Aku memanggilnya Bang Jair, pria gemuk, yang biasa memakai peci, kaus berkancing yang dua bagian atasnya selalu dia biarkan terbuka, dan tak pernah memakai alas kaki. Dia adalah seorang penjual bakso dengan gaya teriakan yang sangat khas, dari ujung gang sana sudah hapal aku dengan suaranya yang terdengar panjang, syahdu, dan terdengar sangat arif, bahkan saat hanya satu kata yang selalu kudengar dari suaranya tersebut; Bakso. Gaya berjalannya juga selalu terlihat tenang, langkahnya ringan, seolah tak memiliki beban ketika mendorong gerobak bakso tua, yang sudah menemaninya selama puluhan tahun. Peci yang dikenakannya, selalu agak ditarik ke belakang kepalanya, sehingga dahinya yang lebar dapat terlihat dengan jelas.
Hampir setiap malam aku membeli baksonya. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari bakso buatan Bang Jair. Hanya saja, ada hidangan tambahan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kami pelanggan setianya; Ceker ayam. Bakso ceker buatan Bang Jair ini memang istimewa, perpaduan rasa bakso dan daging ceker tersebut, terasa pas sekali di lidah kami. Belum lagi aroma kaldunya yang kental, dan taburan bawang goreng di atasnya, membuat bakso ceker buatan Bang Jair menjadi jualan kesukaan masyarakat di daerah perumahanku.
Hampir setiap malam aku membeli baksonya. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari bakso buatan Bang Jair. Hanya saja, ada hidangan tambahan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kami pelanggan setianya; Ceker ayam. Bakso ceker buatan Bang Jair ini memang istimewa, perpaduan rasa bakso dan daging ceker tersebut, terasa pas sekali di lidah kami. Belum lagi aroma kaldunya yang kental, dan taburan bawang goreng di atasnya, membuat bakso ceker buatan Bang Jair menjadi jualan kesukaan masyarakat di daerah perumahanku.
Malam ini, lagi-lagi aku menunggu kedatangannya, besok hari libur, hari pahlawan. Banyak sekali anak-anak kecil yang berkeliaran di malam seperti ini, permainan-permainan gaduh itu kemudian semakin meramaikan jalan aspal sempit di depan rumahku, dahulu sekali aku sering juga memainkannya. Dahulu sekali juga, saat aku masih mengenakan celana pendek berwarna merah sampai malam hari, aku sudah sering membeli bakso ceker Bang Jair. Ya, kalau dihitung-hitung, paling tidak sudah hampir 20 tahun Bang Jair berjualan di daerah perumahan ini, paling tidak itu yang aku tau, kami semua sudah mengenalnya dengan begitu baik.
Ada satu kenangan masa kecilku dengan Bang Jair, yang tak bisa kulupakan sampai sekarang. Mungkin saat itu aku masih berumur enam tahun. Suatu hari aku merengek kepada ibuku untuk membeli bakso cekernya, apalagi suara syahdunya sudah mulai terdengar di ujung jalan. Semakin dekat suaranya, semakin giatlah aku merengek kepada ibuku. Memang sorenya, ibuku sudah berpeluh di dapur, sibuk membuatkan makan malam untuk kami sekeluarga. Namun sayangnya, sejak sore itupula aku tiba-tiba mengidamkan bakso ceker buatan Bang Jair. Ibukupun akhirnya menyerah pula pada kegigihan tekadku untuk memakan bakso ceker, di malam itu.
“Jangan lupa pakai sendal!”
Teriakan ibuku ini memang khas dan otomatis terlontar, setiap kali aku hendak pergi keluar rumah. Akupun, sambil berteriak penuh harap, memanggil Bang Jair, kemudian jadi merasa bersalah jika tak menuruti permintaan Ibuku.
“Satu mangkuk, Bang.”
