Mereka bilang aku suka berperang. Di sini kukatakan lagi, aku tak suka. Aku lebih suka duduk melamun dan merasakan hangatnya kepala Ningsih yang direbahkan di atas bahuku. Aku lebih suka bercinta dengannya, membesarkan anak kami yang sampai tempo hari itu hanya sebatas awang-awang saja. Aku lebih suka berdansa setiap malam, tenggelam dalam lampu yang sengaja kami temaramkan sambil berpeluk erat. Banyak lagi yang aku suka, tapi bukan berperang. Tapi apakah aku punya pilihan lain? Terlebih ketika orang-orang sibuk berteriak merdeka, sejak Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan kami, kemudian kemerdekaan itu hendak diambil kembali dari genggaman tangan kami yang masih terkepal erat. Aku tak bisa diam.
“Aku tak ingin anak kita kelak hidup dalam penjajahan, sama seperti yang kita alami.”
“Aku tak ingin anak kita kelak hidup dalam penjajahan, sama seperti yang kita alami.”
Jauh-jauh hari aku sudah mengatakan itu pada Ningsih. Namun mulutnya terus saja terkunci rapat. Kepalanya termangu, tak berani ia melekatkan kedua matanya padaku. Ia memikirkan keselamatanku. Siapa yang tidak? Mana ada gadis yang tak memikirkan keselamatan kekasihnya? Namun perjuanganku ini tak lain karena kecintaanku padanya.
“Apa kau begitu ingin? Apa pergi berperang jauh lebih baik ketimbang hidup di sini bersamaku?”
“Aku tak ingin. Tapi apakah aku bisa memilih? Kau tahu, aku tak dapat diam saja melihat kawan-kawan yang lain hidup dengan perjuangan mereka.”
“Apa kau tak ingin membesarkan anak dari rahimku? Tak pentingnya aku hanya demi sebuah kata “merdeka” itu rupanya.”
“Bukan demikian maksudku. Aku pergi demi kau jua. Demi anak yang kta cita-citakan itu.”
“Kalau kau pergi, matilah kau. Matilah cita-cita kita.”
“Kalau aku diam di sini. Hidup pula. Apa kau mau anak kita lahir dan tumbuh dengan kepala tertunduk-tunduk terhadap orang-orang dari negeri itu? Tak bosan kau tertunduk-tunduk terus semacam itu? Mau kau suruh anakmu kelak tertunduk pula?”
“Memang kalau kau pergi perang, akan menanglah kita? Merdeka? Sehebat itukah kau?”
“Tentunya tidak.”
“Kalau begitu, biarlah. Suruh saja orang lain yang pergi. Kurang satu orangpun tak pengaruh banyak bukan?”
“Tapi bagaimana kalau semua pemuda berpikiran demikian? Mau jadi apa nasib kita?”
“Kenyataannya tidak demikian. Banyak yang berangkat perang. Untuk apa kau ikut-ikutan?”
“Ningsih. Kemerdekaan ada di tangan setiap rakyat yang menginginkannya. Aku menginginkannya. Apa kau tidak?”
“Aku ingin kau di sini. Itu saja.”
Aku tak menuruti keinginan Ningsih. Pagi buta itu aku pergi, mencium keningnya, dan diam-diam kutinggalkan ia. Tak ada satu foto dirinyapun yang bisa kubawa, tak surat atau cinderamata dari kisah kami. Aku menyimpan Ningsih di dalam hatiku, dan kuingat lekat-lekat wajahnya, di dalam kepalaku.
Aku tak pernah berkabar padanya. Aku tak bisa mengirimi surat karena kami selalu berpindah-pindah di hutan. Gerliya. Beberapa tahun aku menghilang dari kehidupan yang sejak lahir kukenali baik-baik. Desing peluru dan aroma mesiu sudah menjadi suasana yang kini tak asing bagiku. Kami semua ya begini ini hidupnya. Setiap subuh kami menerima nasi bungkus. Saat menyantapnya, selalu terbesit keresahan akan takdir; Ini barangkali nasi terakhir yang kunikmati di dalam hidup ini. Saat menjelang fajar itu pula kami mulai bergerak dengan jantung yang berdegup terlalu kencang, semacam mendoakan agar ia dapat terus berdegup seperti ini sampai esok dan esoknya lagi. Aku mengerti betul mengapa Ningsih khawatir atas keselamatanku. Akupun demikian. Namun apalah artinya hidup selamat, jika aku harus dipaksa tersujud di atas tanah yang sudah kuinjak sejak lahir ini. Kami semua demikian ini, bertaruh nyawa agar nyamanlah hidup keturunan kami kelak. Merdeka itu bukan sekedar urusan untuk menjadi manusia bebas. Merdeka adalah semacam perjuangan yang nikmatnya tak hanya menjadi berkah bagi kami, namun juga orang-orang setelah kami. Pikiran semacam itulah yang membuat kami tak gentar menghadapi gempuran-gempuran lawan. Meski semangat itu sendiri sebenarnya tak cukup jika dibandingkan dengan altileri yang dimiliki lawan.
“Rindu lagi kau rupanya?”
Tomo, kawan terbaikku di sini, datang dan menangkap segala pikiranku yang mengawang. Sejak subuh aku hanya duduk menyandar di pohon, menyatu bersama senyapnya hutan, suara jangkrik, dan keheningan yang meresahkan. Tomo duduk di sebelahku.
“Aku ragu Ningsih memaafkanku.”
“Ah, apakah benar demikian yang kau tangkap dari segala amarahnya?”
“Maksudmu?”
“Bukan hanya kau saja, bung, yang pergi meninggalkan kekasih. Aku dan semua kawan di sinipun demikian. Siapa yang rela melihat kekasihnya pergi bertaruh nyawa?”
“Tak ada.”
“Persis! Anggaplah saat ini ia marah padamu. Tapi, saat kau kembali kelak, akan dipeluk kau erat-erat. Akan ia tumpahkan amarah itu berupa kerinduan yang mendalam.”
“Tapi aku telah meninggalkannya begitu saja. Siapa gadis yang terima diperlakukan demikian?”
“Kau tak meninggalkannya. Koreksilah ucapanmu itu. Tidak baik kau berkata demikian.”
“Lantas, disebut apalah tindakanku itu yang pergi subuh-subuh, sama seperti sekarang, menghilang tanpa ada sepatahpun yang kujanjikan padanya.”
“Kau melakukan apa yang harus kau lakukan. Benar, kau pergi darinya, namun pergi bukan karena ingin meninggalkannya. Kau sedang berjuang untuknya, untuk bangsa ini. Kau memang pergi, namun kau bawa dirinya itu, lekat-lekat di dalam hatimu."
“Entah. Kuharap iapun melekatkan diriku ini di dalam hatinya.”
“Pasti demikian. Semua gadispun demikian. Tak hanya gadismu Ningsih itu, gadisku pun sedang menungguku di rumah. Kemana kau pergi setelah semua perkara ini berakhir?”
“Ke pelukan Ningsih, tentu.”
“Demikian itulah yang nanti akan terjadi. Itulah yang kukatakan padamu, anggaplah saat ini ia marah padamu. Tapi, saat kau kembali kelak, akan dipeluk kau erat-erat. Akan ia tumpahkan amarah itu berupa kerinduan yang mendalam.”
Semacam inilah Tomo selalu dapat menenangkan resahku. Kami selalu bersebelahan, berjuang menghadapi gempuran penjajah dan sekutunya. Ia adalah pemuda dengan mata yang selalu menyala, yang selalu berbinar tiap kali ledakan maha gelora itu berdentum di hadapan kami. Ia adalah nyali yang tak pernah gentar, dengan kekuatan yang entah datangnya darimana.
“Bung, bagaimana dengan kau? Apakah kau pergi serupa denganku?”
“Kurang lebih demikian pula aku pergi dari Sri. Ia tak melarangku, namun ia tak berhenti menangis. Serba salah aku dibuatnya.”
“Lantas? Apa yang kau lakukan?”
“Aku ada di sini sekarang, itulah yang kulakukan Bung. Tak ada lagi hal lain yang pantas dilakukan pemuda-pemuda bangsa ini, kecuali ikut berperang. Jika kita mati, matilah kita di tanah yang kita cintai.”
“Inilah. Perkara mati inilah yang jadi urusan besar Bung. Jika aku mati, habislah Ningsih pula, luruhlah ia dalam kecewa itu.”
“Bung, apa kau cinta bangsa ini? Apa kau cinta merdeka?”
“Tentu aku cinta sekali.”
“Sama seperti cintamu pada Ningsih?”
“Aku tak dapat memisahkan itu semua. Aku cinta pada merdeka, pada bangsa ini. Aku cinta pula pada Ningsih.”
“Dengan cinta itulah, tak perlu kau pikirkan mati Bung. Mati adalah mati, tapi jangan kau matikan nyala di dirimu, sebelum mati itu benar-benar terjadi.”
Kami mendapatkan aba-aba untuk menyiapkan persenjataan. Aku dan Tomo beranjak dari perbincangan kami, dan mulai bersiap-siap.
“Ada sebuah perkara yang aku resahkan.”
“Apa itu?”
“Bagaimana dengan kehidupan pemuda kelak, ketika bangsa ini sudah merdeka? Mana yang kelak lebih mereka cintai? Bangsa ini atau gadis yang telah membuat mereka jatuh hati?”
“Apakah itu harus dipertanyakan?”
“Tentu. Kita ini berbeda, lahir terjajah, hidup terjajah. Saat kesempatan untuk merdeka itu hadir, maka kita perjuangkan itu mati-matian. Tapi, bagaimana dengan pemuda-pemuda yang kelak lahir merdeka, hidup merdeka? Apakah mereka akan mencintai bangsa ini, seperti bagaimana kita mencintainya? Maukah mereka mengorbankan hidup demi bangsa dan negara? Atau mereka memilih untuk hidup dalam bercinta-cintaan semata, menikah dan melahirkan anak?”
“Entahlah bung. Kupikir janganlah kau memikirkan itu dulu. Sekarang berjuang sajalah kita, merdekalah kita. Kelak perjuangan ini akan selalu dikenang. Kita buatlah contoh, para pemuda memberikan peranan penting bagi kemerdekaan bangsa ini.”
Kamipun bergegas. Hari ini adalah hari yang bersejarah. Saat fajar menyingsing, kami akan melakukan sebuah serangan yang membawa perubahan cukup besar dalam perjuangan revolusi bangsa. Tomo mati tertembak dalam pertempuran ini, aku melihatnya ketika peluru itu tertembus kepalanya dan tergeletaklah ia di tanah. Pikirannya menggelinang, merah pekat dan terserap ke dalam tanah. Semoga kelak pikiran-pikirannya itu akan tumbuh subur di tanah ini. Demikianlah pula kudoakan bagi tiap tetes darah kawan-kawanku yang terserap di tanah. Biarlah tanah ini menjadi basah, dan subur di kemudian hari.
Ini adalah peperangan terakhirku, perang yang paling kubenci sekaligus tak dapat kulupakan. Pagi itu aku kembali ke rumah. Tak kutemukan Ningsih berdiri di depan pintu. Tak sempat pula aku masuk ke dalam. Tomo sudah keburu menyusulku. Ia remas bahuku, dan tatapannya itu tak dapat kusangkal.
“Relakanlah, bung.”
Kamipun pergi. Tak sempat aku memberikan perpisahan pada Ningsih.
Di pagi itu, Ningsih terbangun dari tidurnya. Tak ia temukan lagi aku yang biasa berbaring tepat di sebelahnya. Sejak kepergianku demi bangsa ini, tak pernah lagi ia temukan diriku, seumur hidupnya.
Tamat
Ario Sasongko
18 Juni 2012
BOM CERPEN
“Apa kau begitu ingin? Apa pergi berperang jauh lebih baik ketimbang hidup di sini bersamaku?”
“Aku tak ingin. Tapi apakah aku bisa memilih? Kau tahu, aku tak dapat diam saja melihat kawan-kawan yang lain hidup dengan perjuangan mereka.”
“Apa kau tak ingin membesarkan anak dari rahimku? Tak pentingnya aku hanya demi sebuah kata “merdeka” itu rupanya.”
“Bukan demikian maksudku. Aku pergi demi kau jua. Demi anak yang kta cita-citakan itu.”
“Kalau kau pergi, matilah kau. Matilah cita-cita kita.”
“Kalau aku diam di sini. Hidup pula. Apa kau mau anak kita lahir dan tumbuh dengan kepala tertunduk-tunduk terhadap orang-orang dari negeri itu? Tak bosan kau tertunduk-tunduk terus semacam itu? Mau kau suruh anakmu kelak tertunduk pula?”
“Memang kalau kau pergi perang, akan menanglah kita? Merdeka? Sehebat itukah kau?”
“Tentunya tidak.”
“Kalau begitu, biarlah. Suruh saja orang lain yang pergi. Kurang satu orangpun tak pengaruh banyak bukan?”
“Tapi bagaimana kalau semua pemuda berpikiran demikian? Mau jadi apa nasib kita?”
“Kenyataannya tidak demikian. Banyak yang berangkat perang. Untuk apa kau ikut-ikutan?”
“Ningsih. Kemerdekaan ada di tangan setiap rakyat yang menginginkannya. Aku menginginkannya. Apa kau tidak?”
“Aku ingin kau di sini. Itu saja.”
Aku tak menuruti keinginan Ningsih. Pagi buta itu aku pergi, mencium keningnya, dan diam-diam kutinggalkan ia. Tak ada satu foto dirinyapun yang bisa kubawa, tak surat atau cinderamata dari kisah kami. Aku menyimpan Ningsih di dalam hatiku, dan kuingat lekat-lekat wajahnya, di dalam kepalaku.
Aku tak pernah berkabar padanya. Aku tak bisa mengirimi surat karena kami selalu berpindah-pindah di hutan. Gerliya. Beberapa tahun aku menghilang dari kehidupan yang sejak lahir kukenali baik-baik. Desing peluru dan aroma mesiu sudah menjadi suasana yang kini tak asing bagiku. Kami semua ya begini ini hidupnya. Setiap subuh kami menerima nasi bungkus. Saat menyantapnya, selalu terbesit keresahan akan takdir; Ini barangkali nasi terakhir yang kunikmati di dalam hidup ini. Saat menjelang fajar itu pula kami mulai bergerak dengan jantung yang berdegup terlalu kencang, semacam mendoakan agar ia dapat terus berdegup seperti ini sampai esok dan esoknya lagi. Aku mengerti betul mengapa Ningsih khawatir atas keselamatanku. Akupun demikian. Namun apalah artinya hidup selamat, jika aku harus dipaksa tersujud di atas tanah yang sudah kuinjak sejak lahir ini. Kami semua demikian ini, bertaruh nyawa agar nyamanlah hidup keturunan kami kelak. Merdeka itu bukan sekedar urusan untuk menjadi manusia bebas. Merdeka adalah semacam perjuangan yang nikmatnya tak hanya menjadi berkah bagi kami, namun juga orang-orang setelah kami. Pikiran semacam itulah yang membuat kami tak gentar menghadapi gempuran-gempuran lawan. Meski semangat itu sendiri sebenarnya tak cukup jika dibandingkan dengan altileri yang dimiliki lawan.
“Rindu lagi kau rupanya?”
Tomo, kawan terbaikku di sini, datang dan menangkap segala pikiranku yang mengawang. Sejak subuh aku hanya duduk menyandar di pohon, menyatu bersama senyapnya hutan, suara jangkrik, dan keheningan yang meresahkan. Tomo duduk di sebelahku.
“Aku ragu Ningsih memaafkanku.”
“Ah, apakah benar demikian yang kau tangkap dari segala amarahnya?”
“Maksudmu?”
“Bukan hanya kau saja, bung, yang pergi meninggalkan kekasih. Aku dan semua kawan di sinipun demikian. Siapa yang rela melihat kekasihnya pergi bertaruh nyawa?”
“Tak ada.”
“Persis! Anggaplah saat ini ia marah padamu. Tapi, saat kau kembali kelak, akan dipeluk kau erat-erat. Akan ia tumpahkan amarah itu berupa kerinduan yang mendalam.”
“Tapi aku telah meninggalkannya begitu saja. Siapa gadis yang terima diperlakukan demikian?”
“Kau tak meninggalkannya. Koreksilah ucapanmu itu. Tidak baik kau berkata demikian.”
“Lantas, disebut apalah tindakanku itu yang pergi subuh-subuh, sama seperti sekarang, menghilang tanpa ada sepatahpun yang kujanjikan padanya.”
“Kau melakukan apa yang harus kau lakukan. Benar, kau pergi darinya, namun pergi bukan karena ingin meninggalkannya. Kau sedang berjuang untuknya, untuk bangsa ini. Kau memang pergi, namun kau bawa dirinya itu, lekat-lekat di dalam hatimu."
“Entah. Kuharap iapun melekatkan diriku ini di dalam hatinya.”
“Pasti demikian. Semua gadispun demikian. Tak hanya gadismu Ningsih itu, gadisku pun sedang menungguku di rumah. Kemana kau pergi setelah semua perkara ini berakhir?”
“Ke pelukan Ningsih, tentu.”
“Demikian itulah yang nanti akan terjadi. Itulah yang kukatakan padamu, anggaplah saat ini ia marah padamu. Tapi, saat kau kembali kelak, akan dipeluk kau erat-erat. Akan ia tumpahkan amarah itu berupa kerinduan yang mendalam.”
Semacam inilah Tomo selalu dapat menenangkan resahku. Kami selalu bersebelahan, berjuang menghadapi gempuran penjajah dan sekutunya. Ia adalah pemuda dengan mata yang selalu menyala, yang selalu berbinar tiap kali ledakan maha gelora itu berdentum di hadapan kami. Ia adalah nyali yang tak pernah gentar, dengan kekuatan yang entah datangnya darimana.
“Bung, bagaimana dengan kau? Apakah kau pergi serupa denganku?”
“Kurang lebih demikian pula aku pergi dari Sri. Ia tak melarangku, namun ia tak berhenti menangis. Serba salah aku dibuatnya.”
“Lantas? Apa yang kau lakukan?”
“Aku ada di sini sekarang, itulah yang kulakukan Bung. Tak ada lagi hal lain yang pantas dilakukan pemuda-pemuda bangsa ini, kecuali ikut berperang. Jika kita mati, matilah kita di tanah yang kita cintai.”
“Inilah. Perkara mati inilah yang jadi urusan besar Bung. Jika aku mati, habislah Ningsih pula, luruhlah ia dalam kecewa itu.”
“Bung, apa kau cinta bangsa ini? Apa kau cinta merdeka?”
“Tentu aku cinta sekali.”
“Sama seperti cintamu pada Ningsih?”
“Aku tak dapat memisahkan itu semua. Aku cinta pada merdeka, pada bangsa ini. Aku cinta pula pada Ningsih.”
“Dengan cinta itulah, tak perlu kau pikirkan mati Bung. Mati adalah mati, tapi jangan kau matikan nyala di dirimu, sebelum mati itu benar-benar terjadi.”
Kami mendapatkan aba-aba untuk menyiapkan persenjataan. Aku dan Tomo beranjak dari perbincangan kami, dan mulai bersiap-siap.
“Ada sebuah perkara yang aku resahkan.”
“Apa itu?”
“Bagaimana dengan kehidupan pemuda kelak, ketika bangsa ini sudah merdeka? Mana yang kelak lebih mereka cintai? Bangsa ini atau gadis yang telah membuat mereka jatuh hati?”
“Apakah itu harus dipertanyakan?”
“Tentu. Kita ini berbeda, lahir terjajah, hidup terjajah. Saat kesempatan untuk merdeka itu hadir, maka kita perjuangkan itu mati-matian. Tapi, bagaimana dengan pemuda-pemuda yang kelak lahir merdeka, hidup merdeka? Apakah mereka akan mencintai bangsa ini, seperti bagaimana kita mencintainya? Maukah mereka mengorbankan hidup demi bangsa dan negara? Atau mereka memilih untuk hidup dalam bercinta-cintaan semata, menikah dan melahirkan anak?”
“Entahlah bung. Kupikir janganlah kau memikirkan itu dulu. Sekarang berjuang sajalah kita, merdekalah kita. Kelak perjuangan ini akan selalu dikenang. Kita buatlah contoh, para pemuda memberikan peranan penting bagi kemerdekaan bangsa ini.”
Kamipun bergegas. Hari ini adalah hari yang bersejarah. Saat fajar menyingsing, kami akan melakukan sebuah serangan yang membawa perubahan cukup besar dalam perjuangan revolusi bangsa. Tomo mati tertembak dalam pertempuran ini, aku melihatnya ketika peluru itu tertembus kepalanya dan tergeletaklah ia di tanah. Pikirannya menggelinang, merah pekat dan terserap ke dalam tanah. Semoga kelak pikiran-pikirannya itu akan tumbuh subur di tanah ini. Demikianlah pula kudoakan bagi tiap tetes darah kawan-kawanku yang terserap di tanah. Biarlah tanah ini menjadi basah, dan subur di kemudian hari.
Ini adalah peperangan terakhirku, perang yang paling kubenci sekaligus tak dapat kulupakan. Pagi itu aku kembali ke rumah. Tak kutemukan Ningsih berdiri di depan pintu. Tak sempat pula aku masuk ke dalam. Tomo sudah keburu menyusulku. Ia remas bahuku, dan tatapannya itu tak dapat kusangkal.
“Relakanlah, bung.”
Kamipun pergi. Tak sempat aku memberikan perpisahan pada Ningsih.
Di pagi itu, Ningsih terbangun dari tidurnya. Tak ia temukan lagi aku yang biasa berbaring tepat di sebelahnya. Sejak kepergianku demi bangsa ini, tak pernah lagi ia temukan diriku, seumur hidupnya.
Tamat
Ario Sasongko
18 Juni 2012
BOM CERPEN