Catatan yang saya dapat dari dinasti Tang, rupanya tak tepat. Tanah ini bukan Ka-Ling, saya bisa pastikan itu bahwa mereka ini memang hindu, tapi bukan berasal dari Kalinga, bukan juga disebut orang Kling. Mereka ini jenis berbeda. Saya coba untuk menjajakinya dan yang paling tepat, mereka ini disebut orang Jiau-oa. Saya sudah coba ikuti penggambaran yang masuk dalam catatan-catatan Dinasti Liu Song, Liang, dan Tang. Tak salah lagi memang ada negeri ini di selatan. Di samudra selatan. Biar begitu, jalur yang saya halu agak berbeda dengan catatan yang sudah-sudah. Saya menempuhnya dari timur ibukota. Perjalanan menuju timur ibukota ini sekiranya makan waktu satu bulan penuh jika kau berjalan seharian dan istirahat hanya malam, kecuali untuk makan. Dari lautan di timur ibukota inilah pelayaran dimulai. Butuh sekitar satu satu setengah bulan untuk mencapai Pulu Kondor. Dari sana perlu perjalanan 15 hari untuk sampai di Da-zi. Setelahnya perlu 15 hari lagi menuju tenggara untuk sampai di jiau-oa ini. Umumnya negara-negara di selatan ini terletak di bagian barat daya Jiaozhi. Negara terdekat jaraknya terkira 3 sampai 5 ribu li, dan terjauh antar sekitar 20 sampai 30 ribu li. Sementara Jiau-oa ini bisa sampai 24 ribu li.
Pelabuhan di sini sibuk, orang dari macam-macam negeri banyak yang mendarat di sini, terlebih karena alamnya pantas untuk bercocok tanam. Pakaian mereka hanya terdiri dari sarung katun, dan tertutup bagian bawah sementara mereka biarkan dada mereka kesemuanya terbuka. Rambut mereka digerai bebas. Hanya wanita-wanita saja yang saya lihat mengenakan kain sulam yang terikat pada pinggang. Mereka banyak berjual dan menghasilkan. Beras, rami, kacang polong. Meski tak punya gandum di sini, hampir sama dengan yang berlaku di Siam. Saya dan juru bicara sampai dan akhirnya boleh menginap di kampung petani garam. Petani ini mendapat garam dari membuat petak-petak dan mendidihkan air laut hanya berkat sinar matahari. Selainnya, mereka pula menernak kambing, kerbau, sapi dan unggas. Nelayan ada cukup banyak dan biasa menghasil ikan dan kura-kura. Bisa dibilang negeri ini bergantung sepenuh hidup mereka atas ketersediaan alam, dan memang di sana-sini alam melimpah untuk mereka.
Rumah nelayan tempat saya tinggal ini bergenting warna-warna merah kuning. Mereka ramah terutama pada pedagang Tiongkok seperti rombongan saya. Mereka tak paham saya bukan pedagang, melainkan biksu, tak mengapa pula sebenarnya dengan hal itu. Hidangan yang mereka berikan pada saya begitu banyak pula bersih. Anehnya mereka memakan langsung pakai tangan. Saya harus mengikuti tata cara ini, agar dapat dikatakan menghormat pada kebiasaan. Meski saya tak melihat adanya calon hukuman bila saya tak menurut pada kebiasaan tata cara makan itu. Mereka tak punya air teh, dan menawari saya arak. Saya tak minum arak atau semacamnya yang membikin mabuk, tentu saja. Tapi saya sempat tanyai darimana arak itu dibikin, mereka jelaskan itu dari kelapa dan pohon palem. Aromanya wangi, karena dapat sampai tercium ke hidung saya. Kelihatannya pula arak ini bagus, karena orang-orang sudah kelihatan mabuk ketika beberapa tenggak saja mereka menikmatinya. Mereka mabuk sampai malam. Rombongan lainnya menginap di kapal, sementara saya boleh menginap di rumah nelayan sejak saya janjikan uang satu qian emas. Mereka juga bilang, besok saya harus bangun pagi kalau tak rela ketinggalan pemandangan hukum negara.
***
Pagi sekali saya sudah menyiapkan diri, berbersih badan di kali dan makan pagi bersama yang lainnya. Pagi itu memang orang-orang memasang muka gembira. Mereka sudah berbondong searah menuju tempat yang kemudian kulihat sebagai lapangan yang luas. Mereka ini berjejer mengelilingi sebuah tanah yang kosong sama sekali dan hanya ada semacam balai persegi. Saya bertanya sebab mereka demikian, dan hanya dikatakan kalau pagi ini hendak ada hukuman mati. Matahari sudah naik banyak derajat, ketika suasana berkembang. Rombongan-rombongan datang, kurang lebih banyaknya sampai sekitar 500-700 orang. Ini semacam rombongan beradat dengan seragam dan bendera-bendera bulu, umbul-umbul serta genderang yang disesuaikan dengan tahap mereka melangkah. Orang-orang langsung keburu berlutut dan menunduk saat melihatnya. Saya melakukannya dan baru berbisik menanya keinginan mereka untuk berlaku seperti itu. “Raja datang” hanya itulah ucapan orang di sebelah saya. Rupanya di sinipun demikian, orang tak boleh ada yang lancang jika raja hendak berlewat. Semua harus berlutut dan merunduk yang demikian itu untuk menunjukan sikap berhormat. Saya sempat-sempat mengintip, dan rupanya sebagian banyak rombongan itu adalah seperti prajurit, yang saya pikir berguna melindungi raja yang kuperkirakan pula pasti menaiki gajah, sebab hanya ada satu gajah yang digunakan oleh rombongan itu.
Setelahnya, raja duduk di balai persegi yang jauh-jauh sudah disediakan. Ia memiliki rambut yang cukup panjang untuk semacam disanggul di atas kepala. Pakaiannya mewah dan jelas beda sekali dengan segala yang ada di sekitarnya. Jubah dan bajunya itu sutra kualitas bagus bergambar bunga, sepatunya kulit yang tebal dan di dadanya tergantung lonceng yang kemilau itu berarti terbuat dari emas. Eksekusi disiapkan dengan seorang yang sudah terikat dipaksa untuk berlutut. Ia diucapkan segala perbuatannya yang salah di hadapan orang-oeang yang menonton ini. Di dalamnya saya dengar orang ini sebagai pengkhianat yang suka mencuri, rampok serta mengambil uang pajak hasil bumi. Saya tanyakan lagi apakah sudah biasa ada sumber hukum mati yang begini? Dikatakan pada saya bahwa yang terbiasa adalah menebus pelanggaran dengan berbayar upeti. Hanya contoh-contoh yang dikhususkan saja yang boleh merasakan hukum mati. Biasanya perampok dan pencuri besar-besaran. Pagi di demikian hari ini, saya akhiri dengan hukuman mati yang pertama kali saya saksikan di depan diri saya sendiri.
Saya terutama suka menaruh perhatian pada raja negeri ini. Saya putuskan untuk pergi melihat. Saya menumpang pada seorang peternak yang mau membawa kambingnya ke kota. Kebetulan ia rela menerima saya tanpa perlu ditawari seberapapun. Kediaman raja dikelilingi tembok bata yang saya amati setinggi tak kurang dari 9 meter. Ia begitu luas hingga panjang tempok pembatas ini rasanya bisa sampai 90 meter. Gerbang masuknya ada dua lapis. Saya tak bisa menjelajah ke dalam karena tak punya izin urusan. Saya bertanya-tanya di kedai makan, dan mendapati penjelasan bahwa di dalam kediaman raja ada sekiranya beberapa rumah yang tinggi-tinggi. Lantainya dibuat dari papan yang lalu di alasi tikar rotan halus atau tikar rumput yang dianyam. Kemewahan itu tentu bisa terbanding, jika saya ingat rumah tempat saya bermalam hanya berlapis tanah dan jerami.
Upaya untuk mencari tahu kediaman raja ini, berakhir dengan kericuhan di meja lain. Saya tak paham betul sumber keributannya, namun mereka menyebut-nyebut persoalan kelancangan menyentuh kepala. Keduanya mabuk, kupahami itu dari langkah mereka yang tak sanggup teratur. Keduanya mengeluarkan benda yang sejak tadi mereka sisipkan di pinggang. Saya sudah lama menaruh curiga pada benda itu, karena seluruh pria membawanya di pinggang. Ia rupanya semacam senjata pipih berbentuk meliuk dan ukurannya sangat pendek. Gagangnya mungkin terbikin dari cula badak ataupun gading gajah. Tak ada yang hendak melerai mereka, sayapun terasa demikian tak berniat untuk bercampur pada kesulitan orang lain. Seorang daripadanya menusuk lawannya sampai tergeletak begitu saja. Orang-orang ramai, dan yang menusuk langsung lari menghilang tanpa sempat ditemui oleh semacam prajurit yang sepertinya berfungsi untuk mengatur keamanan. Saya sempat menguping perihal yang terjadi. Rupanya, urusan memegang kepala memanglah urusan penting. Mereka akan marah jika kepala mereka dipegangkan dengan sengaja. Satu-satunya cara untuk meleraikan kesulitan ini hanya dengan berkelahi sampai selesai. Orang yang tadi tertusuk, sudah mati seketika. Mungkin senjata ini dibubuhi semacam racun kuat. Pembunuhnya sudah melarikan diri dan menurut aturan kota, ia tak boleh ditemukan dalam 3 hari. Jika di tiga hari itu ia ditemukan, habislah ia terhukum mati dengan cara yang sama. Namun jika dalam 3 hari ia berhasil menghilangkan diri, maka kejahatannya luntur dan ia bisa bebas berkehidupan seperti biasanya saja. Baru sebentar saja saya di negeri selatan ini, sudah ada banyak yang mati. Ini biasa saja menurut mereka, karena segala urusan di sini biasa berkesudahan dengan perkelahian.
Awalnya saya memperkirakan segala di negeri ini sudahlah menakutkan. Rupanya kesemuanya terbantah saat saya temui pemandangan itu. Seorang pria yang menebarkan berbagai gambar di atas selembar kertas. Gambar-gambar itu ia terbarkan saja di tanah dan ditunjukkan pada penonton. Ia kemudian berjongkok dan mulai menceritakan gambaran itu. Kisahnya seperti jenaka, karena para penonton terbawa tawa dibuatnya. Saya membincangkannya pada peternak yang lagi-lagi mengantarkan, kali ini pulang ke tempat saya bermalam. Rupanya kisah yang disampaikan itu tak selalu jenaka, kadang juga sedih yang bisa membikin penontonnya menangis. Rupanya negeri ini sudah mengerti pula keindahan seni bercerita.
***
Malam ini kebetulan purnama di tanggal 15. Orang negeri ini punya kebiasaan untuk menyanyi ketika malam purnama sedang cerah. 20 sampai 30 wanita pribumi membentukkan kelompok, yang kemudian mulai berjalan beriringan sambil menyanyikan lagu rakyat. Mereka menamakan kegiatan ini sebagai “membuat musik di bawah sinar bulan purnama.” Malam inipun jadi terasa tentram kembali. Saya harus bersiap badan, karena esok akan hinggap di pelabuhan yang selanjutnya, di negeri Moa-cia-pa-i.
Ario Sasongko
18 September 2012
BOM CERPEN
Kisah ini dibuat berdasarkan beberapa penggambaran ttg nusantara dari catatan-catatan kuna negeri Tiongkok dinasti Song.
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Grup BOM Cerpen & Page BOM Cerpen
Rumah nelayan tempat saya tinggal ini bergenting warna-warna merah kuning. Mereka ramah terutama pada pedagang Tiongkok seperti rombongan saya. Mereka tak paham saya bukan pedagang, melainkan biksu, tak mengapa pula sebenarnya dengan hal itu. Hidangan yang mereka berikan pada saya begitu banyak pula bersih. Anehnya mereka memakan langsung pakai tangan. Saya harus mengikuti tata cara ini, agar dapat dikatakan menghormat pada kebiasaan. Meski saya tak melihat adanya calon hukuman bila saya tak menurut pada kebiasaan tata cara makan itu. Mereka tak punya air teh, dan menawari saya arak. Saya tak minum arak atau semacamnya yang membikin mabuk, tentu saja. Tapi saya sempat tanyai darimana arak itu dibikin, mereka jelaskan itu dari kelapa dan pohon palem. Aromanya wangi, karena dapat sampai tercium ke hidung saya. Kelihatannya pula arak ini bagus, karena orang-orang sudah kelihatan mabuk ketika beberapa tenggak saja mereka menikmatinya. Mereka mabuk sampai malam. Rombongan lainnya menginap di kapal, sementara saya boleh menginap di rumah nelayan sejak saya janjikan uang satu qian emas. Mereka juga bilang, besok saya harus bangun pagi kalau tak rela ketinggalan pemandangan hukum negara.
***
Pagi sekali saya sudah menyiapkan diri, berbersih badan di kali dan makan pagi bersama yang lainnya. Pagi itu memang orang-orang memasang muka gembira. Mereka sudah berbondong searah menuju tempat yang kemudian kulihat sebagai lapangan yang luas. Mereka ini berjejer mengelilingi sebuah tanah yang kosong sama sekali dan hanya ada semacam balai persegi. Saya bertanya sebab mereka demikian, dan hanya dikatakan kalau pagi ini hendak ada hukuman mati. Matahari sudah naik banyak derajat, ketika suasana berkembang. Rombongan-rombongan datang, kurang lebih banyaknya sampai sekitar 500-700 orang. Ini semacam rombongan beradat dengan seragam dan bendera-bendera bulu, umbul-umbul serta genderang yang disesuaikan dengan tahap mereka melangkah. Orang-orang langsung keburu berlutut dan menunduk saat melihatnya. Saya melakukannya dan baru berbisik menanya keinginan mereka untuk berlaku seperti itu. “Raja datang” hanya itulah ucapan orang di sebelah saya. Rupanya di sinipun demikian, orang tak boleh ada yang lancang jika raja hendak berlewat. Semua harus berlutut dan merunduk yang demikian itu untuk menunjukan sikap berhormat. Saya sempat-sempat mengintip, dan rupanya sebagian banyak rombongan itu adalah seperti prajurit, yang saya pikir berguna melindungi raja yang kuperkirakan pula pasti menaiki gajah, sebab hanya ada satu gajah yang digunakan oleh rombongan itu.
Setelahnya, raja duduk di balai persegi yang jauh-jauh sudah disediakan. Ia memiliki rambut yang cukup panjang untuk semacam disanggul di atas kepala. Pakaiannya mewah dan jelas beda sekali dengan segala yang ada di sekitarnya. Jubah dan bajunya itu sutra kualitas bagus bergambar bunga, sepatunya kulit yang tebal dan di dadanya tergantung lonceng yang kemilau itu berarti terbuat dari emas. Eksekusi disiapkan dengan seorang yang sudah terikat dipaksa untuk berlutut. Ia diucapkan segala perbuatannya yang salah di hadapan orang-oeang yang menonton ini. Di dalamnya saya dengar orang ini sebagai pengkhianat yang suka mencuri, rampok serta mengambil uang pajak hasil bumi. Saya tanyakan lagi apakah sudah biasa ada sumber hukum mati yang begini? Dikatakan pada saya bahwa yang terbiasa adalah menebus pelanggaran dengan berbayar upeti. Hanya contoh-contoh yang dikhususkan saja yang boleh merasakan hukum mati. Biasanya perampok dan pencuri besar-besaran. Pagi di demikian hari ini, saya akhiri dengan hukuman mati yang pertama kali saya saksikan di depan diri saya sendiri.
Saya terutama suka menaruh perhatian pada raja negeri ini. Saya putuskan untuk pergi melihat. Saya menumpang pada seorang peternak yang mau membawa kambingnya ke kota. Kebetulan ia rela menerima saya tanpa perlu ditawari seberapapun. Kediaman raja dikelilingi tembok bata yang saya amati setinggi tak kurang dari 9 meter. Ia begitu luas hingga panjang tempok pembatas ini rasanya bisa sampai 90 meter. Gerbang masuknya ada dua lapis. Saya tak bisa menjelajah ke dalam karena tak punya izin urusan. Saya bertanya-tanya di kedai makan, dan mendapati penjelasan bahwa di dalam kediaman raja ada sekiranya beberapa rumah yang tinggi-tinggi. Lantainya dibuat dari papan yang lalu di alasi tikar rotan halus atau tikar rumput yang dianyam. Kemewahan itu tentu bisa terbanding, jika saya ingat rumah tempat saya bermalam hanya berlapis tanah dan jerami.
Upaya untuk mencari tahu kediaman raja ini, berakhir dengan kericuhan di meja lain. Saya tak paham betul sumber keributannya, namun mereka menyebut-nyebut persoalan kelancangan menyentuh kepala. Keduanya mabuk, kupahami itu dari langkah mereka yang tak sanggup teratur. Keduanya mengeluarkan benda yang sejak tadi mereka sisipkan di pinggang. Saya sudah lama menaruh curiga pada benda itu, karena seluruh pria membawanya di pinggang. Ia rupanya semacam senjata pipih berbentuk meliuk dan ukurannya sangat pendek. Gagangnya mungkin terbikin dari cula badak ataupun gading gajah. Tak ada yang hendak melerai mereka, sayapun terasa demikian tak berniat untuk bercampur pada kesulitan orang lain. Seorang daripadanya menusuk lawannya sampai tergeletak begitu saja. Orang-orang ramai, dan yang menusuk langsung lari menghilang tanpa sempat ditemui oleh semacam prajurit yang sepertinya berfungsi untuk mengatur keamanan. Saya sempat menguping perihal yang terjadi. Rupanya, urusan memegang kepala memanglah urusan penting. Mereka akan marah jika kepala mereka dipegangkan dengan sengaja. Satu-satunya cara untuk meleraikan kesulitan ini hanya dengan berkelahi sampai selesai. Orang yang tadi tertusuk, sudah mati seketika. Mungkin senjata ini dibubuhi semacam racun kuat. Pembunuhnya sudah melarikan diri dan menurut aturan kota, ia tak boleh ditemukan dalam 3 hari. Jika di tiga hari itu ia ditemukan, habislah ia terhukum mati dengan cara yang sama. Namun jika dalam 3 hari ia berhasil menghilangkan diri, maka kejahatannya luntur dan ia bisa bebas berkehidupan seperti biasanya saja. Baru sebentar saja saya di negeri selatan ini, sudah ada banyak yang mati. Ini biasa saja menurut mereka, karena segala urusan di sini biasa berkesudahan dengan perkelahian.
Awalnya saya memperkirakan segala di negeri ini sudahlah menakutkan. Rupanya kesemuanya terbantah saat saya temui pemandangan itu. Seorang pria yang menebarkan berbagai gambar di atas selembar kertas. Gambar-gambar itu ia terbarkan saja di tanah dan ditunjukkan pada penonton. Ia kemudian berjongkok dan mulai menceritakan gambaran itu. Kisahnya seperti jenaka, karena para penonton terbawa tawa dibuatnya. Saya membincangkannya pada peternak yang lagi-lagi mengantarkan, kali ini pulang ke tempat saya bermalam. Rupanya kisah yang disampaikan itu tak selalu jenaka, kadang juga sedih yang bisa membikin penontonnya menangis. Rupanya negeri ini sudah mengerti pula keindahan seni bercerita.
***
Malam ini kebetulan purnama di tanggal 15. Orang negeri ini punya kebiasaan untuk menyanyi ketika malam purnama sedang cerah. 20 sampai 30 wanita pribumi membentukkan kelompok, yang kemudian mulai berjalan beriringan sambil menyanyikan lagu rakyat. Mereka menamakan kegiatan ini sebagai “membuat musik di bawah sinar bulan purnama.” Malam inipun jadi terasa tentram kembali. Saya harus bersiap badan, karena esok akan hinggap di pelabuhan yang selanjutnya, di negeri Moa-cia-pa-i.
Ario Sasongko
18 September 2012
BOM CERPEN
Kisah ini dibuat berdasarkan beberapa penggambaran ttg nusantara dari catatan-catatan kuna negeri Tiongkok dinasti Song.
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Grup BOM Cerpen & Page BOM Cerpen