Kalimat itu akhirnya bisa aku ucapkan, sambil menyodorkan mangkuk transparan berwarna coklat kepadanya. Sementara itu, Bang Jair hanya mengangguk-ngangguk saja, sambil tersenyum kecil, terlihat dibalik kumisnya yang tebal. Aku biasa ikut memperhatikan kegiatan menghidangkan bakso, setiap kali aku membelinya dari Bang Jair, apalagi aku menyukai aroma kaldu yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Kadang-kadang kami berbincang, dia sering menanyakan kegiatanku dalam sehari, kadang-kadang pula dia lebih suka hanya diam saja, sambil sibuk menyeduhkan kuah bakso yang disiapkannya untukku. Di malam itu, dia lebih suka untuk melakukan kebiasaanya yang kedua, karena pegal berdiri, akupun berjongkok, mengopang daguku dengan kedua tangan, dan memperhatikan jalanan aspal yang baru minggu lalu diperbaiki.
Kupikir, itulah untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa Bang Jair tak pernah memakai alas kaki, seperti yang sebelumnya sudah kuutarakan, kala itu aku berusia enam tahun. Tentu pemandangan semacam ini menjadi tidak biasa bagi anak kecil sepertiku, terlebih lagi bila ibumu selalu meneriaki untuk memakai sendal setiap kali kau hendak keluar rumah. Urusan sendal ini kemudian menjadi semakin rumit, kompleks juga, karena selama ini aku telah menyederhanakannya ke dalam pola pikir yang tidak sulit; Semua orang memakai sendal saat hendak keluar rumah. Aku ingin menanyakan langsung kepadanya, namun ada dua hal yang aku khawatirkan. Pertama, mungkin saja pertanyaanku adalah jenis ungkapan yang salah, karena ada banyak hal yang dimengerti orang dewasa, dan belum aku mengerti. Kedua, ini adalah pemikiran lugu anak seusiaku, kupikir juga, mungkin Bang Jair terlalu miskin bahkan untuk membeli sendal jepit. Aku tak tau harga sebuah sendal jepit di warung, namun sepertinya itupun tak dapat disanggupinya. Aku, kemudian hanya memilih diam, sama seperti ketika guru matematikaku menanyakan soal perkalian yang belum bisa kuhapal dengan baik.
Semenjak hari itu, aku tak pernah berani membeli bakso ceker Bang Jair lagi, pemandangan kakinya yang tak beralas, selalu saja menggangguku. Apalagi, setiap hari ibu selalu melengkingkan teriakan khasnya saat aku hendak keluar rumah. Aku jadi mempertanyakan konsepsi sendal yang aku kenakan. Mengapa selalu ada benda yang menempel di telapak kakiku, setiap kali aku hendak keluar rumah? Apakah sendal merupakan kewajiban? Sama saja seperti harus menggunakan sarung atau celana panjang saat beribadah. Tapi jika dipikir-pikir lagi, tentu sendal tidak juga begitu saja dianggap sebagai keharusan. Teori itu sudah dipatahkan oleh Bang Jair sang penjual bakso ceker, yang setiap hari berkeliling tanpa menggunakan sendal. Mungkin pula sendal adalah sebuah proses. Untuk anak seusiaku, sendal adalah kewajiban, sampai nanti tiba saatnya aku bisa memutuskan untuk mengenakannya ataupun tidak.
Keraguan-keraguan itu hanya berputar saja di kepalaku, tanpa bisa menemukan jalan keluar. Aku tak berani mengutarakannya kepada ibu, tidak juga pada ibu guru atau bapak guru di sekolahku. Aku mencoba mencari jawaban dengan cara mengamati. Kupandangi kaki-kaki semua orang dewasa yang selalu kutemukan di jalan. Mereka semua mengenakan alas kaki. Aku memperhatikan tukang-tukang yang berjualan di sekitar rumahku, mereka semua memakai alas kaki, sandal, bahkan beberapa mengenakan sepatu, berbahan kulit pula. Sepertinya hanya Bang Jair saja yang tidak mengenakan alas kaki ketika berkeliling.
Kupikir, mungkin ada situasi-situasi khusus, dimana orang-orang dewasa bisa saja tidak mengenakan alas kaki. Aku mulai memperlajarinya sedikit demi sedikit. Di lapangan dekat rumahku, orang-orang dewasa banyak yang tidak memakai alas kaki saat bermain sepak bola. Di masjid, bahkan terdapat himbauan yang terpampang jelas, “Lepaskan alas kaki, ketika memasuki areal masjid.” Saat di rumah, tentu kami semua tak memakai alas kaki, pernah aku sekali mengenakan sandal ketika hendak menaiki tempat tidur, ibu memarahiku. Suatu hari ayah mengajakku berenang di kolam renang umum dekat rumah, rupanya saat berenang kami semua juga tak mengenakan alas kaki. Kakakku yang kursus bela, diri juga tak pernah mengenakan alas kaki ketika berlatih di tempat kursusnya, aula sekolah pada sore hari. Aku menyadari bahwa dalam situasi tertentu, melepas alas kaki justru menjadi sebuah keharusan. Tapi kesadaran itu juga tak membawa jawab akan pertanyaanku, tentang Bang Jair yang selalu berjualan tanpa alas kaki.
Suara Bang Jair yang sudah terdengar dari ujung gang, kini membawa perasaan kalut, dan tidak nyaman setiap kali aku mendengarkannya. Alih-alih menyiapkan mangkuk, seperti yang biasa kulakukan, kini aku justru dengan gugup mencari kesibukan lain, mencoba mengalihkan perhatianku dari suara Bang Jair yang mengalun perlahan.
“Kamu nggak beli bakso?”
Bahkan sikap canggungku ini disadari oleh Ibu. Aku tak berani menjawabnya, dan hanya menggeleng, kemudian pergi menjauh. Lama kelamaan sikapku ini ditanggapi lain oleh Ibuku. Suatu hari, dia berinsiatif memberikan dua mangkuk kepadaku, kemudian memintaku memberli bakso ceker Bang Jair, yang saat itu suaranya sudah mulai terdengar. Tentu aku tak dapat membantah, apalagi mengelak dari permintaan tersebut. Dengan langkah ragu aku mulai berjalan keluar rumah, ditambah lagi ibuku lupa mengingatkanku untuk memakai alas kaki. Aku memandang sandal yang tersandar di tembok depan rumah, sebelum kemudian dengan ragu mulai mengenakannya. Benda itu jadi terasa janggal ketika menempel di telapak kakiku. Suara gesekannya dengan aspal, seolah memunculkan kembali pertanyaan yang terus menghantuiku selama berhari-hari; Mengapa Bang Jair, si penjual bakso ceker, tidak mengenakan alas kaki?
“Udah lama nggak beli, dik.”
Bang Jair menyapaku, saat aku menyodorkan dua buah mangkuk kepadanya. Aku tak bisa menjawab sapaan itu, karena aku memang tak tau harus mengatakan apa. Alih-alih menjawab, lantas aku hanya tersenyum lebar agak dipaksakan, dan Bang Jair membalas dengan senyum yang terlihat di balik kumis tebalnya itu. Bang Jair mulai membuatkan pesananku, biasanya aku langsung berdiri di sebelahnya, memperhatikan bagaimana dia memilih bakso dan ceker untuk ditaruh ke dalam mangkuk, kemudian menyeduhnya dengan kuah yang beraroma kaldu. Kebiasaan itu seperti tak bisa kulakukan lagi, aku hanya terpaku, berdiri agak jauh darinya. Sementara Bang Jair, dengan gerakan tangannya yang tenang, mulai sibuk membuatkan bakso ceker untukku, dia juga terus tersenyum, sikapnya itu membuat aku merasa semakin segan untuk dekat-dekat dengannya. Di tengah kegiatannya itu, tiba-tiba Bang Jair memandang ke arah kakiku, aku semakin canggung, mundur beberapa langkah ke belakang.
“Sendalnya kebalik tuh.”
Ucapan Bang Jair itu benar-benar membuatku terkejut, buru-buru aku melihat ke arah sendalku, dan memang benar aku mengenakannya terbalik. Aku segera membetulkan sendalku.
Ah, saat itu aku semakin menyadari kejanggalan lainnya, jika Bang Jair memang tidak berminat untuk memakai sendal, mengapa kemudian dia memperhatikan sendalku yang tadi kupakai terbalik? Kulihat kemudian Bang Jair menggerakkan kaki kirinya, untuk menggaruk punggung kakinya yang lain. Pemandangan itu mengingatkanku pada ceker ayam yang sibuk menggaruk-garuk tanah, ceker ayam yang menjadi pendamping bakso jualan Bang Jair.
Akhirnya Bang Jair menyodorkan dua buah mangkuk, yang kini sudah terisi dengan bakso serta ceker kesukaanku. Aku menaruhnya ke dalam rumah, kemudian keluar kembali untuk membayar dua mangkuk bakso ceker itu. Bang Jair menaruh uangku ke dalam laci kecil di gerobaknya, kemudian menyiapkan uang kembalian. Rasa ingin tau ini sudah semakin memenuhi kepalaku, jantungku kemudian mulai berdebar-debar, mulutku mulai terbuka, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan.
“Bang Jair kenapa nggak pakai sendal?”
Akhirnya aku mampu menanyakan langsung kepadanya.
Bang Jair memandangku dari sudut matanya, dia hanya diam, wajahnya kali ini tanpa ekspresi, sejenak dia seperti hanya berdiri mematung. Sepertinya aku sudah mengungkapkan pertanyaan yang salah, agak takut-takut, namun aku masih cukup berani menatapnya. Namun tiba-tiba dia tersenyum lebar, dan memberikan uang kembalian kepadaku.
“Ini namanya pijat refleksi, buat kesehatan.”
“Kadang-kadang, bagus juga kalo kita tidak pakai sendal. Tapi jangan lupa cuci kaki waktu masuk rumah.” Lanjutnya kemudian.
Penjelasannya membuat aku merasa sangat lega, sejak itu aku tak pernah lagi merasa aneh ketika melihat Bang Jair yang berjualan tanpa menggunakan alas kaki. Beberapa minggu kemudian, aku mengikuti kursus pencak silat, saat berlatih, aku juga tak pernah mengenakan alas kaki.
Suara Bang Jair yang sudah terdengar dari ujung gang, memecahkan lamunanku akan pengalaman masa kecil itu. Bang Jair kini sudah sangat tua, suaranya sudah serak dan terdengar parau, namun dia masih kuat berjualan. Mungkin karena sejak dulu dia tak pernah mengenakan alas kaki. Dari kejauhan dia sudah melihatku berdiri, dan tentu dia berhenti tepat di depanku. Aku menyodorkan mangkuk transparan berwarna coklat kepadanya.
“Satu mangkuk, Bang.”
Kalimat itu sudah sering kuucapkan selama hampir dua puluh tahun. Bang Jair, dengan senyumnya yang khas dari balik kumis tebal yang kini berwarna keputihan, mulai membuatkanku semangkuk bakso ceker.
“Ceker ayamnya ditambahin ya Bang!”
Permintaanku itu ditanggapi dengan anggukan perlahan darinya. Sampai hari ini, Bang Jair masih tak pernah mengenakan sendal ketika berjualan.***
Ario Sasongko
Ada satu kenangan masa kecilku dengan Bang Jair, yang tak bisa kulupakan sampai sekarang. Mungkin saat itu aku masih berumur enam tahun. Suatu hari aku merengek kepada ibuku untuk membeli bakso cekernya, apalagi suara syahdunya sudah mulai terdengar di ujung jalan. Semakin dekat suaranya, semakin giatlah aku merengek kepada ibuku. Memang sorenya, ibuku sudah berpeluh di dapur, sibuk membuatkan makan malam untuk kami sekeluarga. Namun sayangnya, sejak sore itupula aku tiba-tiba mengidamkan bakso ceker buatan Bang Jair. Ibukupun akhirnya menyerah pula pada kegigihan tekadku untuk memakan bakso ceker, di malam itu.
“Jangan lupa pakai sendal!”
Teriakan ibuku ini memang khas dan otomatis terlontar, setiap kali aku hendak pergi keluar rumah. Akupun, sambil berteriak penuh harap, memanggil Bang Jair, kemudian jadi merasa bersalah jika tak menuruti permintaan Ibuku.
“Satu mangkuk, Bang.”
Kalimat itu akhirnya bisa aku ucapkan, sambil menyodorkan mangkuk transparan berwarna coklat kepadanya. Sementara itu, Bang Jair hanya mengangguk-ngangguk saja, sambil tersenyum kecil, terlihat dibalik kumisnya yang tebal. Aku biasa ikut memperhatikan kegiatan menghidangkan bakso, setiap kali aku membelinya dari Bang Jair, apalagi aku menyukai aroma kaldu yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Kadang-kadang kami berbincang, dia sering menanyakan kegiatanku dalam sehari, kadang-kadang pula dia lebih suka hanya diam saja, sambil sibuk menyeduhkan kuah bakso yang disiapkannya untukku. Di malam itu, dia lebih suka untuk melakukan kebiasaanya yang kedua, karena pegal berdiri, akupun berjongkok, mengopang daguku dengan kedua tangan, dan memperhatikan jalanan aspal yang baru minggu lalu diperbaiki.
Kupikir, itulah untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa Bang Jair tak pernah memakai alas kaki, seperti yang sebelumnya sudah kuutarakan, kala itu aku berusia enam tahun. Tentu pemandangan semacam ini menjadi tidak biasa bagi anak kecil sepertiku, terlebih lagi bila ibumu selalu meneriaki untuk memakai sendal setiap kali kau hendak keluar rumah. Urusan sendal ini kemudian menjadi semakin rumit, kompleks juga, karena selama ini aku telah menyederhanakannya ke dalam pola pikir yang tidak sulit; Semua orang memakai sendal saat hendak keluar rumah. Aku ingin menanyakan langsung kepadanya, namun ada dua hal yang aku khawatirkan. Pertama, mungkin saja pertanyaanku adalah jenis ungkapan yang salah, karena ada banyak hal yang dimengerti orang dewasa, dan belum aku mengerti. Kedua, ini adalah pemikiran lugu anak seusiaku, kupikir juga, mungkin Bang Jair terlalu miskin bahkan untuk membeli sendal jepit. Aku tak tau harga sebuah sendal jepit di warung, namun sepertinya itupun tak dapat disanggupinya. Aku, kemudian hanya memilih diam, sama seperti ketika guru matematikaku menanyakan soal perkalian yang belum bisa kuhapal dengan baik.
Semenjak hari itu, aku tak pernah berani membeli bakso ceker Bang Jair lagi, pemandangan kakinya yang tak beralas, selalu saja menggangguku. Apalagi, setiap hari ibu selalu melengkingkan teriakan khasnya saat aku hendak keluar rumah. Aku jadi mempertanyakan konsepsi sendal yang aku kenakan. Mengapa selalu ada benda yang menempel di telapak kakiku, setiap kali aku hendak keluar rumah? Apakah sendal merupakan kewajiban? Sama saja seperti harus menggunakan sarung atau celana panjang saat beribadah. Tapi jika dipikir-pikir lagi, tentu sendal tidak juga begitu saja dianggap sebagai keharusan. Teori itu sudah dipatahkan oleh Bang Jair sang penjual bakso ceker, yang setiap hari berkeliling tanpa menggunakan sendal. Mungkin pula sendal adalah sebuah proses. Untuk anak seusiaku, sendal adalah kewajiban, sampai nanti tiba saatnya aku bisa memutuskan untuk mengenakannya ataupun tidak.
Keraguan-keraguan itu hanya berputar saja di kepalaku, tanpa bisa menemukan jalan keluar. Aku tak berani mengutarakannya kepada ibu, tidak juga pada ibu guru atau bapak guru di sekolahku. Aku mencoba mencari jawaban dengan cara mengamati. Kupandangi kaki-kaki semua orang dewasa yang selalu kutemukan di jalan. Mereka semua mengenakan alas kaki. Aku memperhatikan tukang-tukang yang berjualan di sekitar rumahku, mereka semua memakai alas kaki, sandal, bahkan beberapa mengenakan sepatu, berbahan kulit pula. Sepertinya hanya Bang Jair saja yang tidak mengenakan alas kaki ketika berkeliling.
Kupikir, mungkin ada situasi-situasi khusus, dimana orang-orang dewasa bisa saja tidak mengenakan alas kaki. Aku mulai memperlajarinya sedikit demi sedikit. Di lapangan dekat rumahku, orang-orang dewasa banyak yang tidak memakai alas kaki saat bermain sepak bola. Di masjid, bahkan terdapat himbauan yang terpampang jelas, “Lepaskan alas kaki, ketika memasuki areal masjid.” Saat di rumah, tentu kami semua tak memakai alas kaki, pernah aku sekali mengenakan sandal ketika hendak menaiki tempat tidur, ibu memarahiku. Suatu hari ayah mengajakku berenang di kolam renang umum dekat rumah, rupanya saat berenang kami semua juga tak mengenakan alas kaki. Kakakku yang kursus bela, diri juga tak pernah mengenakan alas kaki ketika berlatih di tempat kursusnya, aula sekolah pada sore hari. Aku menyadari bahwa dalam situasi tertentu, melepas alas kaki justru menjadi sebuah keharusan. Tapi kesadaran itu juga tak membawa jawab akan pertanyaanku, tentang Bang Jair yang selalu berjualan tanpa alas kaki.
Suara Bang Jair yang sudah terdengar dari ujung gang, kini membawa perasaan kalut, dan tidak nyaman setiap kali aku mendengarkannya. Alih-alih menyiapkan mangkuk, seperti yang biasa kulakukan, kini aku justru dengan gugup mencari kesibukan lain, mencoba mengalihkan perhatianku dari suara Bang Jair yang mengalun perlahan.
“Kamu nggak beli bakso?”
Bahkan sikap canggungku ini disadari oleh Ibu. Aku tak berani menjawabnya, dan hanya menggeleng, kemudian pergi menjauh. Lama kelamaan sikapku ini ditanggapi lain oleh Ibuku. Suatu hari, dia berinsiatif memberikan dua mangkuk kepadaku, kemudian memintaku memberli bakso ceker Bang Jair, yang saat itu suaranya sudah mulai terdengar. Tentu aku tak dapat membantah, apalagi mengelak dari permintaan tersebut. Dengan langkah ragu aku mulai berjalan keluar rumah, ditambah lagi ibuku lupa mengingatkanku untuk memakai alas kaki. Aku memandang sandal yang tersandar di tembok depan rumah, sebelum kemudian dengan ragu mulai mengenakannya. Benda itu jadi terasa janggal ketika menempel di telapak kakiku. Suara gesekannya dengan aspal, seolah memunculkan kembali pertanyaan yang terus menghantuiku selama berhari-hari; Mengapa Bang Jair, si penjual bakso ceker, tidak mengenakan alas kaki?
“Udah lama nggak beli, dik.”
Bang Jair menyapaku, saat aku menyodorkan dua buah mangkuk kepadanya. Aku tak bisa menjawab sapaan itu, karena aku memang tak tau harus mengatakan apa. Alih-alih menjawab, lantas aku hanya tersenyum lebar agak dipaksakan, dan Bang Jair membalas dengan senyum yang terlihat di balik kumis tebalnya itu. Bang Jair mulai membuatkan pesananku, biasanya aku langsung berdiri di sebelahnya, memperhatikan bagaimana dia memilih bakso dan ceker untuk ditaruh ke dalam mangkuk, kemudian menyeduhnya dengan kuah yang beraroma kaldu. Kebiasaan itu seperti tak bisa kulakukan lagi, aku hanya terpaku, berdiri agak jauh darinya. Sementara Bang Jair, dengan gerakan tangannya yang tenang, mulai sibuk membuatkan bakso ceker untukku, dia juga terus tersenyum, sikapnya itu membuat aku merasa semakin segan untuk dekat-dekat dengannya. Di tengah kegiatannya itu, tiba-tiba Bang Jair memandang ke arah kakiku, aku semakin canggung, mundur beberapa langkah ke belakang.
