“Semua pasti beres.”
Pergilah kau kemudian di malam bolong, menghilang bersama lolongan anjing yang begitu panjang sampai aku tak sadar kapan berakhirnya. Sejak itu, setiap malam aku selalu termenung di samping jendela, menanti sebuah jawaban. Dari balik jendela ini, mataku tak berhenti melekat pada pagar depan rumah kita, yang begitu rendah, hingga dengan mudah orang-orang menerobos masuk. Aku menantikan masa ketika kau buka pagar itu dari luar sana, dan kembalilah kau padaku. Aku hanya ingin kau kembali, meski sebagai nyawa yang lepas dari raga, dan menjawab segala hal yang telah mengubah hidupku serta hidup anak kita.
Dari mana aku harus memulai ini? Jika saja aku mengatakan bahwa segalanya berubah sejak malam itu, mungkin anggapan ini tak pula terlalu tepat kukemukakan. Jauh-jauh hari memang kau sudah memperingatkannya, agar aku membawa anak kita yang bahkan masih jauh dari gadis, untuk mengungsi ke rumah kakakku di Jakarta. Aku tak pernah rela, aku tak sudi berjauh-jauh darimu, dengan alasan apapun. Namun, sepertinya takdir ini memang tak dapat ditolak dan kaulah yang lantas pergi jauh bersama nasib yang memang ingin seperti begini adanya. Sejak malam itu, kau tak pernah lagi pulang, kini anak kita sudah sarjana, tak sekalipun ia menanyakan bapaknya. Aku pernah menelponnya sekali. Ia bilang, ia ingin pergi ke laut. Mencari bangkaimu barangkali. Semoga ia tak menjadi palu dan arti pula, sama sepertimu.
Pergilah kau kemudian di malam bolong, menghilang bersama lolongan anjing yang begitu panjang sampai aku tak sadar kapan berakhirnya. Sejak itu, setiap malam aku selalu termenung di samping jendela, menanti sebuah jawaban. Dari balik jendela ini, mataku tak berhenti melekat pada pagar depan rumah kita, yang begitu rendah, hingga dengan mudah orang-orang menerobos masuk. Aku menantikan masa ketika kau buka pagar itu dari luar sana, dan kembalilah kau padaku. Aku hanya ingin kau kembali, meski sebagai nyawa yang lepas dari raga, dan menjawab segala hal yang telah mengubah hidupku serta hidup anak kita.
Dari mana aku harus memulai ini? Jika saja aku mengatakan bahwa segalanya berubah sejak malam itu, mungkin anggapan ini tak pula terlalu tepat kukemukakan. Jauh-jauh hari memang kau sudah memperingatkannya, agar aku membawa anak kita yang bahkan masih jauh dari gadis, untuk mengungsi ke rumah kakakku di Jakarta. Aku tak pernah rela, aku tak sudi berjauh-jauh darimu, dengan alasan apapun. Namun, sepertinya takdir ini memang tak dapat ditolak dan kaulah yang lantas pergi jauh bersama nasib yang memang ingin seperti begini adanya. Sejak malam itu, kau tak pernah lagi pulang, kini anak kita sudah sarjana, tak sekalipun ia menanyakan bapaknya. Aku pernah menelponnya sekali. Ia bilang, ia ingin pergi ke laut. Mencari bangkaimu barangkali. Semoga ia tak menjadi palu dan arti pula, sama sepertimu.
****
Sore itu, aku ingat betul dengan suasana rumah tanggaku yang damai. Nirma, anakku yang masih berusia 5 tahun, sibuk menempeli ayahnya dengan rengekan ingin pergi ke laut. Darimana pula hasrat melaut itu muncul? Tentu suamiku ini bertanya-tanya. Kami tinggal di kota kecil yang tak akrab dengan laut. Butuh puluhan kilometer untuk mencapai laut terdekat, itupun hanya pesisir nelayan, jangan bayangkan pantai wisata dimana kau bisa pesan air kelapa muda sambil berjemur di atas tikar. Awalnya akupun terkejut mendengar rengekan Nirma sepulang sekolah. Ia ingin pergi ke laut tanpa mau memberikan alasan. Habis dayaku untuk mencari tahu, apalagi mengalihkan hasratnya ini. Karenanya lah, aku terpaksa melempar perkara pelik ini dengan kalimat menyelamatkan diri, “nanti saja, bilang ke bapakmu jika dia sudah pulang kerja.”
Jadilah Nirma menunggu bapaknya itu dari balik jendela. Matanya terus saja melekat ke arah pagar, menunggu sosok bapaknya yang biasa pulang kepayahan sambil membuka pagar itu. Percuma mengusirnya dari pinggir jendela itu, seperti menyingkirkan batu kali. Makanpun tak mau ia, mulutnya dikunci rapat-rapat. Di pikirannya hanya ada keinginan untuk pergi ke laut. Mau jadi nelayan barangkali jika anak ini sudah besar. Celaka sekali kalau benar demikian. Tak pernah sekalipun aku melihat nelayan perempuan.
“Nirma, kau harus makan dulu, nanti bisa sakit kau kalau tidak makan.”
“Biar!”
“Kalau kau sakit, mana bisa kau ke laut?”
“Aku pasti sembuh sebelumnya.”
“Bapakmu bisa marah kalau tahu kau tak mau makan. Nanti malah tak diizinkannya kita ke laut.”
“Kalau aku sehat, aku boleh ke laut?”
“Bisa jadi.”
Nirma membuka mulutnya tanpa bicara. Langsung kusuapkan sendok pertamaku siang ini ke mulutnya tersebut. Cepat sekali ia mengunyah makanannya. Rupanya bulat betul tekadnya untuk pergi ke laut ini. Seandainya esok-esok aku bisa mengulur niatan ini, alangkah senangnya aku bisa menggemukkan anakku yang semata wayang ini.
Sore itu suamiku pulang, dan Nirma langsung memburunya dengan rengekan yang sama. Tak habislah daya pikiran suamiku melihat permintaan anaknya tersebut. Aku dapat melihat dari air wajah suamiku ini, penuh bertanya tentang keinginan anaknya yang seolah tiba-tiba datang dari langit. Kami tak pernah berbicara tentang laut, tak secuilpun kami pernah melakukannya. Barangkali Nirma sendiri belum sadar bahwa ada di hamparan muka bumi ini, permadari biru yang menutup hampir seluruh isinya dengan perairan yang disebut laut itu. Suamiku bertanya dengan halus sekali, darimana Nirma tahu tentang laut, namun tak sepatahpun ucapannya yang menjawab pertanyaan tersebut.
“Ibu bilang, kau boleh mengajakku ke laut kalau aku sehat. Ini, lihat sekarang aku sehat, makanku banyak!”
Suamiku langsung melemparkan tatapannya kepadaku.
“Aku tak bilang boleh.”
“Lantas, kau bilang apa?”
“Aku bilang, bisa jadi. Itu berbeda dengan boleh.”
Suamiku tak berhenti menggerus-gerus rambutnya.
“Nirma, nantilah kita bicara lagi, bapak mau mandi dulu. Kau makanlah yang banyak.”
Tak satupun dari kami yang menganggap ucapan tersebut sebagai sebuah janji. Namun tampaknya tak demikianlah bagi Nirma. Kali ini berjongkok ia di depan pintu kamar mandi, menunggui bapaknya yang sedang membasuh badan di dalam sana. Kubujuk ia dengan siaran radio, dan jajanan keliling yang biasa ia sukai. Nirma tak bergeming. Satulah nilai baik yang kudapatkan dari sikapnya ini, itupun kalau dapat sebagai nilai baik. Anak ini tak mau menyerah jika memiliki kemauan. Nirma terus saja seperti ini sampai malam. Berbagai dalih digunakan suamiku untuk mengulur waktu berpikir.
“Bapak mau pakai baju.”
Ditungguilah sampai suamiku tuntas memakai baju.
“Bapak mau sembahyang.”
Ditunggui pula sampai tuntas suamiku sembahyang.
“Bapak mau keluar sebentar.”
Kembalilah Nirma teronggok di balik jendela, melekatkan pandangannya ke arah pagar tanpa mau ia lepas lagi sampai suamiku itu pulang. Sampai akhirnya suamiku itu pulang, dan diajaklah kita semua makan bersama di meja.
“Pak, ayo kita pergi ke laut. Aku mau lihat.”
“Darimana kau tahu tentang laut, jawab dulu pertanyaan bapak.”
Nirma diam sebentar, mempertimbangkan keraguannya.
“Aku mau lihat ikan. Aku tahu, ikan hidup di laut.”
Kami berpandangan mendengar jawaban yang sungguh tak disangka itu.
“Kalau kamu mau lihat ikan, biar nanti ibu belikan di pasar.”
“Aku mau ke laut!”
Sepertinya kali ini memang kami harus mengalah pada tekadnya.
“Ya sudah, nanti kita pergi.”
“Kapan?”
“Bapak selesaikan dulu pekerjaan-pekerjaan Bapak. Di dekat-dekat sini tak ada laut, butuh berhari-hari untuk sampai ke sana. Nanti liburan kita pergi ramai-ramai. Tapi, kau harus janji dulu, sekolahmu harus rajin, baru bapak mau mengantarmu.”
Nirma mengangguk dan usailah sudah drama ini.
Malam kembali tenang, untuk sementara. Suamiku pergi melarutkan dirinya bersama buku-buku dan tulisan, seperti biasanya. Aku berbaring di samping Nirma menenangkan semangatnya yang sejak tadi bertanya seperti apakah laut. Aku tak pernah pergi ke laut, dari lahir hingga sekarang, di kota kecil inilah aku tinggal tanpa pernah hinggap jauh-jauh sampai ke pinggiran pulau. Kujawab pertanyaan itu dengan hal-hal yang selama ini kudengar saja. Laut itu luas, berwarna biru, ada banyak ikan di laut, aku tak tahu apakah ikan itu dapat kita lihat dari permukaan atau tidak.
Akhirnya Nirma terlelap, jika kau melihat wajahnya saat tidur, takkan kau menyangka anak ini memiliki pendirian yang begitu kuat, dan semangat yang begitu menggebu. Sama seperti ayahnya. Belakangan ini kulihat semangat itu pula yang sedang berkobar di dalam diri suamiku. Terlebih sejak ia bergabung dalam kelompok seniman yang menurutnya selalu berusaha menyuarakan nasib rakyat kecil. Buku-buku ideologi itu mulai bertumpuk di rumah kami, berlambang palu arit. Awalnya aku agak khawatir karena kelompok ini berhubungan erat dengan partai politik yang sering membuat masalah. Aku ingat perbincangan kami kemarin-kemarin.
“Konflik itu diperlukan untuk membawa perubahan. Tanpa ada konflik, perubahan takkan pernah terjadi.”
“Tapi tidakkah itu berakibat buruk?”
“Masih lebih buruk mana dengan nasib rakyat kecil seperti kita yang selalu sengsara? Kau tahu, di Jakarta kini sudah semakin merah. Itu artinya rakyat percaya bahwa partai ini ingin melakukan revolusi signifikan dalam memperjuangkan nasib mereka. Baru sekarang aku menemukan ideologi yang mengagungkan kesetaraan.”
“Ya, nyatanya, lihat peristiwa 30 Sepetember kemarin, apakah itu tak membawa bahaya pula bagi nyawa kita?”
Suamiku terdiam.
“Karenanya, kuminta kau dan Nirma kemarin itu mengungsi ke rumah kakakmu di Jakarta. Kau tak mau. Kupikir pula, pasti ada kesalahan tentang peristiwa itu. Karena tak demikianlah yang kutahu dari teman-teman sesama seniman. Ah, sudahlah, toh aku tak terlibat apa-apa, mana ada pengaruhnya peristiwa itu denganku.”
Aku ingat betul bagaimana malam itu kupandang suamiki, yang sudah tenggelam di mejanya, bersama kisah yang ia tuliskan. Nirma juga pulas sekali tertidur, mungkin ia sedang memimpikan laut. Rupanya pikiran suamiku salah. Malam itu, tiba-tiba saja segerombolan orang berseragam mendobrak rumah kami, entah mereka datang darimana. Mungkin pagar rumah kami tak cukup tinggi, hingga dengan mudah orang menerobos masuk. Dicarinya suamiku, dan dipaksa ia ikut mereka. Buku-bukunya juga ikut diambil dan langsung dibakar di tempat.
“Semua pasti beres.”
Itulah ucapan terakhirnya sebelum ia pergi meninggalkan kami. Sejak malam itu, ia tak pernah kembali. Setiap malam, aku selalu termenung di samping jendela, menanti sebuah jawaban. Nirma kukirim ke rumah kakakku di Jakarta, ia seorang ulama terkemuka di sana. Kuharap dengan demikian tak melekatlah stigma palu arit itu di dadanya. Kasihan ia tak pernah memiliki teman akibat peristiwa bapaknya itu. Kini ia telah dewasa, entah berapa lama aku tak bertemunya. Terakhir kali itu, ia mengirimi surat, tak banyak yang ia katakan, hanya satu kalimat saja.
“Aku ingin pergi ke laut.”
Tamat
Ario Sasongko
1-3 Juni 2012
BOM CERPEN