“Bagaimana rasanya jatuh?”
Dia diam sebentar, tersenyum, mengawangkan pandangannya ke arah biru dengan gurat-gurat serat putih yang melapisinya.
“Manis.”
“Baguslah kalau begitu.”
Kami berdiri di sebuah jembatan kayu panjang, entah siapa yang lebih dulu ada, entah jembatan ini atau manusia yang hidup di dunia. Warnanya cokelat dengan bercak-bercak hitam yang sudah semakin menua. Jembatan ini begitu panjang, sangat panjang sampai batas pandang mata pun tak mampu melihat ujungnya. Di kejauhan, kita hanya bisa menerka-nerka saja apa yang menanti di ujung sana.
Dia diam sebentar, tersenyum, mengawangkan pandangannya ke arah biru dengan gurat-gurat serat putih yang melapisinya.
“Manis.”
“Baguslah kalau begitu.”
Kami berdiri di sebuah jembatan kayu panjang, entah siapa yang lebih dulu ada, entah jembatan ini atau manusia yang hidup di dunia. Warnanya cokelat dengan bercak-bercak hitam yang sudah semakin menua. Jembatan ini begitu panjang, sangat panjang sampai batas pandang mata pun tak mampu melihat ujungnya. Di kejauhan, kita hanya bisa menerka-nerka saja apa yang menanti di ujung sana.
Milyaran manusia rasanya sudah melewati jembatan ini, seperti yang tadi kukatakan, aku bahkan tak tau siapa yang lebih dahulu ada, entah jembatan ini, entah manusia yang hidup di dunia. Memandang jembatan ini, atau berdiri diatasnya, aku seperti mendengar dongeng tentang hidup manusia. Kau pernah melihat benda yang saat pertama memandangnya, kau seolah tau kalau benda itu telah menyimpan begitu banyak cerita? Ya, kurasa seperti itulah jembatan ini, menyimpan cerita-cerita yang didengarnya dari manusia yang melintas, karena setiap manusia pasti menyimpan sebuah cerita, itu mengapa mereka melewati jembatan ini.
Dalam hidup, setiap manusia kurasa pernah paling tidak satu kali melewati jembatan tempatku berdiri ini. Dan kali ini adalah giliranku. Entah sudah berapa lama aku menyusuri jembatan yang sungguh tak terpandang ujungnya. Aku pun tidak sendiri, seorang gadis menemaniku. Gadis ini adalah semacam jenis gadis yang semua orang ingin untuk berjalan berdua di jembatan ini, karena jembatan ini seolah tak berujung, dan seolah memang kita melalui jembatan ini selamanya. Rambutnya yang panjang semacam digulung terbalik ke belakang, aku menyukai tatapan matanya yang seolah bisa banyak bicara, dan garis-garis di wajahnya adalah pemandangan sepanjang hidup yang tak henti kuperhatikan, menantinya untuk bercerita. Tapi gadis ini tak benar-benar berjalan di sampingku, kadang dia menghilang, kadang dia muncul kembali. Hilangnya pun bisa sebentar, dapat juga dalam jangka waktu yang sangat lama.
***
“Rambutmu panjang saat kita pertama bertemu.”
“Kau bahkan tak memandang ke arahku saat pertama kita bersalaman.”
“Tapi kemudian aku memperhatikanmu.”
“Untuk apa?”
“Untuk sebuah ide.”
“Tentang apa?”
“Bunga musim semi.”
“Oh itu.”
Kami berdiri berdua, menyandarkan diri pada pagar jembatan ini. Aku memandang ke bawah, melihat kabut yang begitu tebal, memandang misteri lainnya, entah jembatan ini dibangun untuk melintasi apa, entah apa yang bersemayam di bawah sana, mungkin kehidupan yang sedang tidur panjang.
“Aku ingin berjalan lagi.” Ucapnya yang menyanggah diam.
“Kemana?”
“Tak tau, ayolah.”
Kami kembali berjalan. Ujung jembatan ini tentu masih sangat jauh dari harapan. Tapi aku menikmati saat-saat ketika dia muncul begitu saja, dalam kejujuran yang memang tak bermaksud apa-apa. Entah berapa lama kemudian perjalanan ini berlangsung.
***
Kami duduk berdua menyandar di pagar jembatan yang ujungnya masih tak terlihat.
“Aku ingin bercerita.”
“Tentang apa?” Gadis itu mulai memandangku.
“Tentang dongeng yang ada di ujung jembatan sana.”
“Ah tak usah.”
“Kenapa?”
“Aku bahkan tak tau, apa aku ingin mendengarnya.”
“Kenapa?”
“Karena aku hanya ingin sekarang, hari ini saja.”
“Kenapa?”
“Karena hanya ini yang bisa kupandang dengan jelas.”
“Besok?”
“Biarlah esok menjadi esok.”
“Kalau begitu aku harus pergi.”
“Kenapa?” Gadis itu ganti bertanya kepadaku.
“Karena waktuku habis.”
“Kenapa?”
“Karena aku harus mencari esok.”
“Kenapa?”
“Karena esok menyimpan sisa waktu yang lainnya.”
Akupun berdiri, kembali memandang esok yang kini melambai-lambai kepadaku. Gadis itu hanya memandangku, dengan tatapan mata yang tak menutup diri untuk bicara.
“Kapan kita bertemu lagi?”
“Sampai waktuku tiba, tentu saja.”
“Esok?”
Aku diam, mempertimbangkan pertanyaanya.
“Atau mungkin esoknya lagi.”***
Ario Sasongko
Dalam hidup, setiap manusia kurasa pernah paling tidak satu kali melewati jembatan tempatku berdiri ini. Dan kali ini adalah giliranku. Entah sudah berapa lama aku menyusuri jembatan yang sungguh tak terpandang ujungnya. Aku pun tidak sendiri, seorang gadis menemaniku. Gadis ini adalah semacam jenis gadis yang semua orang ingin untuk berjalan berdua di jembatan ini, karena jembatan ini seolah tak berujung, dan seolah memang kita melalui jembatan ini selamanya. Rambutnya yang panjang semacam digulung terbalik ke belakang, aku menyukai tatapan matanya yang seolah bisa banyak bicara, dan garis-garis di wajahnya adalah pemandangan sepanjang hidup yang tak henti kuperhatikan, menantinya untuk bercerita. Tapi gadis ini tak benar-benar berjalan di sampingku, kadang dia menghilang, kadang dia muncul kembali. Hilangnya pun bisa sebentar, dapat juga dalam jangka waktu yang sangat lama.
***
“Rambutmu panjang saat kita pertama bertemu.”
“Kau bahkan tak memandang ke arahku saat pertama kita bersalaman.”
“Tapi kemudian aku memperhatikanmu.”
“Untuk apa?”
“Untuk sebuah ide.”
“Tentang apa?”
“Bunga musim semi.”
“Oh itu.”
Kami berdiri berdua, menyandarkan diri pada pagar jembatan ini. Aku memandang ke bawah, melihat kabut yang begitu tebal, memandang misteri lainnya, entah jembatan ini dibangun untuk melintasi apa, entah apa yang bersemayam di bawah sana, mungkin kehidupan yang sedang tidur panjang.
“Aku ingin berjalan lagi.” Ucapnya yang menyanggah diam.
“Kemana?”
“Tak tau, ayolah.”
Kami kembali berjalan. Ujung jembatan ini tentu masih sangat jauh dari harapan. Tapi aku menikmati saat-saat ketika dia muncul begitu saja, dalam kejujuran yang memang tak bermaksud apa-apa. Entah berapa lama kemudian perjalanan ini berlangsung.
***
Kami duduk berdua menyandar di pagar jembatan yang ujungnya masih tak terlihat.
“Aku ingin bercerita.”
“Tentang apa?” Gadis itu mulai memandangku.
“Tentang dongeng yang ada di ujung jembatan sana.”
“Ah tak usah.”
“Kenapa?”
“Aku bahkan tak tau, apa aku ingin mendengarnya.”
“Kenapa?”
“Karena aku hanya ingin sekarang, hari ini saja.”
“Kenapa?”
“Karena hanya ini yang bisa kupandang dengan jelas.”
“Besok?”
“Biarlah esok menjadi esok.”
“Kalau begitu aku harus pergi.”
“Kenapa?” Gadis itu ganti bertanya kepadaku.
“Karena waktuku habis.”
“Kenapa?”
“Karena aku harus mencari esok.”
“Kenapa?”
“Karena esok menyimpan sisa waktu yang lainnya.”
Akupun berdiri, kembali memandang esok yang kini melambai-lambai kepadaku. Gadis itu hanya memandangku, dengan tatapan mata yang tak menutup diri untuk bicara.
“Kapan kita bertemu lagi?”
“Sampai waktuku tiba, tentu saja.”
“Esok?”
Aku diam, mempertimbangkan pertanyaanya.
“Atau mungkin esoknya lagi.”***
Ario Sasongko