Ini rumah sakit punya cara yang menyeleweng. Ia menabungkan darahnya dengan dibagi-bagi dan diurutkan seusai dengan sebuah ketentuan. Pemiliknya sudah berketetapan demikan semenjak rumah sakit ini dibangun.
“Sodara mau menyumbang darah.”
“Ya, betul.”
“Sodara pernah menyumbang di sini sebelumnya?”
“Pernah.”
“Jadi benar sodara datang kesini bukan karena ancaman?”
“Betul.”
“Bukan karena paksaan dan murni atas kesadaran sanubari sodara sendiri?”
“Persis demikian.”
“Sodara tidak dalam pengaruh obat-obatan?”
“Tidak.”
“Tidak juga karena pengaruh putus asa dan hilang harapan atau hendak cari kemungkinan bunuh diri?”
“Sodara mau menyumbang darah.”
“Ya, betul.”
“Sodara pernah menyumbang di sini sebelumnya?”
“Pernah.”
“Jadi benar sodara datang kesini bukan karena ancaman?”
“Betul.”
“Bukan karena paksaan dan murni atas kesadaran sanubari sodara sendiri?”
“Persis demikian.”
“Sodara tidak dalam pengaruh obat-obatan?”
“Tidak.”
“Tidak juga karena pengaruh putus asa dan hilang harapan atau hendak cari kemungkinan bunuh diri?”
“Sama sekali tidak. Hidup saya memang susah, memang saya menukar darah karena tak punya uang untuk makan. Tapi saya bukan orang putus harapan.”
“Kami hanya sedia mi instan.”
“Dengan telur?”
“Ya, bisa diatur.”
“Sepakat.”
“Baik, sekarang saya ingin menanyakan darah sodara.”
“Golongan darah saya A. Jika tidak yakin, bapak boleh periksa lagi dari sekarang.”
“Oh, bukan, bukan darah yang begitu. Urusan golongan darah memang nanti akan diperiksakan. Maksud saya, darah sodara yang lain.”
“Darah apa? Darah saya merah, saya bukan bangsawan, atau, darah biru.”
“Bukan. Bukan yang seperti itu juga. Lagipula, mana bisa sejarahnya bangsawan nyumbang darah buat makan. Maksud saya, darah keturuan sodara.”
“Saya keturunan orang baik-baik. Tak punya perkara sama polisi. Bukan darah bakat maling, bapak saya insinyur, tapi bangkrut.”
Pembicaraan jadi panjang dan petugas jaga sudah bosan buang nafas panjang-panjang.
“Begini. Sodara keturunan apa? Darah sodara itu suku apa?”
“Oh. Suku jawa, tapi itu dari bapak saya. Ibu saya kalimatan.”
“Ada sejarah nenek, kakek, buyut, atau nenek moyang yang berlain suku? Atau warga asing, begitu?”
“Tidak."
“Baik. Kalau begitu sodara darah pribumi campuran jawa dan kalimantan. Maaf sekali, darah sodara sudah tercampur suku lain dan tak bisa diterima di sini. Sekian”
Rumah sakit ini memang punya ketentuan yang menyeleweng. Ia membagi-bagi darah berdasarkan suku empunya darah berasal. Penyimpanannya juga di dalam laci yang dipisah berdasarkan suku. Di bagian-bagian depan pintu ditulis jelas-jelas: “Donor Jawa,” “Donor Ambon,” “Donor Sumatra,” “Donor Cina,” “Donor Bule,” dan seterusnya. Untuk urusan donor bule, memang pihak rumah sakit agak malas membuat perbedaan antar negara, sudah dianggap saja yang berambut pirang dan kulit pucat itu sebagai suku “bule.” Darah hasil sumbangan itu dibagi dalam kelompok penyimpanan yang sudah sesuai dengan suku pendonornya.
Rumah sakit ini sudah banyak diliput oleh majalah, radio, televisi, atau portal berita di intenet. Si Direktur, yang selalu minta ditekankan bahwa ia orang Jawa, tak pernah punya keberatan jika dianggap tindakannya ini rasis.
“Ya, saya paham kalau saya ini rasis. Tapi, lagi-lagi, saya rasis yang bukan karena kebencian.”
“Lalu, apa yang namanya pantas disebut dari sikap rumah sakit Bapak?”
Pembawa acara televisi, dengan berlagak paling benar, meski kenyataannya tak selalu begitu, terus saja mengorek-ngorek Si Direktur.
“Loh, begini dik. Ehem.”
Ia membetulkan sedikit posisi duduknya, agak sulit karena perut yang menggembul ke depan itu.
“Saya hanya ingin menjaga kesakralan darah tiap suku di negeri ini. Kita harus bangga atas yang namanya keberagaman bangsa kita. Ratusan suku, bercampur dalam negara ini. Saya ingin mempertahankan identitas kesukuan pasien saya sendiri. Menjaga agar darah mereka tak dicampur-campur dengan kesukuan yang lain.”
“Tujuan Bapak?”
“Ya agar keberagaman kita ini bisa dijaga baik-baik. Agar kita tetap kaya dengan aneka macam budaya dan tiap orang bisa bangga menyebutkan suku mereka masing-masing.”
“Lalu, pasien bapak sendiri bagaimana? Juga dipisah-pisahkan?”
“Oh tidak, pasien tetap sama saja. Hanya darah saja yang dibedakan. Jadi kalau ada orang Jawa, seperti saya, butuh tambahan darah, ya nanti akan dikasih darah yang dari suku Jawa, seperti saya ini.”
“Lalu, kalau misalnya stok darah Jawa.”
“Seperti saya?”
“Ya, seperti Bapak, misalnya stok darah Jawa habis, lalu bagaimana?”
“Nah, itulah, kami mengupayakan agar tidak habis. Itu sebabnya dalam business plansaya, jaringan donor ini disebar ke seluruh daerah. Anda bisa menemukan kantor donor darah saya di semua kota. Kami punya darah semua suku. Jadi, kalau stoknya habis, akan dikirimkan saja dengan mudah sekali ke wilayah yang butuh.”
“Bapak sudah jamin itu?”
“Saya jamin setengah mati.”
“Banyak yang bilang, justru kebijakan Bapak membawa keretakan persatuan negara.”
“Ah mana bisa.”
“Soal Bapak yang dianggap kesukuan?”
“Saya tidak kesukuan. Orang Jawa seperti saya ini, terbuka pada semua suku. Lihatlah pulau Jawa ini yang sudah macam-macam suku tinggal di atasnya. Adik saja, misalnya. Adik suku apa?”
“Saya Jawa.”
“Ah, sama dengan saya. Kalau begitu kita sodara.”
Kemudian ditepuknya keras-keras bahu sang pembawa acara berikut tawa renyah yang melambangkan keramahan yang berlebihan.
Ia pulang dari wawancara dengan stasiun televisi dengan perut yang dibusungkan ke depan dan terasa gagah sekali baginya berlaku. Betapa bangganya ia mengenang peristiwa wawancara itu, yang disebar ke seluruh negeri, itupun ia tak lupa mengabari seluruh keluarga besarnya yang ningrat kejawaan. Kejadian itu memang kenangan terakhirnya sebelum segala pemandangan menjadi gelap ketika mobilnya terguling dalam perjalanan pulang.
Seisi rumah sakit terguncang. Mobil ambulans datang dengan suaranya yang menyelip-nyelip sampai ke pelosok ruangan. Direktur itu langsung dilarikan ke ruang operasi, meskipun ada pasien yang harus dikesampingkan ketika operasinya sedang berlangsung. Dokter kelas satu, langsung ditunjuk menangani operasi ini, berikut dengan segala perawat papan atas serta fasilitasnya. Operasi dilakukan dengan mencekam. Kita semua akan maklum jika tahu bahwa taruhannya adalah dipotongnya honor dokter seumur hidup kalau operasi ini gagal dituntaskan. Suasana sepi berikut dengan tembok-tembok yang berdiri dingin dan ritme detak jantung yang konstan, teratur namun penuh ancaman. Direktur yang seorang Jawa ini, kehilangan banyak darah.
“Mana darahnya?”
“Belum dapat!”
“Maksudmu?”
“Stok di sini sudah habis.”
“Mana bisa. Ini kita berdiri di tanah Jawa, mana bisa kita kehabisan stok darah Jawa.”
“Bukan itu perkaranya.”
“Lantas?”
“Darahnya AB-, sulit mencari darah AB-, harus Jawa pula.”
“Darah AB- yang lain, punya?”
“Punya. Ini ada yang baru masuk.”
“Suku apa?”
Seluruh dokter dan perawat papan atas itu saling beradu pandang dan bertanya melalui cara pandang mereka masing-masing.
Sore itu, menjelang senja yang bersahabat meliputi langit tanah Jawa, ia siuman dari tidurnya yang lumayan berkepanjangan. Dapat dirasakan kembali darah mengalir di dalam tubuhnya, hangat, lembut dan dirasanya, Jawa. Ia memandangi sesosok pemuda yang sejak tadi sudah berdiri setia di sebelah tempat tidur, dan seorang dokter yang nafasnya lega karena honornya batal dipotong seumur hidup.
“Ah, Pak Dokter.”
“Jangan dulu dibuat banyak bergerak, Pak. Rebahan saja dulu.”
“Ya, ya.”
Kini ia memandangi sosok pemuda asing di sebelah Dokter tadi.
“Ini siapa? Dokter juga?”
“Oh, bukan Pak. Saya donor Bapak.”
“Donor?”
“Ya, betul Pak. Tanpa darah beliau ini, mungkin Bapak sudah mampus. Darah Bapak sulit didapat.”
“Loh sebentar. Nama sampeyan memang siapa?”
“Khong Guan, Pak.”
“Loh, sampean Cina?”
Senyum tulus tersimpul di bibir Khong Guan. Senyuman ini tak lain sebagai sebuah jawaban yang membuat Direktur kita, yang seorang Jawa ini kembali pingsan.
Tamat
Ario Sasongko
19 Desember 2012
BOM CERPEN
“Kami hanya sedia mi instan.”
“Dengan telur?”
“Ya, bisa diatur.”
“Sepakat.”
“Baik, sekarang saya ingin menanyakan darah sodara.”
“Golongan darah saya A. Jika tidak yakin, bapak boleh periksa lagi dari sekarang.”
“Oh, bukan, bukan darah yang begitu. Urusan golongan darah memang nanti akan diperiksakan. Maksud saya, darah sodara yang lain.”
“Darah apa? Darah saya merah, saya bukan bangsawan, atau, darah biru.”
“Bukan. Bukan yang seperti itu juga. Lagipula, mana bisa sejarahnya bangsawan nyumbang darah buat makan. Maksud saya, darah keturuan sodara.”
“Saya keturunan orang baik-baik. Tak punya perkara sama polisi. Bukan darah bakat maling, bapak saya insinyur, tapi bangkrut.”
Pembicaraan jadi panjang dan petugas jaga sudah bosan buang nafas panjang-panjang.
“Begini. Sodara keturunan apa? Darah sodara itu suku apa?”
“Oh. Suku jawa, tapi itu dari bapak saya. Ibu saya kalimatan.”
“Ada sejarah nenek, kakek, buyut, atau nenek moyang yang berlain suku? Atau warga asing, begitu?”
“Tidak."
“Baik. Kalau begitu sodara darah pribumi campuran jawa dan kalimantan. Maaf sekali, darah sodara sudah tercampur suku lain dan tak bisa diterima di sini. Sekian”
Rumah sakit ini memang punya ketentuan yang menyeleweng. Ia membagi-bagi darah berdasarkan suku empunya darah berasal. Penyimpanannya juga di dalam laci yang dipisah berdasarkan suku. Di bagian-bagian depan pintu ditulis jelas-jelas: “Donor Jawa,” “Donor Ambon,” “Donor Sumatra,” “Donor Cina,” “Donor Bule,” dan seterusnya. Untuk urusan donor bule, memang pihak rumah sakit agak malas membuat perbedaan antar negara, sudah dianggap saja yang berambut pirang dan kulit pucat itu sebagai suku “bule.” Darah hasil sumbangan itu dibagi dalam kelompok penyimpanan yang sudah sesuai dengan suku pendonornya.
Rumah sakit ini sudah banyak diliput oleh majalah, radio, televisi, atau portal berita di intenet. Si Direktur, yang selalu minta ditekankan bahwa ia orang Jawa, tak pernah punya keberatan jika dianggap tindakannya ini rasis.
“Ya, saya paham kalau saya ini rasis. Tapi, lagi-lagi, saya rasis yang bukan karena kebencian.”
“Lalu, apa yang namanya pantas disebut dari sikap rumah sakit Bapak?”
Pembawa acara televisi, dengan berlagak paling benar, meski kenyataannya tak selalu begitu, terus saja mengorek-ngorek Si Direktur.
“Loh, begini dik. Ehem.”
Ia membetulkan sedikit posisi duduknya, agak sulit karena perut yang menggembul ke depan itu.
“Saya hanya ingin menjaga kesakralan darah tiap suku di negeri ini. Kita harus bangga atas yang namanya keberagaman bangsa kita. Ratusan suku, bercampur dalam negara ini. Saya ingin mempertahankan identitas kesukuan pasien saya sendiri. Menjaga agar darah mereka tak dicampur-campur dengan kesukuan yang lain.”
“Tujuan Bapak?”
“Ya agar keberagaman kita ini bisa dijaga baik-baik. Agar kita tetap kaya dengan aneka macam budaya dan tiap orang bisa bangga menyebutkan suku mereka masing-masing.”
“Lalu, pasien bapak sendiri bagaimana? Juga dipisah-pisahkan?”
“Oh tidak, pasien tetap sama saja. Hanya darah saja yang dibedakan. Jadi kalau ada orang Jawa, seperti saya, butuh tambahan darah, ya nanti akan dikasih darah yang dari suku Jawa, seperti saya ini.”
“Lalu, kalau misalnya stok darah Jawa.”
“Seperti saya?”
“Ya, seperti Bapak, misalnya stok darah Jawa habis, lalu bagaimana?”
“Nah, itulah, kami mengupayakan agar tidak habis. Itu sebabnya dalam business plansaya, jaringan donor ini disebar ke seluruh daerah. Anda bisa menemukan kantor donor darah saya di semua kota. Kami punya darah semua suku. Jadi, kalau stoknya habis, akan dikirimkan saja dengan mudah sekali ke wilayah yang butuh.”
“Bapak sudah jamin itu?”
“Saya jamin setengah mati.”
“Banyak yang bilang, justru kebijakan Bapak membawa keretakan persatuan negara.”
“Ah mana bisa.”
“Soal Bapak yang dianggap kesukuan?”
“Saya tidak kesukuan. Orang Jawa seperti saya ini, terbuka pada semua suku. Lihatlah pulau Jawa ini yang sudah macam-macam suku tinggal di atasnya. Adik saja, misalnya. Adik suku apa?”
“Saya Jawa.”
“Ah, sama dengan saya. Kalau begitu kita sodara.”
Kemudian ditepuknya keras-keras bahu sang pembawa acara berikut tawa renyah yang melambangkan keramahan yang berlebihan.
Ia pulang dari wawancara dengan stasiun televisi dengan perut yang dibusungkan ke depan dan terasa gagah sekali baginya berlaku. Betapa bangganya ia mengenang peristiwa wawancara itu, yang disebar ke seluruh negeri, itupun ia tak lupa mengabari seluruh keluarga besarnya yang ningrat kejawaan. Kejadian itu memang kenangan terakhirnya sebelum segala pemandangan menjadi gelap ketika mobilnya terguling dalam perjalanan pulang.
Seisi rumah sakit terguncang. Mobil ambulans datang dengan suaranya yang menyelip-nyelip sampai ke pelosok ruangan. Direktur itu langsung dilarikan ke ruang operasi, meskipun ada pasien yang harus dikesampingkan ketika operasinya sedang berlangsung. Dokter kelas satu, langsung ditunjuk menangani operasi ini, berikut dengan segala perawat papan atas serta fasilitasnya. Operasi dilakukan dengan mencekam. Kita semua akan maklum jika tahu bahwa taruhannya adalah dipotongnya honor dokter seumur hidup kalau operasi ini gagal dituntaskan. Suasana sepi berikut dengan tembok-tembok yang berdiri dingin dan ritme detak jantung yang konstan, teratur namun penuh ancaman. Direktur yang seorang Jawa ini, kehilangan banyak darah.
“Mana darahnya?”
“Belum dapat!”
“Maksudmu?”
“Stok di sini sudah habis.”
“Mana bisa. Ini kita berdiri di tanah Jawa, mana bisa kita kehabisan stok darah Jawa.”
“Bukan itu perkaranya.”
“Lantas?”
“Darahnya AB-, sulit mencari darah AB-, harus Jawa pula.”
“Darah AB- yang lain, punya?”
“Punya. Ini ada yang baru masuk.”
“Suku apa?”
Seluruh dokter dan perawat papan atas itu saling beradu pandang dan bertanya melalui cara pandang mereka masing-masing.
Sore itu, menjelang senja yang bersahabat meliputi langit tanah Jawa, ia siuman dari tidurnya yang lumayan berkepanjangan. Dapat dirasakan kembali darah mengalir di dalam tubuhnya, hangat, lembut dan dirasanya, Jawa. Ia memandangi sesosok pemuda yang sejak tadi sudah berdiri setia di sebelah tempat tidur, dan seorang dokter yang nafasnya lega karena honornya batal dipotong seumur hidup.
“Ah, Pak Dokter.”
“Jangan dulu dibuat banyak bergerak, Pak. Rebahan saja dulu.”
“Ya, ya.”
Kini ia memandangi sosok pemuda asing di sebelah Dokter tadi.
“Ini siapa? Dokter juga?”
“Oh, bukan Pak. Saya donor Bapak.”
“Donor?”
“Ya, betul Pak. Tanpa darah beliau ini, mungkin Bapak sudah mampus. Darah Bapak sulit didapat.”
“Loh sebentar. Nama sampeyan memang siapa?”
“Khong Guan, Pak.”
“Loh, sampean Cina?”
Senyum tulus tersimpul di bibir Khong Guan. Senyuman ini tak lain sebagai sebuah jawaban yang membuat Direktur kita, yang seorang Jawa ini kembali pingsan.
Tamat
Ario Sasongko
19 Desember 2012
BOM CERPEN
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen