih tak mau mengubah tempat ini?”
“Tidak jika hanya untuk mengubah opinimu saja.”
“Kau tahu, aku kritikus profesional. Aku tak mungkin membuat pujian yang.”
“Aku memang tak butuh pujianmu.” Talia memotong ucapan Nata begitu saja.
Nata kembali menikmati roti manisnya.
“Menurutku kafe adalah tempat yang dicari seseorang, untuk berbicara. Kau tahu, berapa banyak gagasan besar yang muncul dari kafe di Paris?”
Semenjak menjadi kritikus profesional, Nata banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku filsafat. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk ia lakukan. Menurutnya, referensi konsep-konsep rumit bisa membuat tulisannya menjadi lebih ilmiah.
“Bagaimana dengan orang-orang yang memang mencari tempat untuk merasa kesepian dengan nyaman?”
Nata memerhatikan suasana tempat itu kembali. Semua orang duduk sendiri, hanya diam dan menikmati kopi mereka masing-masing. Pencahayaan yang kecokelatan, dan samar-samar musik keroncong, membuat suasana sepi menjadi terlalu nyaman. Mereka yang ada di sini, seperti berkumpul untuk menunjukkan kesepian masing-masing.
“Nata, apa kau pernah melihat orang yang hanya seorang diri di keramaian? Apa kau pernah memikirkan bagaimana sepi yang ia rasakan saat itu? Tidak kau pikir, banyak orang di kota besar seperti ini, butuh tempat untuk merasa kesepian dengan nyaman?”
Nata sebenarnya sangat bisa menjawab pertanyaan itu, namun ia memutuskan untuk diam.
“Pekerjaanmu sebagai kritikus. Tentu kau adalah orang yang kesepian. Tak ada kritikus yang tidak kesepian.”
“Kau sendiri, apa kau tak kesepian dengan suasana seperti ini. “
“Setiap hari berada di antara orang-orang yang kesepian, memberikan aku banyak waktu luang untuk berpikir. Kadang sampai bisa mengarang cerita di dalam hati ketika memandangi satu-satu wajah mereka.”
“Talia, kau pernah mengarang cerita, ketika memandang wajahku?”
“Ya.”
“Kapan itu?”
“Saat pertama kali bertemu.” Talia memandang Nata persis di kedua matanya, dan melanjutkan ucapannnya.
“Saat itu aku demikian benci denganmu, sampai aku membayangkan untuk menyetubuhimu dengan puas. Setelahnya, aku tak perlu mengarang cerita seperti itu tentangmu lagi. Kau tahu alasannya.”
Nata tak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun. Sejujurnya, saat pertama bertemu juga ia memikirkan hal yang sama.
“Talia, kali ini kita pulang ke tempatmu saja.”
Malam itu, Nata baru benar-benar menyadari kesepiannya. Meski seperti biasa, ia dan Talia berpadu dengan penuh gairah di atas ranjang, namun Nata bisa merasakan sepi itu dari lenguhan napas mereka masing-masing. Segala sentuhan yang ia rasakan, seperti tak bisa memenuhi kehampaan dalam dirinya. Tubuh Talia, seperti sebuah vas kosong, yang ia sentuh untuk dapat merasakan keindahannya. Namun sebuah vas, bagaimana pun indahnya, tak akan seindah ketika menampung bunga.
***
Nata tak pernah bisa meninggalkan kafe ini. Tiap hari, setelah datang ke beberapa kafe lain, ia selalu mengakhiri perjalanannya di tempat ini. Menikmati roti manis dan kopi Mandailing.
“Nata, malam ini aku ingin kembali ke tempatmu saja.”
Nata mengangguk tanpa mengucapkan apapun sambil menghirup kopi di mejanya. Nata melanjutkan.
“Mengapa tak kau pindahkan saja kursimu ke mejaku?”
“Aku tak ingin.” Talia menjawab itu, kemudian mengembuskan asap rokoknya.
“Kau ini, monoton sekali.”
Talia menggelengkan kepalanya.
“Dulu ada orang yang justru menganggap sebaliknya, akhirnya ia meninggalkanku. Barangkali kau juga.”
“Maksudmu?”
Talia adalah perempuan yang tak mudah bercerita tentang dirinya ketika diminta. Sebaliknya, kadang ia akan menceritakannya tanpa diminta. Nata tak pernah memahami bagaimana mekanisme kerja sikapnya tersebut. Berbanding terbalik dengan apa yang ia sajikan, Talia memiliki menu kepribadian yang tak mudah diterka.
“Seseorang meninggalkanku karena ia menganggap aku sudah terlalu banyak berubah.”
“Maaf, sebelum kau lanjut bercerita, boleh aku minta rokokmu?”
“Kau merokok?”
“Mulai sekarang, iya.”
Talia tak benar-benar paham maksud Nata. Ia tetap memberikan sebatang rokok, juga koreknya. Nata membakar rokok itu, jelas ia tak menyangka benda tersebut menghasilkan rasa yang tak menyenangkan. Wajah Nata seperti mengatakan “bagaimana mungkin semua orang menghabiskan uang untuk benda seperti ini?” Meski demikan, Nata melanjutkan rokoknya, Talia juga melanjutkan ceritanya.
“Ia ingin seorang yang lebih, monoton. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku bisa berubah. Namun, bukankah sebelumnya ia mengatakan bahwa ia ingin meninggalkanku karena aku terlalu banyak berubah? Jadi, perubahan bukanlah jawabannya. Entah apa.”
“Seseorang justru meninggalkanku karena aku terlalu monoton dan membosankan. Persis seperti kafemu ini.”
Nata mengucapkannya sambil kemudian menghisap rokoknya. Jarinya masih terlihat kaku ketika menggerakkan rokok itu ke bibir. Kemudian ia melanjutkan ucapannya.
“Aku ingin mengatakan bahwa aku bisa berubah. Itulah yang ingin ia dengar. Tapi aku tak bisa melakukan perubahan tanpa merencanakannya terlebih dulu.”
Setelahnya, mereka tak mengucapkan apa-apa. Talia memutuskan untuk berhenti merokok; sementara Nata melatih kemampuan merokoknya dan menghabiskan sebungkus rokok Talia. Malam itu tanpa perlu diucapkan, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat masing-masing.
Setelah malam itu, Nata tak pernah lagi mengunjungi Talia. Ia punya firasat aneh, bahwa Talia tak lagi membuka kafenya.
Ario Sasongko
10-11 Agustus 2015