Ario sasongko
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya

Jembatan Esok Hari

27/12/2010

0 Comments

 
“Bagaimana rasanya jatuh?”
Dia diam sebentar, tersenyum, mengawangkan pandangannya ke arah biru dengan gurat-gurat serat putih yang melapisinya.
“Manis.”
“Baguslah kalau begitu.”

Kami berdiri di sebuah jembatan kayu panjang, entah siapa yang lebih dulu ada, entah jembatan ini atau manusia yang hidup di dunia. Warnanya cokelat dengan bercak-bercak hitam yang sudah semakin menua. Jembatan ini begitu panjang, sangat panjang sampai batas pandang mata pun tak mampu melihat ujungnya. Di kejauhan, kita hanya bisa menerka-nerka saja apa yang menanti di ujung sana.

Read More
0 Comments

Malam Ini, di Warung Dulah

27/12/2010

3 Comments

 
Tas koper hitam itu dipandangi mereka dengan tatapan seolah sedang menginvestigasi tersangka. Tas koper itu berukuran kecil dan tidak terlalu tebal, ini semacam tas koper yang biasa digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen penting-seperti yang biasa terlihat di televisi. Benda tersebut teronggok begitu saja, di samping warung kecil berwarna hijau milik Dulah. Dia baru menyadarinya, ketika hendak menutup warung, kira-kira kurang dari jam dua belas malam. Ahmad dan Hasbi, dua kawan Dulah, hanya berani berdiri agak jauh dari warung, wajah mereka pucat, namun di saat yang bersamaan, juga terlihat penasaran. Hasbi masih sempat menenggak segelas kopi hitam, yang kemungkinan tanpa sadar masih saja menempel di tangannya. Sementara itu, Dulah si pemilik warung, berani berdiri agak dekat, dia sedikit membungkuk memperhatikan bentuk koper itu, menatapinya dengan was-was.

“Tadi siapa aja yang dateng ke sini?” Ahmad bertanya, rupanya dia mulai mencari-cari sebab akibat mengenai kemuncul tas koper hitam ini.
“Mana gue inget. Jalanan kaya’ gini ya pasti banyak yang lewat.”
Dulah menjawab pertanyaan itu, namun matanya masih tak lepas dari koper misterius tersebut.

Read More
3 Comments

Pementasan di Atas Kereta

27/12/2010

2 Comments

 
Teriakan itu menyelinap di antara gerbong-gerbong kereta yang sedang meluncur deras di atas lintasan. Hari minggu dan setiap gerbong memang tidak sepenuh hari biasanya. Mungkin itu pula yang menyebabkan teriakan ini begitu nyaring terdengar, teriakan agak parau tertahan, lebih ringkih dari derit suara gerbong kereta tua yang kutumpangi. Aku baru saja menaiki kereta ini, beberapa penumpang di gerbong keretaku mulai menoleh dengan refleks ke arah sumber suara, wajah mereka tentu saja bertanya-tanya. Beberapa penjual yang sering melintas di gerbong kereta juga menghentikan kegiatan mereka. Teriakan ini tampaknya sudah berhasil menarik kami dari dunia yang ada di pikiran masing-masing.

Seorang Ibu setengah baya, rambutnya panjang sebahu diikat dengan karet gelang, tubuhnya gemuk dan hanya mengenakan daster. Wajahnya terlihat sangat putih pucat, walau sebenarnya dia berkulit sawo matang. Keringat meleler dari dahinya, membasahi muka, dan terkadang dia berkedip untuk mencegah keringat memasuki mata. Tubuhnya terlihat gontai, tatapan matanya sayu namun menerawang ke seisi gerbong kereta yang kutumpangi. Beberapa penumpang lain menyusul kehadiran Ibu setengah baya di gerbong kereta ini. Beberapa penumpang di gerbongku, berdiri dan berjalan agak cepat menghampirinya, sepertinya firasat mereka cukup kuat untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, sang Ibu seperti memandang wajah para penumpang dengan penuh harap. Rasa ingin tahuku sebenarnya cukup besar, namun aku menahan diri dan hanya memperhatikan Ibu ini dari tempat dudukku saja.

Read More
2 Comments

Ceker Ayam

27/12/2010

5 Comments

 
Aku memanggilnya Bang Jair, pria gemuk, yang biasa memakai peci, kaus berkancing yang dua bagian atasnya selalu dia biarkan terbuka, dan tak pernah memakai alas kaki. Dia adalah seorang penjual bakso dengan gaya teriakan yang sangat khas, dari ujung gang sana sudah hapal aku dengan suaranya yang terdengar panjang, syahdu, dan terdengar sangat arif, bahkan saat hanya satu kata yang selalu kudengar dari suaranya tersebut; Bakso. Gaya berjalannya juga selalu terlihat tenang, langkahnya ringan, seolah tak memiliki beban ketika mendorong gerobak bakso tua, yang sudah menemaninya selama puluhan tahun. Peci yang dikenakannya, selalu agak ditarik ke belakang kepalanya, sehingga dahinya yang lebar dapat terlihat dengan jelas.

Hampir setiap malam aku membeli baksonya. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari bakso buatan Bang Jair. Hanya saja, ada hidangan tambahan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kami pelanggan setianya; Ceker ayam. Bakso ceker buatan Bang Jair ini memang istimewa, perpaduan rasa bakso dan daging ceker tersebut, terasa pas sekali di lidah kami. Belum lagi aroma kaldunya yang kental, dan taburan bawang goreng di atasnya, membuat bakso ceker buatan Bang Jair menjadi jualan kesukaan masyarakat di daerah perumahanku.

Read More
5 Comments

Sarinah Kota

27/12/2010

2 Comments

 
Wanita itu bernama Sarinah, Tubuhnya gempal, dengan rambut yang hanya diikat ke belakang menggunakan karet gelang, dan selendang yang menutupi rambutnya tersebut. Siang itu, Sarinah menebarkan kain selebar taplak meja, di salah satu sisi peron stasiun kereta. Beberapa jenis makanan dia jejerkan di atasnya; Bakwan udang, bihun dan potongan daging,  beberapa jenis sayuran, serta stok bumbu kacang untuk dijadikan bahan pembuat pecel. Ini adalah hari pertamanya berjualan di stasiun Cikini. Siang itu tidak terlalu ramai, hari senin memang, tapi stasiun-stasiun kereta memang hanya penuh pada saat jam berangkat dan pulang kerja saja. Sarinah duduk dengan kedua kakinya dilipat ke samping. Sambil menunggu pembeli pertama, Sarinah memandang keadaan di sekitarnya. Ada beberapa penjual minuman yang sedang berjongkok menunggu kereta, beberapa orang perempuan setengah baya yang duduk di zona penumpang khusus perempuan, beberapa orang pria duduk berkumpul di salah satu dinding pembatas peron-sebagian besar dari mereka berkumis.

Hampir lima puluh menit berlalu, ketika seorang pria yang menggandeng anak berusia lima tahun datang menghampiri, pelanggan pertamanya.

Read More
2 Comments

Si Penjual Ajaran Tuhan

27/12/2010

0 Comments

 
Harusnya aku tak perlu berlama-lama hidup di dunia, karena lima menit yang lalu aku dipastikan batal masuk surga. Ya, bisakah kau bayangkan, bahwa lima menit ternyata cukup untuk menentukan nasib manusia? Kau lahir, menangis, merangkak, berjalan, makan, minum, tidur, sekolah, melakukan kebajikan dan dosa pertamamu, mengenal Tuhan, jatuh cinta, menikah, punya anak, bekerja, berapa lamakah semua itu sudah berlangsung? Aku? Ya, aku pernah lahir, menangis, merangkak, berjalan, makan, minum, tidur, mengenal Tuhan, pernah juga jatuh cinta, lalu aku bertemu dengan malapetaka; Sebuah lima menit.

Baiklah aku malas untuk berlama-lama, sebaiknya aku mulai saja ceritaku ini. Tadi pagi aku terbangun, sebenarnya bukan pagi yang istimewa, aku juga tak memiliki firasat tentang apapun. Pukul enam pagi aku sudah tiba di stasiun kereta, ikut berdiri mengantri bersama puluhan manusia yang siap untuk bekerja. Puluhan rambut klimis, kemeja dan tas ransel, berjejer bagaikan barang yang siap untuk menawarkan jasa. Aku tidak serapih itu, ya aku mengenakan kemeja, celana bahan, dan sepatu olahraga, tapi aku berbeda dengan mereka. Kedua tanganku memangku kardus kecil berisi lusinan buku agama, aku juga menggunakan peci hitam yang aku bawa ketika aku datang ke Jakarta.

Read More
0 Comments

Di Bangku Taman

27/12/2010

0 Comments

 
“Kau tau, kalau Hans Christian Andersen[1] pernah berniat bunuh diri di sebuah danau? Tapi niat itu ia batalkan” Ucapnya.
“Kenapa?”
“Saat dia hendak melompat, tiba-tiba ia melihat wajah mendiang neneknya di air danau tersebut.”
“Ada yang bilang, di pantulan air danau ini, terkadang kita juga bisa melihat wajah seseorang yang kita cintai. Berkali-kali, aku mencobanya.” Lanjutnya..
“Lalu, apa yang kau lihat?”
“Wajahmu” Jawabnya, singkat.

Read More
0 Comments

Surga Dimana

27/12/2010

0 Comments

 
Aku duduk berdua dengannya, di pinggir pantai. Hari ini ombak sedang tak bergelora, hanya angin yang berhembus sangat kencang. Rambut kami berkibar-kibar. Pria di sebelahku adalah seorang yang kukenal sejak kecil, lama kami tak berjumpa, walau kini keadaan sudah berbeda. Kami telah 10 tahun lebih tua dari saat terakhir kami bertemu. Dia sudah banyak berubah, wajahnya pucat tampak tak bahagia. Baru kemarin aku sampai di kampung halaman, hari ini aku tak menyangka untuk bertemu dengannya. Suara ombak sayup-sayup menyelusup ke dalam telinga. Aku menghisap sebatang rokokku.

“Kau ingat, 20 tahun lalu kita selalu bermain di tempat ini.” Ucapnya sambil memandang laut yang luas.
“Ya, masa-masa yang menyenangkan.” Jawabku.
“Bukankah indah jika kita hidup tanpa beban seperti itu? Pulang dengan pakaian basah, bermain dan menyisakan kesenangan untuk esok.”
“Tentu, walau saat ini, semua hanya menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.”Balasku.
“Kau ingat? Waktu itu kau tak pernah dapat mengalahkanku, Kadang-kadang kau pulang sambil menangis kesal.” Ucapnya.

Kami berpandangan sejenak, lalu tertawa kecil. Sejenak kami terdiam, masing-masing kepala kami mulai membayangkan masa-masa indah dahulu.

“Apa yang kau lakukan di Jakarta?” Tanya dia kepadaku.
Aku berpikir sejenak.
“Hmmm, bekerja, merindukan pantai, merindukan aroma air laut.” Jawabku.
“Ya, sayangnya keadaan sudah jauh berbeda dari yang dulu.” Balasnya.
“Kupikir juga demikian, keadaan jadi begitu lengang. Terkadang aku masih melihat kesedihan di wajah semua orang. Bukankah kejadian itu sudah 2 tahun yang lalu?”
Dia mengangguk kepadaku.
“Mengapa kau tak segera kembali setelah kejadian itu? aku menantimu kau tahu?” Dia bertanya kepadaku.
“Maaf, aku bekerja, tapi aku bukan satu-satunya orang yang harus kau rindukan.”
“Maksudmu Yuli? Dan Iqbal anakku?”
“Ya, beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan istri dan anakmu itu.”
“Aku juga merindukan mereka.” Ucapnya. Aku tak bertanya mengapa dia tak menemui anak dan istrinya, aku sudah tahu jawabannya.

Kami hanya terdiam, sejenak keadaan menjadi hening, tak ada suara debur ombak, tak ada suara gemuruh angin di telinga.

“Apakah kau belum menikah?” Dia bertanya, memecahkan keheningan. Aku hanya tersenyum kecil.
“Ternyata kau masih seorang Sas yang kukenal dahulu.” Lanjutnya.
“Entahlah, aku rasa aku masih belum mengerti cinta.” Balasku.
“Bukankah cinta memang untuk dirasa bukan dimengerti?”
Aku tertawa mendengar ucapannya, dia masih Musa yang kukenal dahulu.
“Ya, walau kau dewa cinta, tapi aku yang mudah mendapatkan wanita.” Balasku.
“Aku mengaku kalah kalau soal yang satu itu.” Ucapnya sambil tertawa. Aku tersenyum kecil, kami kembali terdiam.

“Musa, apa kau masih ingat tentang impian kita?” Tanyaku.
“Impian? seperti alasanmu untuk pergi ke Jakarta?”
“Ya, dan khayalanmu untuk membelah lautan, seperti seorang Musa.” Jawabku.
“Ayolah Sas, itu hanya khayalanku sewaktu kecil.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku memandangnya dari sudut mataku. Aku memandangnya dengan tajam.
“Kau tahu, aku berhasil mewujudkan impianku. Aku dapat hidup bahagia di Jakarta, mengapa saat itu kau tak benar-benar membelah lautan?” Ucapku. Musa hanya menunduk diam.
“Bukankah saat itu adalah kesempatan terakhirmu untuk mewujudkan impian?” lanjutku kemudian.
“Sas, ayolah, membelah lautan bukan benar-benar impianku.” Jawabnya. Aku masih memandangnya. Dia membakar sebatang rokok.
“Seandainya saat itu kau benar-benar membelah lautan. Demi tuhan, untuk pertama kalinya, aku berharap agar khayalanmu menjadi kenyataan”
“Sudah! Cukup! Sas! ini takdir! ini takdir!” Ucapnya setengah berteriak, sambil berdiri. Aku agak terpicing memandangnya. Kemudian aku ikut berdiri, kami berhadapan.
“Apa kau tahu bagaimana sedihnya istrimu? Ingat akan janjimu untuk membahagiakannya? dia mencintaimu!” Teriakku kepadanya.
 “Aku juga tak mau pergi di hari keparat itu! Aku juga berharap kalau saat itu aku ada di sampingnya! Aku tak mau kehilangan dia!”

Wajahku memerah, dia kembali duduk di atas pasir. Aku memandangnya, seperti memojokkannya. Kemudian aku kembali duduk di sampingnya. Kami hanya terdiam. Aku tahu, aku harus mengucapkan sesuatu.

“Maaf.” Ucapku kepadanya, dia hanya terdiam.
“Beban Yuli terlalu berat, dia harus menghidupi anak kalian. Dia masih sangat merindukanmu.” Ucapku kemudian.
“Apa yang harus kulakukan? Seandainya aku mampu membelah lautan, Sas, aku bukan Nabi! Aku tak punya keajaiban.“ Ujarnya.
“Apa kau memang harus pergi?” Tanyaku.
“Sas, ini takdir, ini takdir.” Dia memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

*************

Siang itu, beberapa jam sebelum perbincanganku dengan Musa sahabatku, aku berdiri di depan rumahnya. Seorang anak laki-laki berumur 7 tahun berlari keluar. Aku tahu, dia Iqbal anak satu-satunya sahabatku. Aku menyapanya, menanyakan apakah ibunya sedang ada di rumah. Beberapa menit kemudian, aku sudah ada di ruang tamu, duduk di lantai, karena memang tak ada kursi, apalagi sofa. Yuli tampak lebih kurus dari yang kubayangkan, pipinya cekung, tatapan matanya kosong, rambutnya panjang berombak tak tertata. Dia sedikit terkejut menatapku, seketika itu juga matanya berkaca-kaca. Dia langsung mengusap air mata yang tak mampu dibendungnya, sepertinya dia tak ingin terlihat sedih di depan anaknya, Iqbal. Kami berbincang seolah tak ada apa-apa, Yuli mencoba tersenyum, namun terlihat dipaksakan. Setelah Iqbal pergi, wajah Yuli kembali sendu.

“Bagaimana perasaanmu?” Tanyaku.
“Yah, begitulah, tentu kau mengerti bagaimana aku mencintainya.” Jawab Yuli kepadaku.
“Apa jenazahnya masih belum ditemukan?” Tanyaku lagi. Yuli menggeleng perlahan.
“Maaf, aku tak mampu melakukan apa-apa.” Ucapku. Yuli hanya terdiam.
“Sampai saat ini semua masih terlalu berat. Aku masih merindukannya, aku masih menulis namanya di tembok kamarku” Ucap Yuli, tiba-tiba.
“Apakah yang seperti itu cinta sejati?” Tanyaku.
“Sas, apakah kau masih mencintai lautan? Apakah kau masih mencintai pantai?” Tanya Yuli kepadaku.

Aku terdiam, kemudian mengangguk dengan ragu.

“Kau ingat pantai tempat kau dan suamiku sering bermain ketika kecil?” Tanya Yuli. Aku mengangguk kembali.
“Di sana dia tewas, laut dan pantai yang begitu kalian cintai telah merenggut nyawanya.” Ucap Yuli. Aku terdiam, kami terdiam. Yuli kembali tertunduk, air matanya menetes, kali ini dia tak segera menyekanya.
“Saat ini aku tahu, dia masih begitu mencintai lautan. Aku tahu, kalian masih mencintai pantai. Apa itu cinta sejati? Seperti cintaku padanya.” Ucap Yuli dengan suara yang bergetar. Lagi-lagi aku hanya terdiam.

*************

Beberapa saat sebelum perbincanganku dengan Musa. Aku duduk seorang diri, di pinggir pantai. Hari ini ombak sedang tak bergelora, hanya angin yang berhembus sangat kencang. Rambutku berkibar-kibar. Seandainya saat ini Musa sedang duduk di sampingku. Seandainya saat ini kami dapat mengenang masa-masa indah kami ketika kecil, bermain bersama ombak, berlari di atas pasir yang lembut. Seandainya aku dapat bertanya kepadanya, mengenai alasan mengapa dia harus pergi. Seandainya dia benar-benar seorang Musa yang mampu membelah lautan. Mungkin saat itu nyawanya dapat terselamatkan. Saat ini aku benar-benar berharap, jika saja dia ada di sebelahku, jika saja kami masih dapat bertemu, kembali bernyanyi bersama. Namun segalanya memang harus berubah, walau aku masih sangat berharap, jika saja saat ini, dia sedang duduk di sampingku, dan berbincang walau untuk yang terakhir kalinya.

Ario Sasongko
0 Comments

Setelah Maut Berkumandang

27/12/2010

0 Comments

 
Terdengar suara megaphone dari masjid dekat rumahku. Ada sebuah pengumuman yang mengumandang. Rupanya berita kematian kembali terdengar. Aku tertegun, mencoba menyimak siapakah kali ini yang harus pergi menemui Tuhan. Inilah yang menarik dari dunia. Sejenak aku mengira akan melewati hari ini dengan biasa saja. Bangun pagi, sarapan, nonton televisi atau mendengar radio. Lalu mungkin pergi ke tempat di pojok kemegahan kota. Mungkin saja di jalan aku mengalami kecelakaan, atau bertemu wanita cantik. Entahlah, aku tak pernah mengetahui apa yang akan terjadi. Berita kematian ini memberikan perasaan yang aneh di dalam pikiranku. Ada rasa menggelitik, rasa kehilangan, entahlah. Tiba-tiba saja kembali terbayang sosok pria setengah baya yang tinggal tak jauh dari rumahku, dia yang dikabarkan meninggal hari ini. Aku tak mengenalnya terlalu dekat, namun berita kematiannya membuatku membayangkan wajah pria itu berkali-kali. Aku membayangkan ketika dia sedang tersenyum, sedang memesan pecel ayam, sedang berangkat kerja, sedang duduk di warung rokok, sedang membaca koran. Ah, kepergiannya membuat aku seolah sedang kasmaran dengannya.

Aku mengganti pakaian, memakai baju hitam. Kata orang-orang, pakaian hitam melambangkan duka cita, namun entah siapa sebenarnya yang mencetuskan ide ini. Aku sempat berkaca sebentar, baru kemudian pergi ke rumah duka. Sudah ada beberapa orang yang berdiri di sekitar rumah itu. Pagar rumah terbuka lebar, dan terlihat seorang wanita muda yang menangis tersedu-sedu. Wanita itu adalah istri almarhum yang baru saja meninggal. Beberapa ibu-ibu tetangga mencoba menenangkan. Aku menghampirinya, mengucapkan rasa bela sungkawa, kemudian berkumpul dengan beberapa pemuda yang seumuran denganku. Rupanya kematian almarhum baru beberapa menit yang lalu. Sehingga belum ada persiapan untuk menyambut tamu yang datang. Aku menanyakan kepada temanku, perihal kematian almarhum. Kemudian aku mulai mendapat cerita-cerita dramatis tentang kepergianya. Ada yang mengatakan bahwa malam kemarin dia sempat berbincang dengan almarhum. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi dia sempat melihat almarhum yang sedang shalat subuh. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi almarhum masih sempat membeli rokok di warungnya. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya siang ini dia sudah ada janji dengan almarhum. Semua seperti ingin menjadi bagian yang penting dari peristiwa ini. Begitulah, kepergian seseorang membuat kita mengingat-ingat kembali saat terakhir kita bertemu dengannya. Akupun sempat membayangkan kapan terakhir kali bertemu, rupanya sudah cukup lama, itu juga hanya sekedar berpapasan.

Merasa tak ada yang dikerjakan, aku dan beberapa pemuda seumuran mengambil inisiatif untuk memasang terpal di depan rumah duka. Kami mengambil terpal tersebut di masjid dekat rumah. Hanya di suasana seperti inilah, aku dengan sepenuh hati mengerjakan sesuatu. Memanjat tiang listrik untuk mengikat tali rafia yang disambungkan ke ujung terpal. Mengangkat kursi-kursi dan menaruhnya di depan rumah duka. Menyiapkan beberapa baskom dan ditutupi kain putih, untuk tempat sumbangan. Mengambil alat pemandian jenazah. Memasang bendera kuning. Aku baru sadar kalau aku tak pernah tersenyum di saat-saat seperti itu. Mengapa menjadi seolah tabu untuk tersenyum di depan orang yang sedang berduka. Ditambah lagi panas hari yang sedang terik-teriknya siang ini. Memang seperti inilah kenyataan dunia. Langit tak pernah ikut berduka ketika ada seseorang yang sedang berduka. Apakah mereka tak tahu bahwa hujan terjadi karena uap yang berubah menjadi butiran air, kemudian karena terlalu berat maka jatuh ke tanah. Orang bodoh mana yang berkata bahwa hujan terjadi karena langit sedang berduka ?

Segala kebutuhan telah disiapkan, namun jenazah almarhum belum juga datang. Aku duduk agak menjauh dari yang lainnya. Aku memang senang seperti ini ketika ingin memperhatikan suasana yang terjadi. Sang istri yang ditinggalkan masih saja menangis. Beberapa pria dewasa sedang mengobrol sambil merokok, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Apakah rasa kehilangan dirasakan oleh semua orang yang berada di sini? Aku tidak, yang kulakukan hanyalah meringankan beban yang ditinggalkan. Setelah ini aku akan menjalani hidupku seperti biasa. Toh aku memang masih menjalani kehidupan, aku masih bernafas di dunia yang semakin hari semakin membusuk ini. Aku jadi membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh dia yang sudah pergi. Apakah dia sedang berada di tempat ini? Memperhatikan dunia yang bukan lagi miliknya? Apakah yang mungkin akan dilakukannya setelah kematian? Berbeda dengan istrinya yang masih hidup, saat ini memang dia sedang menangis tersedu-sedu. Tapi siapa yang tahu kalau nanti dia akan menikah lagi. Bukankah besok pagi dia harus menjalani kehidupan? dan bisa saja melupakan suaminya yang telah meninggal.

Lamunanku dibuyarkan oleh kendaraan jenazah yang baru saja datang. Pihak keluarga langsung menangis menjadi-jadi. Jenazah diangkat untuk dimandikan. Tubuh itu membujur kaku, seperti tertidur pulas. Aku tak sempat melihat wajahnya. Ada banyak kisah dari wajah orang yang sudah meninggal. Ada yang berkata bahwa wajah itu seolah tersenyum. Aku pernah melihat di sinetron televisi, bahwa seorang yang durhaka kemudian sekitar matanya hitam membusuk ketika meninggal. Aku tak pernah mengetahui kebenaran soal cerita seperti itu. Beberapa orang membaca ayat-ayat suci yang aku tak tahu artinya. Suasana seolah berubah menjadi sendu. Aku memandang orang-orang yang membaca ayat-ayat suci sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada pihak keluarga yang menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan itu, berbondong-bondong orang datang untuk ikut berbela sungkawa. Orang-orang duduk sambil menunduk. Mereka mungkin merenungi sesuatu, mungkin saja umur mereka. Kematian seseorang membuat hari ini menjadi berbeda, hanya hari ini saja. Karena kehidupan tak pernah membicarakan kematian, kehidupan hanya memberitahukan bagaimana cara mencari makan pada setiap harinya.

Setelah dimandikan, jenazah langsung dibawa ke dalam untuk dibalut dengan kain kafan. Warnanya putih sehingga jenazah tersebut terlihat suci. Aku jadi teringat tentang kisah Abu Nawas. Tokoh itu diceritakan sebagai seorang yang cerdik. Sebelum dia meninggal, dia berwasiat untuk dibalut dengan kain berwarna hitam. Rupanya untuk mengelabuhi malaikat yang datang untuk menanyakan beberapa pertanyaan tentang iman. Abu Nawas berdalih bahwa dia sudah dimakamkan sejak dahulu, dan buktinya adalah kain kafan yang sudah kotor berwarna hitam. Aku tak tahu apakah cara itu dapat benar-benar digunakan. Mungkin aku akan mengambil kesempatan itu jika tak sempat bertobat sebelum kematian. Setelah selesai dibalut dengan kain kafan, jenazah tersebut dibawa ke masjid untuk dishalatkan, dan kemudian di bawa ke pemakaman untuk dimakamkan.

Saat itu hari sudah semakin senja. Walau aku tak dapat memandang warna-warna jingga di langit. Namun aku merasakan keindahan ketika menyadari masih dapat merasakan cahaya sore hari dan nanti gelapnya malam. Setelah pemakaman, aku hanya berjalan kembali ke rumah, kembali pada kehidupan nyata. Hari kematian hanyalah kisah yang tak pernah kuketahui terjadinya. Yang aku ketahui hanya menjalani kehidupan yang masih terbentang di hadapan. Jika aku dapat menentukan apa yang aku lakukan setelah kematian, mungkin aku akan memilih untuk disiapkan alat tulis, rokok dan kopi. Karena sampai saat ini, aku tak tahu apa yang harus dikerjakan, selain menulis. Seperti kisah yang baru saja kuceritakan. Hanya kisah lainnya tentang kematian, di dalam kehidupan.


Ario Sasongko
0 Comments

    RSS Feed

    The Web Ask Ario Sasongko

    Archives

    September 2015
    July 2013
    December 2011
    November 2011
    August 2011
    December 2010

Powered by Create your own unique website with customizable templates.
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya