Dua hari sudah Bapak mengigau di atas kasur. Tak ia peduli pada perkara lain-lainnya, tak juga makan, minum, buang air, sendawa dan segala macam itu. Ia hanya berbaringan saja, tak sudi buka mata dan panas badan yang lebih banyak naik ketimbang turun. Anak-anak kesemuanya sudah berkumpul, itu terjadi amat segera setelah Dul mengirimkan pesan kawat yang isinya berpotongan singkat betul: “Bapak. Kalian. Sakit. Tak Sudi. Dibawa. Ke. Dukun Sehat. Cepat. Urus. Sini.” Dul ini sebenarnya sekedar tetangga yang ketimpa urusan untuk menjaga Bapak. Ia mendapat uang tiap bulan sebagai ganti kerugian atas segala kesusahan itu. Orang seperti Dul ini memang sudah perlu, terutama setelah Emak meninggal dan anak-anak bapak tak ada yang seorangpun sudi untuk balik lagi ke kandang sini, kampung bekas wilayah pabrik gula yang bangkrut akibat pekerjanya yang membelot.
Seperti halnya pesan yang dikirim dengan singkat-singkat demikian itu, anak-anak Bapak juga semuanya datang dalam waktu yang singkat. Datangnya mereka ini kebetulan juga disesuaikan dengan urutan lahir, pertama yang sulung datang, lalu disusul adiknya yang perempuan, lalu adiknya yang laki-laki, lalu adiknya yang perempuan dan si bontot datang paling belakang, laki-laki. Lakon kedatangan merekapun semuanya sama: Dalam suasana tenang, tiba-tiba pintu depan terjengkang dan gaduh, dari balik pintu itu si anak muncul.
Seperti halnya pesan yang dikirim dengan singkat-singkat demikian itu, anak-anak Bapak juga semuanya datang dalam waktu yang singkat. Datangnya mereka ini kebetulan juga disesuaikan dengan urutan lahir, pertama yang sulung datang, lalu disusul adiknya yang perempuan, lalu adiknya yang laki-laki, lalu adiknya yang perempuan dan si bontot datang paling belakang, laki-laki. Lakon kedatangan merekapun semuanya sama: Dalam suasana tenang, tiba-tiba pintu depan terjengkang dan gaduh, dari balik pintu itu si anak muncul.
“Mana Bapak?”
“Di kamar.”
“Sudah mati belum?”
Dul hanya menggeleng. Yang kemudian si anak itu lari ke kamar untuk mencari tahu Bapaknya. Adegan yang seperti itu, sama persis pula, kembali diulang sampai pada bagian si bontot yang sudah kehabisan efek dramatisnya.
Badan Bapak tak juga membaik, meski sudah berharian itu ia dikasih istirahat dan dibaringkan begitu saja di tempat tidur. Mereka sudah mencoba mengajak Bapak ke rumah sakit, namun dalam erangan dan igauannya, jelas-jelas terlihat Bapak menentangnya. Begitu juga saat mereka memberi siasat baru; Panggil dokter ke rumah. Bapak langsung mengerang, mengigau seperti disiksa setiap kali dokter manapun juga memunculkan barang sehelai rambut saja di ambang pintu. Sudahlah mereka ini terlanjur putus asa. Mereka pikir-pikir, mungkin Bapak ini memang sudah punya kehendak ingin mati ketimbang sembuh, dan dalam adat, urusan mati juga artinya urusan harta peninggalan. Mereka ini, meski sadar masih terlalu subuh untuk bahas harta Bapak mereka yang belum resmi mati, memutuskan lebih baik cepat saja membahaskannya.
“Kalau begitu, kenapa tak kita bikin urus soal warisan? Apa Bapak pernah bikin wasiat?”
“Entah. Dul? Pernah kau lihat Bapak bikin wasiat?”
Dul ini, yang walau pekerjaannya adalah tukang urus Bapak, tak pernah sekalipun ia lihat atau diberitahukan perkara wasiat semacam ini.
“Yakin kau Dul?”
“Yakin betul, Den.”
“Apa ini berarti Bapak memang tak pernah bikin wasiat?”
“Ah, kalau benar begitu, serakah betul Bapak kita. Masa sampai mati saja itu harta inginnya dimakan sendiri.”
“Atau, barangkali ia sudah pernah tulis, tapi memang belum ia beri tunjuk pada siapa-siapa.”
Mereka hening.
“Tapi, kalaupun ada surat wasiat, memangnya Bapak kita punya harta untuk dibagi?
Untuk pembahasan ini, apa yang dikemukakan si bontot memang ada benarnya juga. Bapak cuma tinggal di rumah kayu yang luas tanahnya tak ada apa-apanya. Anak-anak bapak memang semuanya sudah hidup enak di kota. Mereka juga pintar mencari lawan kawin hingga mertua mereka semuanya adalah pembesar-pembesar kota. Nah, lantaran mertua mereka yang banyak harta inilah, akhirnya mereka semua malu untuk mengajak Bapak ke kota. Bahkan kawinpun mereka tak mengundang Bapak. Adegan dialognya sengaja mereka buat singkat.
“Kalau begitu kapan saya bisa bicara dengan bapakmu?”
“Bapak saya mati.”
Demikian diucapkan sambil membuang muka. Aksi buang muka ini memang disengaja sehingga lawan bicaranya jadi enggan untuk melanjutkan pembahasan apapun. Begitulah kemudian awal sejarahnya sampai Dul ditimpakan ganti rugi untuk mengurus bapak.
“Tanah, Den.”
Ucapan Dul memecahkan situasi.
“Tanah? Bapak punya tanah?”
“Berapa hektar, Dul.”
“Tak tahu.”
“Kira-kira saja.”
“Yah barangkali empat hektar.”
Kelima bersaudara ini saling tukar pandang. Barulah mereka ingat perkara tanah empat hektar ini. Kejadiannya waktu si bontot masih kecil. Setelah diusirnya pemilik modal dari Belanda, warga desa saling berebut mematok tanah. Waktu itu Bapak masih sehat dan punya banyak pesuruh. Ia patoknya tanah tanpa tuan itu sampai empat hektar banyaknya.
“Kalau begini, kita wajib cari surat wasiat Bapak.”
Besok pagi sekali, kelimanya sudah kerja bakti di dalam rumah. Mereka bongkar dengan cermat segala isi di rumah yang tidak makan keringat untuk dihitung jengkal luasnya itu. Sekali mereka cari, tak ada hasil. Dua kali, masih juga demikian. Sampai berkali-kalipun, mereka tak temui barang selembar surat yang ada urusannya dengan harta benda. Ada mereka ketemukan surat, tapi malah surat cinta, dengan perempuan lain pula! Rupa-rupanya Bapak pernah main gila dengan perempuan bernama Sri. Dalam surat itu jelas sekali Sri menulis bagaimana ia merindukan pelukan hangat Bapak. Memang karena surat ini tak bertanggal, tak jelas kenyataannya, apakah mereka bersurat setelah atau sebelum Emak meninggal. Toh, kabar yang tak sengaja terbongkar ini malah mereka abaikan. Ada urusan yang rasanya mereka anggap lebih penting.
“Sudahlah, Bapak juga sebentar lagi mati. Kalau dia pernah main gila, biar jadi urusannya dengan Tuhan.”
“Lalu urusan kita apa?”
“Tanah!”
Upaya pencarian ini tak makan hasil. Mereka lalu membikin rencana kedua: Tanya langsung. Setiap jam mereka saling berganti tugas untuk masuk ke kamar bapak dan bertanya baik-baik tentang perkara wasiat. Tapi siapapun yang tanya, hasilnya tetap saja sama.
“Pak.”
“Emmmhhh.”
“Bapak punya tanah empat hektar. Betul?”
“Emmmhhh.”
“Sudah bapak pikir tanah itu mau dikasih siapa?”
“Emmmhhh.”
“Apa bapak pernah tulis wasiat?”
“Emmmhhh.”
“Kalau belum, apakah tak baiknya tanah itu buat saya semua saja?”
“Emmmhhh.”
Hasilnya, kini mereka semua jadi ribut urusan jawaban bapak yang bagi mereka masing-masing artinya Bapak sudah beri izin untuk memberikan seluruh empat hektar itu pada siapa yang menanya. Rumah kayu yang sudah uzur itu jadi ricuh, hampir roboh dalam artian yang sebenarnya. Beruntung tempo itu Bapak urung dibawakan ke rumah sakit, karena jika demikian, sudahlah diusir mereka akibat bergaduh, apalagi ini urusannya perkara warisan. Perdebatan ini tak punya jalan keluar. Semuanya yakin bahwa jawaban “Emmmhhh” itu berarti “ya” bagi setiap diri mereka masing-masing.
Urusan ini memang tak ada berhenti sampai tengah malam dan tentu ada bagi diri mereka masing-masing perasaan lelah.
“Sudahlah, jika begini runyam, ada baiknya kita akur saja.”
“Caranya bagaimana?”
“Tanah itu kita bagi.”
“Mana bisa. Tanahnya empat hektar, kita ada lima.”
“Atau kita bikin mati saja satu. Biar urusannya jadi genap.”
“Siapa yang sudi mati?”
“Kalau tak ada, ya kita undi. Tapi syaratnya satu, harus siap terima sial.”
“Hus-hus! Kalian ini sudah melantur.”
“Tanahnya masih bisa dibagi lima.”
“Seorang dapat berapa?”
“nol koma delapan hektar.”
Usulan yang terakhir ini memang terdengar baik ketimbang menuruti usulan mati dengan pertimbangan satu dibanding lima itu. Malam itu akhirnya mereka tidur nyenyak. Ada rasanya damai di hati masing-masing lima saudara itu. Persaudaraan tetap harmonis, masing-masing dapat tanah dan tinggal mendoakan agar Bapak mereka bisa lekasan mati menyusul emak.
Paginya, kelima bersaudara itu melongo. Mereka temukan Bapak sudah berdiri di ruang tengah sambil bertolak pinggang persis bintang di film. Tak ada sedikit juga sisa sakit-sakitan yang kemarin itu dipertontonkan Bapak dengan sungguh-sungguh.
“Loh! Bapak! Bapak sembuh?!"
Bapak terkekeh.
“Jadi, kemarin itu Bapak kenapa?”
“Tak tahulah, barangkali masuk angin.”
Semuanya diam melihat langkah Bapak yang sudah lincah mondar-mandir di dalam rumahnya.
“Oh ya, soal pertanyaan kemarin.”
“Yang mana, Pak?”
“Soal tanah.”
“Nah! Bagaimana itu Pak?”
“Kalian sudah Bapak kasih jatah tiap-tiap orang. Sisanya sudah Bapak wakaf buat jadi lahan kuburan.”
“Kuburan?!”
“Persis.”
“Lalu bagian kami dapat berapa?”
“Masing-masing dapat dua kali setengah meter!””
Ia biarkan anak-anaknya makin melongo. Paling tidak, besok-besok mereka tak perlu lagi pusing soal kuburan. Bapakpun dengan lincah pergi keluar rumah. Rupanya pula ia sudah menyiapkan koper yang turut dibawanya pergi. Tak ada yang tahu kemana perginya ini. Barangkali, ini hanya kemungkinan saja, ia pergi menjemput Sri, idaman hatinya.
Tamat
Ario Sasongko
31 Oktober 2012
BOM CERPEN
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen
“Di kamar.”
“Sudah mati belum?”
Dul hanya menggeleng. Yang kemudian si anak itu lari ke kamar untuk mencari tahu Bapaknya. Adegan yang seperti itu, sama persis pula, kembali diulang sampai pada bagian si bontot yang sudah kehabisan efek dramatisnya.
Badan Bapak tak juga membaik, meski sudah berharian itu ia dikasih istirahat dan dibaringkan begitu saja di tempat tidur. Mereka sudah mencoba mengajak Bapak ke rumah sakit, namun dalam erangan dan igauannya, jelas-jelas terlihat Bapak menentangnya. Begitu juga saat mereka memberi siasat baru; Panggil dokter ke rumah. Bapak langsung mengerang, mengigau seperti disiksa setiap kali dokter manapun juga memunculkan barang sehelai rambut saja di ambang pintu. Sudahlah mereka ini terlanjur putus asa. Mereka pikir-pikir, mungkin Bapak ini memang sudah punya kehendak ingin mati ketimbang sembuh, dan dalam adat, urusan mati juga artinya urusan harta peninggalan. Mereka ini, meski sadar masih terlalu subuh untuk bahas harta Bapak mereka yang belum resmi mati, memutuskan lebih baik cepat saja membahaskannya.
“Kalau begitu, kenapa tak kita bikin urus soal warisan? Apa Bapak pernah bikin wasiat?”
“Entah. Dul? Pernah kau lihat Bapak bikin wasiat?”
Dul ini, yang walau pekerjaannya adalah tukang urus Bapak, tak pernah sekalipun ia lihat atau diberitahukan perkara wasiat semacam ini.
“Yakin kau Dul?”
“Yakin betul, Den.”
“Apa ini berarti Bapak memang tak pernah bikin wasiat?”
“Ah, kalau benar begitu, serakah betul Bapak kita. Masa sampai mati saja itu harta inginnya dimakan sendiri.”
“Atau, barangkali ia sudah pernah tulis, tapi memang belum ia beri tunjuk pada siapa-siapa.”
Mereka hening.
“Tapi, kalaupun ada surat wasiat, memangnya Bapak kita punya harta untuk dibagi?
Untuk pembahasan ini, apa yang dikemukakan si bontot memang ada benarnya juga. Bapak cuma tinggal di rumah kayu yang luas tanahnya tak ada apa-apanya. Anak-anak bapak memang semuanya sudah hidup enak di kota. Mereka juga pintar mencari lawan kawin hingga mertua mereka semuanya adalah pembesar-pembesar kota. Nah, lantaran mertua mereka yang banyak harta inilah, akhirnya mereka semua malu untuk mengajak Bapak ke kota. Bahkan kawinpun mereka tak mengundang Bapak. Adegan dialognya sengaja mereka buat singkat.
“Kalau begitu kapan saya bisa bicara dengan bapakmu?”
“Bapak saya mati.”
Demikian diucapkan sambil membuang muka. Aksi buang muka ini memang disengaja sehingga lawan bicaranya jadi enggan untuk melanjutkan pembahasan apapun. Begitulah kemudian awal sejarahnya sampai Dul ditimpakan ganti rugi untuk mengurus bapak.
“Tanah, Den.”
Ucapan Dul memecahkan situasi.
“Tanah? Bapak punya tanah?”
“Berapa hektar, Dul.”
“Tak tahu.”
“Kira-kira saja.”
“Yah barangkali empat hektar.”
Kelima bersaudara ini saling tukar pandang. Barulah mereka ingat perkara tanah empat hektar ini. Kejadiannya waktu si bontot masih kecil. Setelah diusirnya pemilik modal dari Belanda, warga desa saling berebut mematok tanah. Waktu itu Bapak masih sehat dan punya banyak pesuruh. Ia patoknya tanah tanpa tuan itu sampai empat hektar banyaknya.
“Kalau begini, kita wajib cari surat wasiat Bapak.”
Besok pagi sekali, kelimanya sudah kerja bakti di dalam rumah. Mereka bongkar dengan cermat segala isi di rumah yang tidak makan keringat untuk dihitung jengkal luasnya itu. Sekali mereka cari, tak ada hasil. Dua kali, masih juga demikian. Sampai berkali-kalipun, mereka tak temui barang selembar surat yang ada urusannya dengan harta benda. Ada mereka ketemukan surat, tapi malah surat cinta, dengan perempuan lain pula! Rupa-rupanya Bapak pernah main gila dengan perempuan bernama Sri. Dalam surat itu jelas sekali Sri menulis bagaimana ia merindukan pelukan hangat Bapak. Memang karena surat ini tak bertanggal, tak jelas kenyataannya, apakah mereka bersurat setelah atau sebelum Emak meninggal. Toh, kabar yang tak sengaja terbongkar ini malah mereka abaikan. Ada urusan yang rasanya mereka anggap lebih penting.
“Sudahlah, Bapak juga sebentar lagi mati. Kalau dia pernah main gila, biar jadi urusannya dengan Tuhan.”
“Lalu urusan kita apa?”
“Tanah!”
Upaya pencarian ini tak makan hasil. Mereka lalu membikin rencana kedua: Tanya langsung. Setiap jam mereka saling berganti tugas untuk masuk ke kamar bapak dan bertanya baik-baik tentang perkara wasiat. Tapi siapapun yang tanya, hasilnya tetap saja sama.
“Pak.”
“Emmmhhh.”
“Bapak punya tanah empat hektar. Betul?”
“Emmmhhh.”
“Sudah bapak pikir tanah itu mau dikasih siapa?”
“Emmmhhh.”
“Apa bapak pernah tulis wasiat?”
“Emmmhhh.”
“Kalau belum, apakah tak baiknya tanah itu buat saya semua saja?”
“Emmmhhh.”
Hasilnya, kini mereka semua jadi ribut urusan jawaban bapak yang bagi mereka masing-masing artinya Bapak sudah beri izin untuk memberikan seluruh empat hektar itu pada siapa yang menanya. Rumah kayu yang sudah uzur itu jadi ricuh, hampir roboh dalam artian yang sebenarnya. Beruntung tempo itu Bapak urung dibawakan ke rumah sakit, karena jika demikian, sudahlah diusir mereka akibat bergaduh, apalagi ini urusannya perkara warisan. Perdebatan ini tak punya jalan keluar. Semuanya yakin bahwa jawaban “Emmmhhh” itu berarti “ya” bagi setiap diri mereka masing-masing.
Urusan ini memang tak ada berhenti sampai tengah malam dan tentu ada bagi diri mereka masing-masing perasaan lelah.
“Sudahlah, jika begini runyam, ada baiknya kita akur saja.”
“Caranya bagaimana?”
“Tanah itu kita bagi.”
“Mana bisa. Tanahnya empat hektar, kita ada lima.”
“Atau kita bikin mati saja satu. Biar urusannya jadi genap.”
“Siapa yang sudi mati?”
“Kalau tak ada, ya kita undi. Tapi syaratnya satu, harus siap terima sial.”
“Hus-hus! Kalian ini sudah melantur.”
“Tanahnya masih bisa dibagi lima.”
“Seorang dapat berapa?”
“nol koma delapan hektar.”
Usulan yang terakhir ini memang terdengar baik ketimbang menuruti usulan mati dengan pertimbangan satu dibanding lima itu. Malam itu akhirnya mereka tidur nyenyak. Ada rasanya damai di hati masing-masing lima saudara itu. Persaudaraan tetap harmonis, masing-masing dapat tanah dan tinggal mendoakan agar Bapak mereka bisa lekasan mati menyusul emak.
Paginya, kelima bersaudara itu melongo. Mereka temukan Bapak sudah berdiri di ruang tengah sambil bertolak pinggang persis bintang di film. Tak ada sedikit juga sisa sakit-sakitan yang kemarin itu dipertontonkan Bapak dengan sungguh-sungguh.
“Loh! Bapak! Bapak sembuh?!"
Bapak terkekeh.
“Jadi, kemarin itu Bapak kenapa?”
“Tak tahulah, barangkali masuk angin.”
Semuanya diam melihat langkah Bapak yang sudah lincah mondar-mandir di dalam rumahnya.
“Oh ya, soal pertanyaan kemarin.”
“Yang mana, Pak?”
“Soal tanah.”
“Nah! Bagaimana itu Pak?”
“Kalian sudah Bapak kasih jatah tiap-tiap orang. Sisanya sudah Bapak wakaf buat jadi lahan kuburan.”
“Kuburan?!”
“Persis.”
“Lalu bagian kami dapat berapa?”
“Masing-masing dapat dua kali setengah meter!””
Ia biarkan anak-anaknya makin melongo. Paling tidak, besok-besok mereka tak perlu lagi pusing soal kuburan. Bapakpun dengan lincah pergi keluar rumah. Rupanya pula ia sudah menyiapkan koper yang turut dibawanya pergi. Tak ada yang tahu kemana perginya ini. Barangkali, ini hanya kemungkinan saja, ia pergi menjemput Sri, idaman hatinya.
Tamat
Ario Sasongko
31 Oktober 2012
BOM CERPEN
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen