Rupawan terkasih,
Suratmu sudah sampai baik-baik. Tukang surat yang biasa juga sudah baik-baik menyampaikannya padaku. Baguslah jika di sana kau dapat tentram, akupun demikian. Meski, yah, bagaimana aku menyampaikan ini. Em, tentram di sini kurasa tak terlalu enak, terlalu sepi. Sepi memang nikmat untuk beberapa suasana, semua orang butuh bersepi sebentar. Tapi sepi di sini sudah keterlaluan pekatnya dan sesuatu yang sudah keterlaluan tentu manfaatnya jadi tak baik. Kau tahulah tentu apa penyebab sepi itu. Meski demikian itu, paling tidak sekali-sekali semaraklah sepi ini setiap surat yang kau tulis dalam hatimu sampai di tanganku.
Pagi ini memang aku sudah merasakan firasat, bahwa langit mendung. Apa aku sudah pernah bilang, bahwa hari selalu hujan ketika suratmu datang? Ah tentu saja sudah. Aneh memang, terlebih hujan itu turun persis ketika surat itu sampai di tanganku, persis ketika tukang surat menyodorkan surat dan aku menerimanya, persis di saat itulah, hujan mendadak turun lebat. Dan dengan begitu, setidaknya dua minggu sekali kota ini selalu hujan.
Suratmu sudah sampai baik-baik. Tukang surat yang biasa juga sudah baik-baik menyampaikannya padaku. Baguslah jika di sana kau dapat tentram, akupun demikian. Meski, yah, bagaimana aku menyampaikan ini. Em, tentram di sini kurasa tak terlalu enak, terlalu sepi. Sepi memang nikmat untuk beberapa suasana, semua orang butuh bersepi sebentar. Tapi sepi di sini sudah keterlaluan pekatnya dan sesuatu yang sudah keterlaluan tentu manfaatnya jadi tak baik. Kau tahulah tentu apa penyebab sepi itu. Meski demikian itu, paling tidak sekali-sekali semaraklah sepi ini setiap surat yang kau tulis dalam hatimu sampai di tanganku.
Pagi ini memang aku sudah merasakan firasat, bahwa langit mendung. Apa aku sudah pernah bilang, bahwa hari selalu hujan ketika suratmu datang? Ah tentu saja sudah. Aneh memang, terlebih hujan itu turun persis ketika surat itu sampai di tanganku, persis ketika tukang surat menyodorkan surat dan aku menerimanya, persis di saat itulah, hujan mendadak turun lebat. Dan dengan begitu, setidaknya dua minggu sekali kota ini selalu hujan.
Pekerjaanku di sini biasa saja. Aku masih buka kursus memasak, tak terlalu banyak yang daftar, tapi masih lumayan rasanya. Malamnya aku mulai mencoba menulis, meski tak mungkin cepat selesai novelku ini. Menulis rasanya memang obat paling pas. Aku tak banyak teman bicara, setiap sore hanya bicara pada muridku, itupun tak lebih dari perkara memasak. Malam itulah paling terasa pahitnya sepi, dan lelah rasanya hanya berdiam sambil dengar piringan hitam. Dengan menulis itu aku punya dunia lagi, dunia yang ramai. Ada aku di dalam situ, dan kau tentu yang setiap hari di dunia itu berdiri berdamping denganku. Maaf aku tak pernah berizin, tapi tentu kau tak berkeberatan jikanya kumasukkan kisah kita dalam tulisanku. Walau tentu novel akan membosankan jika isinya hanya berdamai-damai. Kububuh sedikit-sedikit bumbu di dalamnya, kuberi pedasnya cabai, sedikit-sedikit merica, asin garam dan kecap secukupnya agar agak manis. Aih, tak sadarlah aku bahwa menulis itu sama saja prinsipnya dengan memasak.
Bagaimana dengan kisahmu? Tak banyak kau bicara tentang itu dari suratmu. Kau ini, tiap berkirim surat hanya bisa bilang rindu-rindu dan rindu. Akupun tahu kau ini merindu, bagaimana bisa kau tak rindu jika tiap dua minggu suratmu selalu sampai di tanganku. Bodoh betul. Aku juga perlu kisahmu di sana, bagaimana Tanjung Perak? Bagaimana suasana di pelabuhan? Kapal apa saja yang kali ini mampir? Apa yang kau makan? Bagaimana dengan kawan-kawanmu? Yang penting segalanya tentang harimu itu tulislah habis. Aku ingin membacanya.
Maaf kalau-kalau suratku kali ini agak terlambat sampai. Hari ini tukang surat yang biasa, lupa membawa baju hujan. Ia pikir kita sudah di bulan kemarau, jadi tak butuhlah segala kerepotan membawa baju hujan. Ceroboh sekali memang. Atau mungkin ia masih awam dengan kebiasaan suratmu yang selalu membawa hujan. Sudahlah itu, ia melongo-longo melihat bulan kemarau yang gersang ini tiba-tiba terkunjung hujan. Aku tentu tak enak hati mengusirnya, terlebih ia ini punya jasa banyak atas hubungan kita. Kubuatkan ia secangkir teh dan kuajak berbincang sampai hujan selesai.
Sepertinya kami ini terlalu enak berbincang, sampai lupa bahwa percakapan harus selesai jika hujan juga selesai. Karena itulah aku terlambat mengirim balasan suratmu. Kantor pos keburu tutup. Kupikir kau tentu tak keberatan. Segera balas suratku.
Jelita.
***
Rupawan terkasih,
Tega betul suratmu ini berlama sampai ke tanganku. Apa kau ingin membalas perlakuanku kemarin? Ah, janganlah kau dendam atas surat yang kuyakin hanya terlambat satu hari saja dari biasanya. Aku maklum jika hari itu kau keburu pulang cepat agar bisa segera membaca suratku, dan rupanya apa yang kau idamkan tak lantas datang seperti biasanya. Sehari tentulah bukan rentang yang panjang. Kau bekerja sampai sore, pulang bersih-bersih badan dan makan. Malamnya kau tentu lelah dan mampu segera tidur. Setelah itu, hari segera ganti, kau kembali kerja sampai sore, dan di sore kemudian itulah akhirnya suratku ini tiba. Maklumilah rindumu itu dan jangan kau jadikannya berdendam padaku.
Suratku kali inipun pasti akan terlambat. Kejadiannya sama seperti tempo hari itu. Hujan dan tukang surat lupa membawa baju hujan lagi. Tadi itu sudah kuingatkan padanya. Bahwa suratmu bukanlah surat biasa, ia surat pembawa hujan. Ia tertawa mendengarnya, kencang sekali. Ia katakan bahwa demikian itu hanya kebetulan. Aku menantangnya, bahwa surat balasanmu selanjutnya tentu akan teriring hujan pula. Ia terima tantangan itu. Angkuh yang seperti ini, yang tak mau dengar ucapan orang, tentu patut dikasih pelajaran. Itu alasan pertama mengapa suratku ini akan terlambat sampai. Alasan kedua, suratmu ini keterlaluan panjangnya. Maksud “keterlaluan”ku ini bukan sebagai hal buruk. Kuharap kau mampu menangkapnya dengan benar. Suratmu ini sampai sepuluh lembar besar dan tak bisa dibaca sebentar. Kau tuliskan segala yang kau alami selama dua minggu hidupmu. Aku senang sebenarnya membaca segala itu, tapi bukan demikianlah yang kumaksudkan. Aku memang ingin dengar banyak tentang kau. Aku memang memintamu bercerita lebih banyak. Tapi janganlah sampai permintaanku ini merepotkanmu. Tak perlu sampai kau habiskan sepuluh lembar dengan perincian segala yang kau bicangkan selama dua minggu, kapal-kapal apa saja yang menyandar, cuaca tiap hari, ikan yang kau makan dan segala seperti itu. Aku ingin lebih banyak tahu hidupmu secara umum saja, tapi tidak yang terlalu pendek.
Mari kini kuceritakan seperti apa hidupku belakangan. Oh kemarin muridku mengirim masakan. Tentu masakan itu aku yang mengajarkannya. Lucu sekali saat mencicipi masakan itu, seperti mengecap buatan sendiri saja. Novelku juga semakin maju, suasana hatiku ini mendadak nikmat untuk digunakan menulis. Aku juga menambah tokoh. Si tukang surat itu. Kupikir aneh jika aku tak memasukkannya. Kau tahulah, ia ini berjasa banyak buat kita, dan sekali dua minggu kami bertemu (meski sekedar serah terima surat saja). Bulan kemarau sedang panas-panasnya. Tapi berkat suratmu ini, kebun depan kita tak ada yang kering. Suratmu datang itu membawa hujan lebat dan suburlah tanaman kita. Mungkin sama saja seperti hatiku yang langsung bersemi ketika melihat tukang surat datang dan mengantarkan suratmu. Aih, sepertinya bagian ini bisa kumasukkan ke dalam novelku. Aku sedang sampai di bagian ketika sepasang kekasih itu terpisah. Mungkin menarik jika kumasukkan kejadian surat pembawa hujan, sebagai perlambangan.
Cepat-cepatlah kau balas surat ini. Betapa gemuruhnya rindu ini setiapku menulis surat untukmu.
Jelita.
***
Rupawan terkasih,
Maaf jika segala yang kuminta belakangan justru membuatmu pusing. Mulai sekarang, tulislah apa yang hendak kau tuliskan. Aku takkan lagi mengeluhkan perihal panjang atau pendeknya penulisanmu. Seperti surat terakhirmu itu, yang, sungguh singkat. Tak apalah, mungkin suasana hatimu sedang tak enak menulis. Oh maaf pula karena sekarang ini aku sudah sangat terlambat membalas suratmu. Aku sedang terlalu banyak sibuk.
Kedatangan suratmu kemarin itu juga pertanda kemenangan pertaruhanku dan si tukang surat. Bodohnya lagi, ia tak membawa baju hujan dan tersitalah waktunya lagi menanti hujan reda. Besok-besok biar kusiapkan saja satu baju hujan di sini, kalau-kalau kelak ia berceroboh seperti tadi. Kebiasaan ia ini, sebenarnya membawa sedikit berkah. Kami jadi berkawan, meski tadinya sebatas percakapan menanti hujan. Ia punya beberapa kawan yang mahir menulis dan sering bertukar pikiran perihal menulis ini. Kupikir ada baiknya ia membaca novelku yang belum selesai. Kalau-kalau saja ia bisa memberikan pendapat yang ada gunanya. Kini hampir setiap hari ia mampir, meski bukan untuk mengantar surat. Kami banyak bertukar pikiran dan masukannya itu banyak yang bagus untuk kugunakan. Aku minta izin padamu, tampaknya akan lebih baik jika pasangan dalam novelku ini kupisahkan selamanya, meski tadinya mereka ini saling cinta. Setelah kupikir adegan ini baik untuk mengaduk emosi pembaca. Tentu bukan artinya aku ingin bersudah denganmu. Ini hanya kisah di novel saja, meski awalnya kisah novel ini berdasarkan kisah kita. Di kehidupan nyata, tentu aku ingin bersama kau. Walau kau saat ini tak ada denganku, bukan tak ada sebagai pasangan, tapi tentu dalam bentuk fisik. Kau mengertilah tentu.
Oh ya, aku sedang bertimbang. Ingat, masih sedang bertimbang. Kupikir akan menarik jika pada akhirnya gadis di novelku justru jatuh cinta pada si tukang surat. Bagaimana menurutmu?
Jelita.
Ario Sasongko
17 September 2012
BOM CERPEN
Bagaimana dengan kisahmu? Tak banyak kau bicara tentang itu dari suratmu. Kau ini, tiap berkirim surat hanya bisa bilang rindu-rindu dan rindu. Akupun tahu kau ini merindu, bagaimana bisa kau tak rindu jika tiap dua minggu suratmu selalu sampai di tanganku. Bodoh betul. Aku juga perlu kisahmu di sana, bagaimana Tanjung Perak? Bagaimana suasana di pelabuhan? Kapal apa saja yang kali ini mampir? Apa yang kau makan? Bagaimana dengan kawan-kawanmu? Yang penting segalanya tentang harimu itu tulislah habis. Aku ingin membacanya.
Maaf kalau-kalau suratku kali ini agak terlambat sampai. Hari ini tukang surat yang biasa, lupa membawa baju hujan. Ia pikir kita sudah di bulan kemarau, jadi tak butuhlah segala kerepotan membawa baju hujan. Ceroboh sekali memang. Atau mungkin ia masih awam dengan kebiasaan suratmu yang selalu membawa hujan. Sudahlah itu, ia melongo-longo melihat bulan kemarau yang gersang ini tiba-tiba terkunjung hujan. Aku tentu tak enak hati mengusirnya, terlebih ia ini punya jasa banyak atas hubungan kita. Kubuatkan ia secangkir teh dan kuajak berbincang sampai hujan selesai.
Sepertinya kami ini terlalu enak berbincang, sampai lupa bahwa percakapan harus selesai jika hujan juga selesai. Karena itulah aku terlambat mengirim balasan suratmu. Kantor pos keburu tutup. Kupikir kau tentu tak keberatan. Segera balas suratku.
Jelita.
***
Rupawan terkasih,
Tega betul suratmu ini berlama sampai ke tanganku. Apa kau ingin membalas perlakuanku kemarin? Ah, janganlah kau dendam atas surat yang kuyakin hanya terlambat satu hari saja dari biasanya. Aku maklum jika hari itu kau keburu pulang cepat agar bisa segera membaca suratku, dan rupanya apa yang kau idamkan tak lantas datang seperti biasanya. Sehari tentulah bukan rentang yang panjang. Kau bekerja sampai sore, pulang bersih-bersih badan dan makan. Malamnya kau tentu lelah dan mampu segera tidur. Setelah itu, hari segera ganti, kau kembali kerja sampai sore, dan di sore kemudian itulah akhirnya suratku ini tiba. Maklumilah rindumu itu dan jangan kau jadikannya berdendam padaku.
Suratku kali inipun pasti akan terlambat. Kejadiannya sama seperti tempo hari itu. Hujan dan tukang surat lupa membawa baju hujan lagi. Tadi itu sudah kuingatkan padanya. Bahwa suratmu bukanlah surat biasa, ia surat pembawa hujan. Ia tertawa mendengarnya, kencang sekali. Ia katakan bahwa demikian itu hanya kebetulan. Aku menantangnya, bahwa surat balasanmu selanjutnya tentu akan teriring hujan pula. Ia terima tantangan itu. Angkuh yang seperti ini, yang tak mau dengar ucapan orang, tentu patut dikasih pelajaran. Itu alasan pertama mengapa suratku ini akan terlambat sampai. Alasan kedua, suratmu ini keterlaluan panjangnya. Maksud “keterlaluan”ku ini bukan sebagai hal buruk. Kuharap kau mampu menangkapnya dengan benar. Suratmu ini sampai sepuluh lembar besar dan tak bisa dibaca sebentar. Kau tuliskan segala yang kau alami selama dua minggu hidupmu. Aku senang sebenarnya membaca segala itu, tapi bukan demikianlah yang kumaksudkan. Aku memang ingin dengar banyak tentang kau. Aku memang memintamu bercerita lebih banyak. Tapi janganlah sampai permintaanku ini merepotkanmu. Tak perlu sampai kau habiskan sepuluh lembar dengan perincian segala yang kau bicangkan selama dua minggu, kapal-kapal apa saja yang menyandar, cuaca tiap hari, ikan yang kau makan dan segala seperti itu. Aku ingin lebih banyak tahu hidupmu secara umum saja, tapi tidak yang terlalu pendek.
Mari kini kuceritakan seperti apa hidupku belakangan. Oh kemarin muridku mengirim masakan. Tentu masakan itu aku yang mengajarkannya. Lucu sekali saat mencicipi masakan itu, seperti mengecap buatan sendiri saja. Novelku juga semakin maju, suasana hatiku ini mendadak nikmat untuk digunakan menulis. Aku juga menambah tokoh. Si tukang surat itu. Kupikir aneh jika aku tak memasukkannya. Kau tahulah, ia ini berjasa banyak buat kita, dan sekali dua minggu kami bertemu (meski sekedar serah terima surat saja). Bulan kemarau sedang panas-panasnya. Tapi berkat suratmu ini, kebun depan kita tak ada yang kering. Suratmu datang itu membawa hujan lebat dan suburlah tanaman kita. Mungkin sama saja seperti hatiku yang langsung bersemi ketika melihat tukang surat datang dan mengantarkan suratmu. Aih, sepertinya bagian ini bisa kumasukkan ke dalam novelku. Aku sedang sampai di bagian ketika sepasang kekasih itu terpisah. Mungkin menarik jika kumasukkan kejadian surat pembawa hujan, sebagai perlambangan.
Cepat-cepatlah kau balas surat ini. Betapa gemuruhnya rindu ini setiapku menulis surat untukmu.
Jelita.
***
Rupawan terkasih,
Maaf jika segala yang kuminta belakangan justru membuatmu pusing. Mulai sekarang, tulislah apa yang hendak kau tuliskan. Aku takkan lagi mengeluhkan perihal panjang atau pendeknya penulisanmu. Seperti surat terakhirmu itu, yang, sungguh singkat. Tak apalah, mungkin suasana hatimu sedang tak enak menulis. Oh maaf pula karena sekarang ini aku sudah sangat terlambat membalas suratmu. Aku sedang terlalu banyak sibuk.
Kedatangan suratmu kemarin itu juga pertanda kemenangan pertaruhanku dan si tukang surat. Bodohnya lagi, ia tak membawa baju hujan dan tersitalah waktunya lagi menanti hujan reda. Besok-besok biar kusiapkan saja satu baju hujan di sini, kalau-kalau kelak ia berceroboh seperti tadi. Kebiasaan ia ini, sebenarnya membawa sedikit berkah. Kami jadi berkawan, meski tadinya sebatas percakapan menanti hujan. Ia punya beberapa kawan yang mahir menulis dan sering bertukar pikiran perihal menulis ini. Kupikir ada baiknya ia membaca novelku yang belum selesai. Kalau-kalau saja ia bisa memberikan pendapat yang ada gunanya. Kini hampir setiap hari ia mampir, meski bukan untuk mengantar surat. Kami banyak bertukar pikiran dan masukannya itu banyak yang bagus untuk kugunakan. Aku minta izin padamu, tampaknya akan lebih baik jika pasangan dalam novelku ini kupisahkan selamanya, meski tadinya mereka ini saling cinta. Setelah kupikir adegan ini baik untuk mengaduk emosi pembaca. Tentu bukan artinya aku ingin bersudah denganmu. Ini hanya kisah di novel saja, meski awalnya kisah novel ini berdasarkan kisah kita. Di kehidupan nyata, tentu aku ingin bersama kau. Walau kau saat ini tak ada denganku, bukan tak ada sebagai pasangan, tapi tentu dalam bentuk fisik. Kau mengertilah tentu.
Oh ya, aku sedang bertimbang. Ingat, masih sedang bertimbang. Kupikir akan menarik jika pada akhirnya gadis di novelku justru jatuh cinta pada si tukang surat. Bagaimana menurutmu?
Jelita.
Ario Sasongko
17 September 2012
BOM CERPEN