“Sendalnya kebalik tuh.”
Ucapan Bang Jair itu benar-benar membuatku terkejut, buru-buru aku melihat ke arah sendalku, dan memang benar aku mengenakannya terbalik. Aku segera membetulkan sendalku.
Ah, saat itu aku semakin menyadari kejanggalan lainnya, jika Bang Jair memang tidak berminat untuk memakai sendal, mengapa kemudian dia memperhatikan sendalku yang tadi kupakai terbalik? Kulihat kemudian Bang Jair menggerakkan kaki kirinya, untuk menggaruk punggung kakinya yang lain. Pemandangan itu mengingatkanku pada ceker ayam yang sibuk menggaruk-garuk tanah, ceker ayam yang menjadi pendamping bakso jualan Bang Jair.
Akhirnya Bang Jair menyodorkan dua buah mangkuk, yang kini sudah terisi dengan bakso serta ceker kesukaanku. Aku menaruhnya ke dalam rumah, kemudian keluar kembali untuk membayar dua mangkuk bakso ceker itu. Bang Jair menaruh uangku ke dalam laci kecil di gerobaknya, kemudian menyiapkan uang kembalian. Rasa ingin tau ini sudah semakin memenuhi kepalaku, jantungku kemudian mulai berdebar-debar, mulutku mulai terbuka, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan.
“Bang Jair kenapa nggak pakai sendal?”
Akhirnya aku mampu menanyakan langsung kepadanya.
Bang Jair memandangku dari sudut matanya, dia hanya diam, wajahnya kali ini tanpa ekspresi, sejenak dia seperti hanya berdiri mematung. Sepertinya aku sudah mengungkapkan pertanyaan yang salah, agak takut-takut, namun aku masih cukup berani menatapnya. Namun tiba-tiba dia tersenyum lebar, dan memberikan uang kembalian kepadaku.
“Ini namanya pijat refleksi, buat kesehatan.”
“Kadang-kadang, bagus juga kalo kita tidak pakai sendal. Tapi jangan lupa cuci kaki waktu masuk rumah.” Lanjutnya kemudian.
Penjelasannya membuat aku merasa sangat lega, sejak itu aku tak pernah lagi merasa aneh ketika melihat Bang Jair yang berjualan tanpa menggunakan alas kaki. Beberapa minggu kemudian, aku mengikuti kursus pencak silat, saat berlatih, aku juga tak pernah mengenakan alas kaki.
Suara Bang Jair yang sudah terdengar dari ujung gang, memecahkan lamunanku akan pengalaman masa kecil itu. Bang Jair kini sudah sangat tua, suaranya sudah serak dan terdengar parau, namun dia masih kuat berjualan. Mungkin karena sejak dulu dia tak pernah mengenakan alas kaki. Dari kejauhan dia sudah melihatku berdiri, dan tentu dia berhenti tepat di depanku. Aku menyodorkan mangkuk transparan berwarna coklat kepadanya.
“Satu mangkuk, Bang.”
Kalimat itu sudah sering kuucapkan selama hampir dua puluh tahun. Bang Jair, dengan senyumnya yang khas dari balik kumis tebal yang kini berwarna keputihan, mulai membuatkanku semangkuk bakso ceker.
“Ceker ayamnya ditambahin ya Bang!”
Permintaanku itu ditanggapi dengan anggukan perlahan darinya. Sampai hari ini, Bang Jair masih tak pernah mengenakan sendal ketika berjualan.***
Ario Sasongko