Dua hari sudah Bapak mengigau di atas kasur. Tak ia peduli pada perkara lain-lainnya, tak juga makan, minum, buang air, sendawa dan segala macam itu. Ia hanya berbaringan saja, tak sudi buka mata dan panas badan yang lebih banyak naik ketimbang turun. Anak-anak kesemuanya sudah berkumpul, itu terjadi amat segera setelah Dul mengirimkan pesan kawat yang isinya berpotongan singkat betul: “Bapak. Kalian. Sakit. Tak Sudi. Dibawa. Ke. Dukun Sehat. Cepat. Urus. Sini.” Dul ini sebenarnya sekedar tetangga yang ketimpa urusan untuk menjaga Bapak. Ia mendapat uang tiap bulan sebagai ganti kerugian atas segala kesusahan itu. Orang seperti Dul ini memang sudah perlu, terutama setelah Emak meninggal dan anak-anak bapak tak ada yang seorangpun sudi untuk balik lagi ke kandang sini, kampung bekas wilayah pabrik gula yang bangkrut akibat pekerjanya yang membelot.
Seperti halnya pesan yang dikirim dengan singkat-singkat demikian itu, anak-anak Bapak juga semuanya datang dalam waktu yang singkat. Datangnya mereka ini kebetulan juga disesuaikan dengan urutan lahir, pertama yang sulung datang, lalu disusul adiknya yang perempuan, lalu adiknya yang laki-laki, lalu adiknya yang perempuan dan si bontot datang paling belakang, laki-laki. Lakon kedatangan merekapun semuanya sama: Dalam suasana tenang, tiba-tiba pintu depan terjengkang dan gaduh, dari balik pintu itu si anak muncul.
Seperti halnya pesan yang dikirim dengan singkat-singkat demikian itu, anak-anak Bapak juga semuanya datang dalam waktu yang singkat. Datangnya mereka ini kebetulan juga disesuaikan dengan urutan lahir, pertama yang sulung datang, lalu disusul adiknya yang perempuan, lalu adiknya yang laki-laki, lalu adiknya yang perempuan dan si bontot datang paling belakang, laki-laki. Lakon kedatangan merekapun semuanya sama: Dalam suasana tenang, tiba-tiba pintu depan terjengkang dan gaduh, dari balik pintu itu si anak muncul.