Orang-orang sini sudah keburu ganti nama semua. Heran benar aku, sebenarnya begitu, lebih-lebih himbauannya saja baru keluar dari mulut Menteri Sosial, Moeljadi, sejak kemarin minggu. Sebenarnya pun bukan benar-benar keluar dari mulutnya, ia menulis himbauan itu di koran, atau menyuruh bawahannya buat menulisnya dan minta dikirim ke koran. Ia minta kami-kami yang masih nama Tionghoa ini bisa lekasan membaur dan lebih baiknya membaur itu jika kami-kami yang Tionghoa ini buru-buru ganti nama. Apa sih sebenarnya kegunaan ganti nama itu, biar ganti jadi nama Arab sekalipun, aku ini masih saja sipit, kulit kuning, rambut lemas. Karena tak sempat kutemukan kegunaan inilah, aku putuskan saja untuk urung mengganti-ganti namaku yang sudah tiga huruf pendek ini saja. Dipanggilnya pun kelewat mudah.
“Oei!”
Beginilah maksudku. Aku bisa dipanggil dengan singkat dan tak merepotkan itu.
“Oei!”
Beginilah maksudku. Aku bisa dipanggil dengan singkat dan tak merepotkan itu.
“Aih, Tan! Janggal betul pagi begini kau sudah lewat.”
Kami ini begini mudahnya jika saling menyapa, kebanyakan nama kami ini cuma tiga huruf. Paling banyak empat sampai lima, tapi itupun masih mudah sekali diucapnya, semisal Han, Tjoan, Tjan, Liem, Kwee, yah macam-macamlah.
“Eh, nanti-nanti kau jangan sebut lagi aku ini Tan.”
“Loh? Ada apa memangnya? Kau ganti nama pula?”
Tan ini langsung berseri kebanggaan.
“Tanojo.”
“Hah? Apa itu?”
“Ya, namaku Tanojo sekarang. Kau sendiri? Sudah dapat nama?”
“Belum.”
“Oh, lekasanlah kau pilih nama, Oei. Kau tahu Pak Ong? Dia orang sekarang ini namanya sudah Onggo. Ah tapi aku lupa Onggo apa namanya itu.”
Inilah yang tadi itu kulamunkan. Tetangga-tetanggaku ini sudah hampir semuanya ganti nama. Aku malas untuk lekas ganti nama itu, kupikir tak ada salahnya dengan nama Oei. Apakah ada urusannya aku punya nama dengan keperluan-keperluan membaur seperti yang diarahkan oleh Pak Moeljadi?
Sekolah pagi ini pula rasanya canggung. Murid-murid tak bisa berlaku ketika guru mengabsen mereka dengan nama lama. Tentu saja yang berurusan dengan “canggung-canggung” ini hanya kami yang anak-anak Tionghoa. Seluruh murid Tionghoa di kelasku sudah seluruhnya ganti nama. Ada Candra, Salim, Hanjaya, macam-macam. Ah, memikirkan yang begini membuatku sadar kalau aku harus runyam menghapal nama mereka ini satu-satu. Seperti kami ini semua baru saling kenal, saat istirahat kami saling mengenalkan nama kami ini masing-masing. Hanya aku yang masih punya nama lama dan tak ikut bersibuk menyebutkan namaku. Belum lagi pengurus sekolah harus mendata nama-nama mereka semua yang sudah ganti nama, mengoreksi daftar absen, buku rapor, identitas ujian, dan segala kerepotan-kerepotan yang rasanya tak prinsip.
“Dalam hemat saya, himbauan Pak Moeljadi itu memang ada perlunya. Kini kalianpun jika disebut, akan terasa sekali bagian dari kami.”
Bu Nur menyampaikan pikirannya itu baik-baik di depan kelas, persis di tengah-tengah perihal pembelajaran ilmu bumi.
“Ah, Oei. Bagaimana dengan kamu? Apa nama barumu?”
“Tak ada.”
“Oh, kamu masih belum sempat ganti nama?”
“Bukan. Saya memang tak mau ganti nama.”
“Loh. Kamu ini kan biar Tionghoa, sudah peranakan. Sudah statusnya pun jelas.”
“Betul. Saya juga senang sekali jadi orang sini. Malah, saya tak paham Tiongkok, saya ini Indonesia, lahir di sini, tinggal di sini, bicarapun bisanya ya Indonesia.”
“Iya, barang tentu kamu ini lebih paham Indonesia karena inilah tempatmu tinggal. Tapi, tidaklah buruk untuk ganti namamu itu jadi Indonesia pula. Lebih banyak baiknya, malahan begitu.”
“Tapi, apa memang iya baik?”
“Oei. Kamu inikan orang Indonesia sekarang. Ya, nama Tionghoamu itu juga boleh tanggal bukan?”
“Untuk kepentingan apa?”
Ibu Nur menempelkan senyum yang sungguh bijaksana di wajahnya itu.
“Agar kau ini sudah tak ada lagi yang jadi pembeda dengan teman-temanmu yang asli Bumiputera.”
“Memang itu ada urusannya dengan nama? Dulu-dulu saya akur dengan teman-teman saya. Sekarang pun tak lain juga begitu.”
“Oei, kamu ini orang Indonesia. Apa enak namamu Tionghoa begitu?”
“Ah, kalau begitu, Ibu pun tak ada bedanya. Ibu juga Indonesia. Lantas mengapa nama Ibu itu nama Arab? Saya tahu, Nur itu dari bahasa Arab.”
