Orang-orang boleh panggil ia Abah. Tak ada yang tahu umurnya, mungkin sudah lebih 100 tahun, karena menurut pengakuannya (dan semoga benar), ia sudah hidup sejak zaman Belanda menjajah, Jepang menjajah, Proklamasi, Agresi Militer 1 dan 2, Konferensi Meja Bundar, Soeharto dilantik, dan seterusnya, dan seterusnya. Tak ada yang berani tak percaya pada apa yang dijadikan pengakuannya itu. Barangkali sebagian besar memang enggan kualat, maklum Abah ini sudah tua dan gemar bersumpah. Sebagian besar lainnya tentu adalah orang-orang yang waras, yang paham betul usia Abah, yang dalam perhitungan matematika sudah patutlah Abah hidup bergelimang peristiwa sejarah semacamnya. Tak bisa dipungkiri pula bahwa apa yang sering diujarkan Abah ini lebih banyak benarnya dan harus diakui pula ia berfaedah daripadanya. Sebagai orang yang uzur sedemikian itu, Abah sudah tak punya lagi pekerjaan selain jalan saja keliling kampung. Pekerjaannya inilah yang membikin Abah lantas mudah terkenal, terlebih atas segala macam perlakuan yang ia tunjukkan pada seisi di dalam kampung itu.
Abah paling gemar memberi komentar kepada yang muda-muda. Ini terutama, karena menurutnya bangsa ini boleh mendapat kemerdekaan akibat perlakuan orang-orang muda di masa lalu. Dalam pekerjaannya berkeliling kampung ini, Abah sering merapat sampai beberapa kali dan dalam merapatnya ini ia mulai banyak-banyak mengutarakan kisah.
Abah paling gemar memberi komentar kepada yang muda-muda. Ini terutama, karena menurutnya bangsa ini boleh mendapat kemerdekaan akibat perlakuan orang-orang muda di masa lalu. Dalam pekerjaannya berkeliling kampung ini, Abah sering merapat sampai beberapa kali dan dalam merapatnya ini ia mulai banyak-banyak mengutarakan kisah.
“Pemuda yang tempo itu ikut serta berperang ya seusia kalian-kalian ini. Malahan ada yang masih 13 tahun, 14 tahun.”
Suatu kali itu, Abah bercerita di tengah-tengah pemuda yang sedang rehat dari bermain bola sepak.
“Belum lagi waktu baru-baru proklamasi. Pemuda-pemuda ramai bikin brosur, bikin tulisan di tembok-tembok, gerbong kereta. Disuruhnya rakyat kumpul di lapangan IKADA. Baru sekali hari itu saja Abah bisa lihat rakyat tak punya lagi takut menghadap senapan-senapan Dai Nipon.”
“Dai apa, Bah?”
“Dai Nipon! Pasukan Jepang. Kalau bukan karena Bung Karno yang turun tangan langsung, sudah tumpah itu darah kami semua ditembus senapan Jepang. Kalian ini apa tak pernah dengar cerita yang begini di sekolah?”
Tak ada yang menjawab.
“Ah. Payah benar memang pelajaran sekolah sekarang.”
“Waktu itu Abah ada di sana?”
“Loh iya! Tempo itu mana ada anak muda yang cuma bisa bikin main-main. Semua orang berjuang karena kita semua kepingin bangsa ini merdeka. Mana pernah seperti kalian.”
“Seperti kami bagaimana?”
“Ya, yang kerjanya cuma main-main.”
Bagian akhir inilah yang sekaligus menjadi watak Abah. Setiap ceritanya selalu diberi ujung yang penuh sentimen. Selalu ia menyidir semua yang jadi teman bicaranya, tak pandang umur, kerja dan embel-embel lainnya.Watak yang untuk perihal ini juga membikin warga merasa agak-agak segan meladeni perbincangannya.
“Asep. Sep. Bangun!”
Belum juga matahari terbit, sudah dihardiknya Asep, cucu Abah yang ketiban sial harus tinggal serumah dengan kakeknya itu.
“Ada apa, Bah?”
“Tak bagus kamu ini masih muda hanya bisa tidur.”
“Ini subuh saja belum, Bah.”
“Memang belum. Kau tahu, dulu di jam begini ini, kami sudah menyerang Jogja yang sudah diambil sekutu. Serangan fajar! Sudah dengar?”
“Dulu sudah diajarkan di sekolah, tapi itu juga diajarnya tidak sepagi ini.”
Jika sudah yang seperti ini, Asep lebih pilih cari alasan ke luar rumah. Kali ini ia membawa sarung.
“Itu mau kemana kau, Sep?”
“Langgar!”
Tak banyak memang yang betah dengan urusan belajar sejarah dari Abah, terutama saat dia sedang kambuh dan terutama pula karena di bagian paling akhirnya ia selalu lebih banyak ceramah dan lupa diri.
“Eh, eh, itu Abah?”
“Oh iya.”
“Aduh celaka.”
“Sudah ah, bubar saja.”
“Loh-loh, ini kenapa semua bubar? Tak jadi pesan makan?”
“Tak usahlah ketimbang kekenyangan dengar ocehan Abah.”
Setelah lohor, Abah punya kegemaran pergi ke warung nasi di belakang kampung. Di sana ada sawah garapan yang dekat-dekatnya dibangun warung nasi. Urusan warung nasi ini sebenarnya jadi bisnis yang punya banyak janji keuntungan. Hanya saja, setiap Abah datang, pekerja-pekerja sawah jadi urung datang. Mereka lebih sudi duduk-duduk di bawah pohon sambil beristirahat, ketimbang meladeni watak Abah. Atau kalau-kalau sudah terlanjur di sana, mereka akan pilih bubar sebelum melihat Abah datang,. Di warung nasi ini, juga Abah hanya paling sering pesan teh hangat. Sambil minum teh hangat inilah, yang gelasnya besar, Abah hobi sekali mengajak cerita tentang materi kesukaannya, sejarah yang punya ujung ceramah. Khusus pada para pekerja sawah, Abah paling merasa patut untuk berceramah soal Komunis, soal tragedi 65, soal pancasila dan ujung-ujungnya menuduh yang pekerja-pekerja sawah ini cuma tukang bikin onar selama masa PKI.
“Dari warung-warung nasi begini ini, otak-otak petani diracun komunis. Ketimbang kerja, mereka lebih pilih leha-leha sambil makan nasi hutang, digembori urusan berontak dan nanti-nanti berulah bakar-bakar sawah segala. Macam kalian inilah, harusnya kalian balik sana ke sawah, daripada cuma sanggup duduk-duduk santai di sini. Apa kalian ini komunis semua?”
Tempo hari, demikianlah Abah membikin pekerja sawah itu pucat dan langsung bubar. Mereka takut tuduhan Abah bisa dianggap sungguhan dan kabar-kabar angin membuat pekerja sawah ini ditangkapi tentara, seperti yang kemarin-kemarin terjadi pada tahun 60-an. Zaman sekarang tak ada satupun yang sudi dianggap komunis.
“Abah ini kok, sudah tua tapi masih ingat kisah-kisah waktu muda? Kapan pikunnya sih Bah?”
Saat sepi dan cuma kedapatan berdua dengan Abah, Ningsih si penjaga warung lebih suka memotong dan menyampaikan basa-basi. Ketimbang sebagai pertanyaan, sebetulnya ucapan itu dihaturkan Ningsih sebagai bentuk doa agar Abah segera pikun. Wajar jika Ningsih berpendirian yang seperti itu. Setidaknya ia lebih senang lihat Abah menjadi pikun ketimbang warung nasinya tutup karena sepi pelanggan. Perkara ini memang mengandung banyak celaka bagi Ningsih. Bagaimana tidak, warungnya hanya patut jualan di siang bolong karena itulah waktu ketika pekerja sawah sedang istirahat. Sore sedikit saja, pekerja-pekerja itu lebih pilih pulang dan makan di rumah, hingga jualan Ningsih pun ikut sepi. Bisa saja Ningsih tahan buka sampai malam. Namun di pinggir sawah yang gelap begini, siapa yang patut beli nasi malam-malam? Malahan bisa tentu hanya setan saja yang mampir minta makan.
Tak ada yang berani menegur Abah, atau mungkin membantah. Mereka semua takut kualat. Selain itupun, sebenarnya ceramah-ceramah Abah ini tak pernah bisa disalahkan. Ia tak pernah menghasut, membodohi atau membikin cuci otak. Dia hanya suka ceramah dan main hakim pandangan orang semau dia. Warga kampung sini sudah pasrah menerima Abah. Ningsih juga pasrah melihat nasib warung nasinya yang menjelang bangkrut. Kalaupun ada yang pantas berdoa, mereka-mereka ini hanya berdoa kesehatan Abah memburuk dan berbaring sajalah ia di sepanjang hidupnya sampai ajal.
Entah siapa yang mulai berdoa, atau memang ini terjadi sendirinya, suatu hari tak terlihatlah keberadaan Abah di seluruh kampung. Seharian itu mereka bisa berpenghidupan dalam damai. Anak-anak muda jadi bebas bermainan, pekerja-pekerja sawah santai sekali siang itu makan nasi, ngopi sambil beberapa yang cari peruntungan menggoda Ningsih. Ibu-ibu sudi berkumpul lagi di bawah pohon dekat kandang ayam sambil menggunjing apa yang membuat mereka sepakat untuk tidak setuju.
“Sep, Asep!”
Dipanggilnya Asep yang hari itu kedapatan berjalan lesu.
“Ya, kenapa?”
“Abah kemana? Seharian tak muncul.”
“Sakit.”
Tak nampak kebaikan di air muka Asep saat mengutarakannya. Kabar itupun menyebar secepat angin ke sepenjuru kampung.
Kampung itu jadi bergerak bebas, berjalan serasi dengan apa yang jadi kemauan Warganya. Sehari mereka senang, dua hari masih senang, 3 hari juga senang, tapi lama kelamaan mereka seperti rindu sesuatu. Kampung itu jadi semacam sepi. Penghidupan hanyalah datar saja tanpa ada kejadian-kejadian yang bikin kesal, senang atau sedih. Hari-hari menjadi rutin yang bisa diramal, bahwa tak ada yang baru untuk tiap harinya. Kaum laki-laki ya palingan hanya kerja seharian, sore pulang ke rumah. Kaum perempuan hanya masak di dapur, beli sayur, ada beberapa yang jaga warung dan sisanya kumpul-kumpul siang di bawah pohon dekat kandang ayam.
Mereka mulai rindu Abah dan segala ceramah serta pelajaran sejarahnya. Beberapa mulai datang untuk menjenguk, mengobrol atau mendoakan kesehatan Abah. Ada pula yang datang ke sana hanya untuk mendapat ceramah atau sekedar minta nasihat. Segala persoalan kini memang selalu dimintakan jalan keluar pada Abah. Selama masih sakit, orang-orang datang ke rumah Abah ibarat rakyat yang minta pentunjuk pada tetua desa. Meski kebiasaan inipun tak tahan lama. Sejak hari itu memang Abah tak pernah lagi kelihatan mengelilingi kampung. Hanya kisah mengenainya saja yang tersebar. Ia kini serupa angin yang selalu dikisahkan ibu kepada anak-anaknya, kepada sesama pekerja sawah, oleh Ningsih kepada seluruh pelanggannya, oleh Asep pada rumahnya yang kini sepi tak berpenghidupan.
Ario Sasongko
25 Oktober 2012
BOM CERPEN
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen
Suatu kali itu, Abah bercerita di tengah-tengah pemuda yang sedang rehat dari bermain bola sepak.
“Belum lagi waktu baru-baru proklamasi. Pemuda-pemuda ramai bikin brosur, bikin tulisan di tembok-tembok, gerbong kereta. Disuruhnya rakyat kumpul di lapangan IKADA. Baru sekali hari itu saja Abah bisa lihat rakyat tak punya lagi takut menghadap senapan-senapan Dai Nipon.”
“Dai apa, Bah?”
“Dai Nipon! Pasukan Jepang. Kalau bukan karena Bung Karno yang turun tangan langsung, sudah tumpah itu darah kami semua ditembus senapan Jepang. Kalian ini apa tak pernah dengar cerita yang begini di sekolah?”
Tak ada yang menjawab.
“Ah. Payah benar memang pelajaran sekolah sekarang.”
“Waktu itu Abah ada di sana?”
“Loh iya! Tempo itu mana ada anak muda yang cuma bisa bikin main-main. Semua orang berjuang karena kita semua kepingin bangsa ini merdeka. Mana pernah seperti kalian.”
“Seperti kami bagaimana?”
“Ya, yang kerjanya cuma main-main.”
Bagian akhir inilah yang sekaligus menjadi watak Abah. Setiap ceritanya selalu diberi ujung yang penuh sentimen. Selalu ia menyidir semua yang jadi teman bicaranya, tak pandang umur, kerja dan embel-embel lainnya.Watak yang untuk perihal ini juga membikin warga merasa agak-agak segan meladeni perbincangannya.
“Asep. Sep. Bangun!”
Belum juga matahari terbit, sudah dihardiknya Asep, cucu Abah yang ketiban sial harus tinggal serumah dengan kakeknya itu.
“Ada apa, Bah?”
“Tak bagus kamu ini masih muda hanya bisa tidur.”
“Ini subuh saja belum, Bah.”
“Memang belum. Kau tahu, dulu di jam begini ini, kami sudah menyerang Jogja yang sudah diambil sekutu. Serangan fajar! Sudah dengar?”
“Dulu sudah diajarkan di sekolah, tapi itu juga diajarnya tidak sepagi ini.”
Jika sudah yang seperti ini, Asep lebih pilih cari alasan ke luar rumah. Kali ini ia membawa sarung.
“Itu mau kemana kau, Sep?”
“Langgar!”
Tak banyak memang yang betah dengan urusan belajar sejarah dari Abah, terutama saat dia sedang kambuh dan terutama pula karena di bagian paling akhirnya ia selalu lebih banyak ceramah dan lupa diri.
“Eh, eh, itu Abah?”
“Oh iya.”
“Aduh celaka.”
“Sudah ah, bubar saja.”
“Loh-loh, ini kenapa semua bubar? Tak jadi pesan makan?”
“Tak usahlah ketimbang kekenyangan dengar ocehan Abah.”
Setelah lohor, Abah punya kegemaran pergi ke warung nasi di belakang kampung. Di sana ada sawah garapan yang dekat-dekatnya dibangun warung nasi. Urusan warung nasi ini sebenarnya jadi bisnis yang punya banyak janji keuntungan. Hanya saja, setiap Abah datang, pekerja-pekerja sawah jadi urung datang. Mereka lebih sudi duduk-duduk di bawah pohon sambil beristirahat, ketimbang meladeni watak Abah. Atau kalau-kalau sudah terlanjur di sana, mereka akan pilih bubar sebelum melihat Abah datang,. Di warung nasi ini, juga Abah hanya paling sering pesan teh hangat. Sambil minum teh hangat inilah, yang gelasnya besar, Abah hobi sekali mengajak cerita tentang materi kesukaannya, sejarah yang punya ujung ceramah. Khusus pada para pekerja sawah, Abah paling merasa patut untuk berceramah soal Komunis, soal tragedi 65, soal pancasila dan ujung-ujungnya menuduh yang pekerja-pekerja sawah ini cuma tukang bikin onar selama masa PKI.
“Dari warung-warung nasi begini ini, otak-otak petani diracun komunis. Ketimbang kerja, mereka lebih pilih leha-leha sambil makan nasi hutang, digembori urusan berontak dan nanti-nanti berulah bakar-bakar sawah segala. Macam kalian inilah, harusnya kalian balik sana ke sawah, daripada cuma sanggup duduk-duduk santai di sini. Apa kalian ini komunis semua?”
Tempo hari, demikianlah Abah membikin pekerja sawah itu pucat dan langsung bubar. Mereka takut tuduhan Abah bisa dianggap sungguhan dan kabar-kabar angin membuat pekerja sawah ini ditangkapi tentara, seperti yang kemarin-kemarin terjadi pada tahun 60-an. Zaman sekarang tak ada satupun yang sudi dianggap komunis.
“Abah ini kok, sudah tua tapi masih ingat kisah-kisah waktu muda? Kapan pikunnya sih Bah?”
Saat sepi dan cuma kedapatan berdua dengan Abah, Ningsih si penjaga warung lebih suka memotong dan menyampaikan basa-basi. Ketimbang sebagai pertanyaan, sebetulnya ucapan itu dihaturkan Ningsih sebagai bentuk doa agar Abah segera pikun. Wajar jika Ningsih berpendirian yang seperti itu. Setidaknya ia lebih senang lihat Abah menjadi pikun ketimbang warung nasinya tutup karena sepi pelanggan. Perkara ini memang mengandung banyak celaka bagi Ningsih. Bagaimana tidak, warungnya hanya patut jualan di siang bolong karena itulah waktu ketika pekerja sawah sedang istirahat. Sore sedikit saja, pekerja-pekerja itu lebih pilih pulang dan makan di rumah, hingga jualan Ningsih pun ikut sepi. Bisa saja Ningsih tahan buka sampai malam. Namun di pinggir sawah yang gelap begini, siapa yang patut beli nasi malam-malam? Malahan bisa tentu hanya setan saja yang mampir minta makan.
Tak ada yang berani menegur Abah, atau mungkin membantah. Mereka semua takut kualat. Selain itupun, sebenarnya ceramah-ceramah Abah ini tak pernah bisa disalahkan. Ia tak pernah menghasut, membodohi atau membikin cuci otak. Dia hanya suka ceramah dan main hakim pandangan orang semau dia. Warga kampung sini sudah pasrah menerima Abah. Ningsih juga pasrah melihat nasib warung nasinya yang menjelang bangkrut. Kalaupun ada yang pantas berdoa, mereka-mereka ini hanya berdoa kesehatan Abah memburuk dan berbaring sajalah ia di sepanjang hidupnya sampai ajal.
Entah siapa yang mulai berdoa, atau memang ini terjadi sendirinya, suatu hari tak terlihatlah keberadaan Abah di seluruh kampung. Seharian itu mereka bisa berpenghidupan dalam damai. Anak-anak muda jadi bebas bermainan, pekerja-pekerja sawah santai sekali siang itu makan nasi, ngopi sambil beberapa yang cari peruntungan menggoda Ningsih. Ibu-ibu sudi berkumpul lagi di bawah pohon dekat kandang ayam sambil menggunjing apa yang membuat mereka sepakat untuk tidak setuju.
“Sep, Asep!”
Dipanggilnya Asep yang hari itu kedapatan berjalan lesu.
“Ya, kenapa?”
“Abah kemana? Seharian tak muncul.”
“Sakit.”
Tak nampak kebaikan di air muka Asep saat mengutarakannya. Kabar itupun menyebar secepat angin ke sepenjuru kampung.
Kampung itu jadi bergerak bebas, berjalan serasi dengan apa yang jadi kemauan Warganya. Sehari mereka senang, dua hari masih senang, 3 hari juga senang, tapi lama kelamaan mereka seperti rindu sesuatu. Kampung itu jadi semacam sepi. Penghidupan hanyalah datar saja tanpa ada kejadian-kejadian yang bikin kesal, senang atau sedih. Hari-hari menjadi rutin yang bisa diramal, bahwa tak ada yang baru untuk tiap harinya. Kaum laki-laki ya palingan hanya kerja seharian, sore pulang ke rumah. Kaum perempuan hanya masak di dapur, beli sayur, ada beberapa yang jaga warung dan sisanya kumpul-kumpul siang di bawah pohon dekat kandang ayam.
Mereka mulai rindu Abah dan segala ceramah serta pelajaran sejarahnya. Beberapa mulai datang untuk menjenguk, mengobrol atau mendoakan kesehatan Abah. Ada pula yang datang ke sana hanya untuk mendapat ceramah atau sekedar minta nasihat. Segala persoalan kini memang selalu dimintakan jalan keluar pada Abah. Selama masih sakit, orang-orang datang ke rumah Abah ibarat rakyat yang minta pentunjuk pada tetua desa. Meski kebiasaan inipun tak tahan lama. Sejak hari itu memang Abah tak pernah lagi kelihatan mengelilingi kampung. Hanya kisah mengenainya saja yang tersebar. Ia kini serupa angin yang selalu dikisahkan ibu kepada anak-anaknya, kepada sesama pekerja sawah, oleh Ningsih kepada seluruh pelanggannya, oleh Asep pada rumahnya yang kini sepi tak berpenghidupan.
Ario Sasongko
25 Oktober 2012
BOM CERPEN
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen