“Aku ingin menulis tentang laut.”
“Apa kau pernah ke laut?”
“Itulah.”
“Apa?”
“Tak pernah.”
Aku jarang bertemunya, walau aku tahu di mana harus mencari gadis itu. Di bawah pohon, dekat sungai dan jembatan berwarna merah di belakang kantin kampus. Demikian pula aku pertama kali melihatnya, sedang duduk membaca buku “Demian” karya Hermann Hesse. Kami berkenalan, entah ini disengaja atau tidak, ia menyapaku lebih dulu saat aku sibuk melempari batu-batu pipih dan menghitung pantulannya di atas air sungai yang tenang.
“Apa kau pernah ke laut?”
“Itulah.”
“Apa?”
“Tak pernah.”
Aku jarang bertemunya, walau aku tahu di mana harus mencari gadis itu. Di bawah pohon, dekat sungai dan jembatan berwarna merah di belakang kantin kampus. Demikian pula aku pertama kali melihatnya, sedang duduk membaca buku “Demian” karya Hermann Hesse. Kami berkenalan, entah ini disengaja atau tidak, ia menyapaku lebih dulu saat aku sibuk melempari batu-batu pipih dan menghitung pantulannya di atas air sungai yang tenang.
Berikutlah yang kemudian terjadi. Ia menyapa hanya untuk memintaku berhenti melempari batu-batu itu ke sungai. Kutanya alasannya dan ia hanya diam. Lantas kembalilah kulempar batu lainnya ke sungai itu, memantul di permukaan air beberapa kali. Ia kembali memintaku berhenti untuk melakukannya. Aku minta ia menjelaskannya. “Aku tak suka.” Hanya itulah penjelasannya, lalu kembali membaca.
Namanya Nirma. Mengingatkanku akan penyihir cilik dalam kisah anak-anak yang kubaca tiap minggu di sebuah majalah. Sama pula seperti namanya, ia memiliki sihir itu, yang akhirnya membuatku terpaksa menuliskan kisah kami. Nirma adalah seorang gadis yang senang berpikir, sesuai pula dengan jurusan perkuliahannya, filasafat.
“Banyak lulusan jurusanmu yang menjadi kurator seni. Apa kau berencana menjadi satu?”
“Tidak. Aku ingin menulis.”
“Oh. Kau ingin jadi penulis?”
“Entahlah, aku hanya ingin menulis. Definisi itu tidak penting.”
Bukan karena ia terbiasa mempelajari filsafat, yang artinya secara umum, ia akrab bergelut dengan pembahasan-pembahasan yang filosofis, maka seringlah ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tak mudah dicerna. Kupikir ia memang seorang yang sudah begitu dari sananya, bukan sekedar faktor akademisi filsafat semata. Justru mungkin disiplin ilmu itu hanyalah jembatan dari karakternya, menuju pemaknaan yang selalu ia pandang di dunia ini. Dari pemikirannya itulah sihirnya bekerja, dan aku menjadi korban.
Nirma tak punya seorangpun teman. Ini bukan karena persoalan anti sosial, atau benci terhadap manusia lain, atau perihal semacam itu. Ia hanya terbiasa tak memiliki teman. Sejak kecil ia selalu sendirian, bermainpun sendirian. Ia bilang Ayahnya pergi pada suatu malam, tengah malam. Orang-orang bertubuh besar, pada suatu malam itu mendobrak rumahnya, menarik ayahnya, serta membakar buku-buku di rumah itu. Entah buku apa itu, ketika kecil Nirma belum bisa memahaminya. Buku itu warnanya merah, beberapa ada lambang palu dan arit yang bersilang. Deskripsinya membuat aku tergelitik untuk menerka.
“Komunis?”
“Ya, itulah.”
“Bapakmu PKI[1]?”
“Mungkin.”
“Jika bukan, lantas apa?”
“Ia selalu menulis. Itu saja yang kuingat.”
Keluarganya memang tak pernah membahas perihal ini, terlebih sejak ayahnya itu pergi. Mungkin mereka sudah lelah dengan segala urusan semacam itu. Aku bisa mengerti jika membayangkan bagaimana kemudian keluarga itu mendapat stigma yang sama oleh masyarakat sekitar. Memang sejak kejadian itulah, Nirma jadi tak punya teman. Umurnya baru lima tahun, dan kenangan pertamanya adalah bagaimana ia bermain di teras, berbicara lantang-lantang dengan dirinya sendiri, seolah sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Sejak itulah, mungkin karena tak punya teman, Nirma jadi senang menulis. Apa-apa selalu ditulisnya. Pernah ia mendapat kesempatan untuk menulis kepada ayahnya. Berlembar-lembar ia tulis, ia ceritakan segala hari sejak kepergian ayahnya tersebut. Namun, beberapa minggu kemudian ibunya meminta Nirma untuk berhenti melakukan itu. Ia bilang surat tersebut kini takkan mungkin sampai. Nirma tak pernah bertanya mengapa, dan ibunya tak pernah menjelaskan.
Suatu hari, ibu Nirma mengajaknya naik kereta. Senang betul dirinya ketika dikabarkan rencana itu, menurut pula ketika ibunya meminta Nirma memasukan semua bajunya ke dalam tas besar. Nirma memang tak pernah naik kereta, dan sekali inilah pengalaman pertamanya pergi naik kereta. Ia tak peduli ke mana kereta ini akan membawanya. Walau selama perjalanan, ibunya selalu mengajak Nirma membahas pamannya, sosok pria berpeci dan jenggot tebal yang agak-agak sukar ia ingat wajahnya. Ibunya juga terus saja bercerita tentang Jakarta, tentang bus tingkat dan kendaraan bernama bajaj. Nirma tak terlalu menghiraukan omongan ibunya tersebut. Ia hanya sibuk memperhatikan pemandangan yang terus berkelebat cepat di jendela, serta suara kereta yang konstan terus saja ia dengar. Ia tak tahu bahwa perjalanan itu tak pernah membawanya pulang. Ibunya pulang, tapi ia ditinggal di Jakarta bersama pamannya itu.
Pamannya adalah seorang ulama yang dihormati di wilayahnya. Setiap minggu Nirma pasti diajak pergi, duduk di masjid dan menyaksikan bagaimana pamannya itu berceramah, membahas surga dan neraka, baik-buruk, sambil sesekali disempali dengan nilai-nilai pancasila serta puji-pujian bagi presiden kami, Soeharto. Setiap pulang, orang-orang berebut menciumi tangan pamannya tersebut. Ia hanya memperhatikan kerumunan itu, dan tingkah orang-orang yang berebutan menciumi punggung tangan pamannya, kegiatan yang setiap pagi selalu ia lakukan dan tak merasa luar biasa pula karenanya. Dari balik sosok pamannya, dan memperhatikan tingkah laku mereka, semakin lama Nirma semakin tak mampu memahami pikiran orang-orang di sekitarnya.
Nirma tak terbiasa punya teman, sejak kecil demikian. Saat tinggal di Jakartapun, Nirma masih meneruskan hobinya, bermain sendiri di teras sambil berkata dengan lantang seolah sedang bermain dengan teman sebayanya. Selain itu Nirma masih sering menulis surat untuk ayahnya, menceritakan segala apa yang dialaminya, walau ia tak pernah mengirimkan surat itu. Ia tak tahu mau mengirimkannya ke mana.
“Semenjak itu kau ingin menjadi penulis?”
“Aku tak tahu hal lain, selain menulis.”
“Dan alasanmu belajar filsafat?”
“Entahlah. Orang bilang belajar filsafat itu belajar kehidupan.”
“Kau setuju?”
“Tak tahu.”
Entah mengapa ia menceritakan semuanya ini padaku, dan entah mengapa aku menceritakan ini pada kalian. Mungkin aku merindukan Nirma, karena sejak semester awal pertemuan kami, aku makin terus memikirkannya, meski selama itu pula kami jarang bertemu.
Bagiku gadis ini sama saja seperti laut. Luas dan dalam. Seumur hidupku hanya kulihat dia duduk di bawah pohon itu, di dekat sungai dan jembatan merah belakang kantin kampus. Kami memang jarang bertemu, namun setiap bertemu itulah ia sedikit-sedikit menceritakan hidupnya, dan itu terus berlangsung sampai menjelang kami lulus kuliah.
Dia tak ikut wisuda, kutemukan ia duduk di bawah pohon yang sama di dekat sungai dan jembatan merah belakang kantin kampus. Tak terkejut aku melihatnya di sana. Aku menyapanya, dan dia datar saja, seperti biasa. Apa rencananya setelah lulus kuliah, itulah awal ketika ia menyampaikan keinginannya. Ia bilang ingin menulis di laut. Walau ia tak pernah pergi ke laut. Apa yang membuatnya ingin tertarik dengan laut? Apakah ia menemukan kemiripan itu? Bahwa aku menganggap dirinya sama dengan laut, luas dan dalam.
Aku memang tak pernah dapat memahami pemikirannya, ia memandang dengan sangat luas, terlalu luas bahkan. Kupikir tak seorangpun pula pernah mengarahkannya untuk berpikir apa, terlebih sejak kepergian ayahnya. Ia anak yang terbiasa sendiri, dan sendiri pulalah ia memikirkan hidupnya itu.
“Apa yang ingin kau tulis tentang laut?”
“Segalanya?”
“Contohnya?”
“Surat-suratku yang tak pernah sampai.”
“Kepada ayahmu?”
“Ya.”
“Kau ingin menulis tentang ayahmu?”
“Entahlah.”
“Lalu?”
“Ayahku mati di laut.”
Setelah kupikir-pikir, memang tampaknya aku sama sekali tak sedang bercerita tentang kisah kami. Aku bercerita tentang diriku, gadis yang ingin menulis kisah tentang laut.
Ario Sasongko
13.04.2012
BOM CERPEN
*Cerpen dapat pula dibaca di bomcerpen.com
Namanya Nirma. Mengingatkanku akan penyihir cilik dalam kisah anak-anak yang kubaca tiap minggu di sebuah majalah. Sama pula seperti namanya, ia memiliki sihir itu, yang akhirnya membuatku terpaksa menuliskan kisah kami. Nirma adalah seorang gadis yang senang berpikir, sesuai pula dengan jurusan perkuliahannya, filasafat.
“Banyak lulusan jurusanmu yang menjadi kurator seni. Apa kau berencana menjadi satu?”
“Tidak. Aku ingin menulis.”
“Oh. Kau ingin jadi penulis?”
“Entahlah, aku hanya ingin menulis. Definisi itu tidak penting.”
Bukan karena ia terbiasa mempelajari filsafat, yang artinya secara umum, ia akrab bergelut dengan pembahasan-pembahasan yang filosofis, maka seringlah ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tak mudah dicerna. Kupikir ia memang seorang yang sudah begitu dari sananya, bukan sekedar faktor akademisi filsafat semata. Justru mungkin disiplin ilmu itu hanyalah jembatan dari karakternya, menuju pemaknaan yang selalu ia pandang di dunia ini. Dari pemikirannya itulah sihirnya bekerja, dan aku menjadi korban.
Nirma tak punya seorangpun teman. Ini bukan karena persoalan anti sosial, atau benci terhadap manusia lain, atau perihal semacam itu. Ia hanya terbiasa tak memiliki teman. Sejak kecil ia selalu sendirian, bermainpun sendirian. Ia bilang Ayahnya pergi pada suatu malam, tengah malam. Orang-orang bertubuh besar, pada suatu malam itu mendobrak rumahnya, menarik ayahnya, serta membakar buku-buku di rumah itu. Entah buku apa itu, ketika kecil Nirma belum bisa memahaminya. Buku itu warnanya merah, beberapa ada lambang palu dan arit yang bersilang. Deskripsinya membuat aku tergelitik untuk menerka.
“Komunis?”
“Ya, itulah.”
“Bapakmu PKI[1]?”
“Mungkin.”
“Jika bukan, lantas apa?”
“Ia selalu menulis. Itu saja yang kuingat.”
Keluarganya memang tak pernah membahas perihal ini, terlebih sejak ayahnya itu pergi. Mungkin mereka sudah lelah dengan segala urusan semacam itu. Aku bisa mengerti jika membayangkan bagaimana kemudian keluarga itu mendapat stigma yang sama oleh masyarakat sekitar. Memang sejak kejadian itulah, Nirma jadi tak punya teman. Umurnya baru lima tahun, dan kenangan pertamanya adalah bagaimana ia bermain di teras, berbicara lantang-lantang dengan dirinya sendiri, seolah sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Sejak itulah, mungkin karena tak punya teman, Nirma jadi senang menulis. Apa-apa selalu ditulisnya. Pernah ia mendapat kesempatan untuk menulis kepada ayahnya. Berlembar-lembar ia tulis, ia ceritakan segala hari sejak kepergian ayahnya tersebut. Namun, beberapa minggu kemudian ibunya meminta Nirma untuk berhenti melakukan itu. Ia bilang surat tersebut kini takkan mungkin sampai. Nirma tak pernah bertanya mengapa, dan ibunya tak pernah menjelaskan.
Suatu hari, ibu Nirma mengajaknya naik kereta. Senang betul dirinya ketika dikabarkan rencana itu, menurut pula ketika ibunya meminta Nirma memasukan semua bajunya ke dalam tas besar. Nirma memang tak pernah naik kereta, dan sekali inilah pengalaman pertamanya pergi naik kereta. Ia tak peduli ke mana kereta ini akan membawanya. Walau selama perjalanan, ibunya selalu mengajak Nirma membahas pamannya, sosok pria berpeci dan jenggot tebal yang agak-agak sukar ia ingat wajahnya. Ibunya juga terus saja bercerita tentang Jakarta, tentang bus tingkat dan kendaraan bernama bajaj. Nirma tak terlalu menghiraukan omongan ibunya tersebut. Ia hanya sibuk memperhatikan pemandangan yang terus berkelebat cepat di jendela, serta suara kereta yang konstan terus saja ia dengar. Ia tak tahu bahwa perjalanan itu tak pernah membawanya pulang. Ibunya pulang, tapi ia ditinggal di Jakarta bersama pamannya itu.
Pamannya adalah seorang ulama yang dihormati di wilayahnya. Setiap minggu Nirma pasti diajak pergi, duduk di masjid dan menyaksikan bagaimana pamannya itu berceramah, membahas surga dan neraka, baik-buruk, sambil sesekali disempali dengan nilai-nilai pancasila serta puji-pujian bagi presiden kami, Soeharto. Setiap pulang, orang-orang berebut menciumi tangan pamannya tersebut. Ia hanya memperhatikan kerumunan itu, dan tingkah orang-orang yang berebutan menciumi punggung tangan pamannya, kegiatan yang setiap pagi selalu ia lakukan dan tak merasa luar biasa pula karenanya. Dari balik sosok pamannya, dan memperhatikan tingkah laku mereka, semakin lama Nirma semakin tak mampu memahami pikiran orang-orang di sekitarnya.
Nirma tak terbiasa punya teman, sejak kecil demikian. Saat tinggal di Jakartapun, Nirma masih meneruskan hobinya, bermain sendiri di teras sambil berkata dengan lantang seolah sedang bermain dengan teman sebayanya. Selain itu Nirma masih sering menulis surat untuk ayahnya, menceritakan segala apa yang dialaminya, walau ia tak pernah mengirimkan surat itu. Ia tak tahu mau mengirimkannya ke mana.
“Semenjak itu kau ingin menjadi penulis?”
“Aku tak tahu hal lain, selain menulis.”
“Dan alasanmu belajar filsafat?”
“Entahlah. Orang bilang belajar filsafat itu belajar kehidupan.”
“Kau setuju?”
“Tak tahu.”
Entah mengapa ia menceritakan semuanya ini padaku, dan entah mengapa aku menceritakan ini pada kalian. Mungkin aku merindukan Nirma, karena sejak semester awal pertemuan kami, aku makin terus memikirkannya, meski selama itu pula kami jarang bertemu.
Bagiku gadis ini sama saja seperti laut. Luas dan dalam. Seumur hidupku hanya kulihat dia duduk di bawah pohon itu, di dekat sungai dan jembatan merah belakang kantin kampus. Kami memang jarang bertemu, namun setiap bertemu itulah ia sedikit-sedikit menceritakan hidupnya, dan itu terus berlangsung sampai menjelang kami lulus kuliah.
Dia tak ikut wisuda, kutemukan ia duduk di bawah pohon yang sama di dekat sungai dan jembatan merah belakang kantin kampus. Tak terkejut aku melihatnya di sana. Aku menyapanya, dan dia datar saja, seperti biasa. Apa rencananya setelah lulus kuliah, itulah awal ketika ia menyampaikan keinginannya. Ia bilang ingin menulis di laut. Walau ia tak pernah pergi ke laut. Apa yang membuatnya ingin tertarik dengan laut? Apakah ia menemukan kemiripan itu? Bahwa aku menganggap dirinya sama dengan laut, luas dan dalam.
Aku memang tak pernah dapat memahami pemikirannya, ia memandang dengan sangat luas, terlalu luas bahkan. Kupikir tak seorangpun pula pernah mengarahkannya untuk berpikir apa, terlebih sejak kepergian ayahnya. Ia anak yang terbiasa sendiri, dan sendiri pulalah ia memikirkan hidupnya itu.
“Apa yang ingin kau tulis tentang laut?”
“Segalanya?”
“Contohnya?”
“Surat-suratku yang tak pernah sampai.”
“Kepada ayahmu?”
“Ya.”
“Kau ingin menulis tentang ayahmu?”
“Entahlah.”
“Lalu?”
“Ayahku mati di laut.”
Setelah kupikir-pikir, memang tampaknya aku sama sekali tak sedang bercerita tentang kisah kami. Aku bercerita tentang diriku, gadis yang ingin menulis kisah tentang laut.
Ario Sasongko
13.04.2012
BOM CERPEN
*Cerpen dapat pula dibaca di bomcerpen.com