Ucapanku itu membuat sesisi kelas tertawa dan aku berakhir di ruang kepala sekolah. Aku tak tahu mengapa aku merunduk, tapi tiap kali di depan kepala sekolah, demikianlah aku selalu bersikap, merunduk saja takut-takut menatapi wajahnya. Beruntung Mama dan Baba tak lantas dipanggil ke sekolah. Aku tak mau urusan jadi begitu runyam. Terlebih kepala sekolah tampak mengerti ketika kuujarkan kalau Mama dan Babaku belum juga ganti nama sampai sekarang.
Aku tak melanjutkan pembahasan tentang ganti nama itu di ruang kelas. Seperti biasa saja, sepulang sekolah aku pergi bersama beberapa teman, tak semuanya peranakan Tionghoa, ada yang totok pribumi, peranakan arab, ada macam-macam lainnya. Seperti kebiasaan kami, sepulang sekolah ini mampirlah ke lapangan dekat sekolah. Duduk-duduk kami di situ sambil meneduh di bawah pohon. Pohon ini, yang begitu kerindangan dan menurut angin sudah ada sejak zaman Belanda, selalu menjadi tempat kesukaan kami. Ada yang pernah sampai kepadaku, bahwa bibit pohon ini dibawa khusus dari Belanda, ditanam di sini dan tumbuhlah subur seperti biasa-biasanya pohon Jawa. Belanda-belanda lain sudah diusir pulang, kecuali bibit mati seperti pohon inilah yang tak bisa menyakiti pula sebenarnya, didiamkan saja tumbuh subur di atas tanah yang merdeka.
Usiaku sudah 14 tahun, sejak lahir pun aku biasa-biasa saja tinggal di sini. Aku tak pernah tahu apa itu rasanya hidup diatur Belanda. Mama dan Baba pernah, tapi mereka juga jarang punya cerita untuk urusan yang semacam itu. Baba hanya mengerti urusan dagang begitu juga dengan Mama yang serasi betul dengan urusan Baba. Sementara aku ini hanya paham lahir, dibilangnya aku keturuan Tionghoa, tanahku Tiongkok tapi aku adalah orang Indonesia. Tak paham aku apa itu Tionghoa kecuali mata kami yang sipit, kulit kami yang putih kuning, rambut kami yang lurus. Tanah yang kulihat, udara yang kuhirupkan ini, bahasa yang kupaham, segalanya bentuk Indonesia. Lalu, apakah demikian itu masih kurang akur, karena namaku masih berbentuk Tionghoa? Ah, biar bagaimana ingin kuacuhkan, urusan ganti nama itu masih saja usil mendesak-desak minta diingat.
Sore aku pulang dan kutemukan Baba sedang berpusing-pusing. Mamapun tampak demikian dan jadi lebih banyak bergerutu melihat kedatanganku yang agak sore. Biasanya mereka membiarkanku, tapi mungkin karena ada urusan kesusahan itu, segala jadi tampak salah jika ia memandangnya. Aku abaikan segala perkara itu, pergi sendiri mandi ganti baju dan segala macam kebiasaan yang biasa kulakukan pada diriku sendiri. Sampai malam, suasana jadi menjurus tenang, agak terlalu sepi sebenarnya, tapi tenang. Kami semua kumpul makan malam di meja. Biasanya dalam urusan ini, Baba suka sekali berseling menanya bagaimana pelajaranku, apa saja yang sudah kudapat dan apakah aku sudah makin pandai matematika. Mungkin ia ingin melihat bakat berhitung dan dagang yang harusnya turun dari darahnya kepada darahku. Tapi malam ini kami semuanya hanya terpaksa diam. Entah mengapa Mama dan Baba diam. Aku sendiri diam karena mereka lebih bersenang untuk diam khusus di malam ini. Sebenarnya aku lebih senang begini, karena lantas Mama membuka pembicaraan dengan tema yang agak ingin kuhindari.
“Oei, bagaimana sekolahmu hari ini?”
“Tadi aku bertengkar dengan Bu Nur.”
“Urusan apa?”
“Ganti nama.”
Mama dan Baba berganti pandangan satu sama lain. Baba yang kali ini berminat menanyaiku.
“Apa yang lalu kau sebutkan padanya?”
“Kubilang aku tak mau. Aku tak paham, mengapa kita yang namanya Tionghoa ini harus sibuk-sibuk ganti nama?”
“Apa kau sungguhan sungkan untuk ganti nama, Oei?”
“Ya, aku suka dengan namaku yang begini. Untuk apa diubah? Toh, tanpa ganti namapun, aku sudah bangga jadi orang Indonesia.”
Mama dan Baba kembali berpandangan. Baba kembali lanjut berbicara.
“Oei, jikapun kau tak ganti nama, tak apa-apa.”
“Benar Baba mendukungku?”
“Oei. Usaha Baba sudah tak lancar di sini. Keadaan sedang sulit, tak tahulah sampai kapan.”
“Lalu?”
“Lalu, kami pikir, agak sulit jika kita mau terus ada di sini. Oei, sebentar lagi kita pulang ke negeri Cina.”
Aku diam. Entah mengapa aku melakukan ini, tapi kemudian aku meninggalkan meja makan dan masuk ke dalam kamarku. Aku diam saja duduk di atas kasur. Dari luar, Baba terus mengetuk pintu, minta dibukakan. Ia terus saja katakan, bahwa aku tak perlu risau urusan ganti nama itu, karena nanti di Cina, semua orang bernama Cina sepertiku. Aku tak risau soal itu. Aku risau, karena ini artinya aku akan meninggalkan negeri yang kupikir menjadi tanah airku, kebangsaanku. Baba terus saja mengetuk pintu, terus saja membujukku, dan akhirnya aku hanya keluar dengan satu permintaan.
“Ba, aku pingin ganti nama.”
Ario Sasongko
1 Oktober 2012
BOM CERPEN
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Grup BOM Cerpen & Page BOM Cerpen