Ario sasongko
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya

Surga Dimana

27/12/2010

0 Comments

 
Aku duduk berdua dengannya, di pinggir pantai. Hari ini ombak sedang tak bergelora, hanya angin yang berhembus sangat kencang. Rambut kami berkibar-kibar. Pria di sebelahku adalah seorang yang kukenal sejak kecil, lama kami tak berjumpa, walau kini keadaan sudah berbeda. Kami telah 10 tahun lebih tua dari saat terakhir kami bertemu. Dia sudah banyak berubah, wajahnya pucat tampak tak bahagia. Baru kemarin aku sampai di kampung halaman, hari ini aku tak menyangka untuk bertemu dengannya. Suara ombak sayup-sayup menyelusup ke dalam telinga. Aku menghisap sebatang rokokku.

“Kau ingat, 20 tahun lalu kita selalu bermain di tempat ini.” Ucapnya sambil memandang laut yang luas.
“Ya, masa-masa yang menyenangkan.” Jawabku.
“Bukankah indah jika kita hidup tanpa beban seperti itu? Pulang dengan pakaian basah, bermain dan menyisakan kesenangan untuk esok.”
“Tentu, walau saat ini, semua hanya menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.”Balasku.
“Kau ingat? Waktu itu kau tak pernah dapat mengalahkanku, Kadang-kadang kau pulang sambil menangis kesal.” Ucapnya.

Kami berpandangan sejenak, lalu tertawa kecil. Sejenak kami terdiam, masing-masing kepala kami mulai membayangkan masa-masa indah dahulu.

“Apa yang kau lakukan di Jakarta?” Tanya dia kepadaku.
Aku berpikir sejenak.
“Hmmm, bekerja, merindukan pantai, merindukan aroma air laut.” Jawabku.
“Ya, sayangnya keadaan sudah jauh berbeda dari yang dulu.” Balasnya.
“Kupikir juga demikian, keadaan jadi begitu lengang. Terkadang aku masih melihat kesedihan di wajah semua orang. Bukankah kejadian itu sudah 2 tahun yang lalu?”
Dia mengangguk kepadaku.
“Mengapa kau tak segera kembali setelah kejadian itu? aku menantimu kau tahu?” Dia bertanya kepadaku.
“Maaf, aku bekerja, tapi aku bukan satu-satunya orang yang harus kau rindukan.”
“Maksudmu Yuli? Dan Iqbal anakku?”
“Ya, beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan istri dan anakmu itu.”
“Aku juga merindukan mereka.” Ucapnya. Aku tak bertanya mengapa dia tak menemui anak dan istrinya, aku sudah tahu jawabannya.

Kami hanya terdiam, sejenak keadaan menjadi hening, tak ada suara debur ombak, tak ada suara gemuruh angin di telinga.

“Apakah kau belum menikah?” Dia bertanya, memecahkan keheningan. Aku hanya tersenyum kecil.
“Ternyata kau masih seorang Sas yang kukenal dahulu.” Lanjutnya.
“Entahlah, aku rasa aku masih belum mengerti cinta.” Balasku.
“Bukankah cinta memang untuk dirasa bukan dimengerti?”
Aku tertawa mendengar ucapannya, dia masih Musa yang kukenal dahulu.
“Ya, walau kau dewa cinta, tapi aku yang mudah mendapatkan wanita.” Balasku.
“Aku mengaku kalah kalau soal yang satu itu.” Ucapnya sambil tertawa. Aku tersenyum kecil, kami kembali terdiam.

“Musa, apa kau masih ingat tentang impian kita?” Tanyaku.
“Impian? seperti alasanmu untuk pergi ke Jakarta?”
“Ya, dan khayalanmu untuk membelah lautan, seperti seorang Musa.” Jawabku.
“Ayolah Sas, itu hanya khayalanku sewaktu kecil.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku memandangnya dari sudut mataku. Aku memandangnya dengan tajam.
“Kau tahu, aku berhasil mewujudkan impianku. Aku dapat hidup bahagia di Jakarta, mengapa saat itu kau tak benar-benar membelah lautan?” Ucapku. Musa hanya menunduk diam.
“Bukankah saat itu adalah kesempatan terakhirmu untuk mewujudkan impian?” lanjutku kemudian.
“Sas, ayolah, membelah lautan bukan benar-benar impianku.” Jawabnya. Aku masih memandangnya. Dia membakar sebatang rokok.
“Seandainya saat itu kau benar-benar membelah lautan. Demi tuhan, untuk pertama kalinya, aku berharap agar khayalanmu menjadi kenyataan”
“Sudah! Cukup! Sas! ini takdir! ini takdir!” Ucapnya setengah berteriak, sambil berdiri. Aku agak terpicing memandangnya. Kemudian aku ikut berdiri, kami berhadapan.
“Apa kau tahu bagaimana sedihnya istrimu? Ingat akan janjimu untuk membahagiakannya? dia mencintaimu!” Teriakku kepadanya.
 “Aku juga tak mau pergi di hari keparat itu! Aku juga berharap kalau saat itu aku ada di sampingnya! Aku tak mau kehilangan dia!”

Wajahku memerah, dia kembali duduk di atas pasir. Aku memandangnya, seperti memojokkannya. Kemudian aku kembali duduk di sampingnya. Kami hanya terdiam. Aku tahu, aku harus mengucapkan sesuatu.

“Maaf.” Ucapku kepadanya, dia hanya terdiam.
“Beban Yuli terlalu berat, dia harus menghidupi anak kalian. Dia masih sangat merindukanmu.” Ucapku kemudian.
“Apa yang harus kulakukan? Seandainya aku mampu membelah lautan, Sas, aku bukan Nabi! Aku tak punya keajaiban.“ Ujarnya.
“Apa kau memang harus pergi?” Tanyaku.
“Sas, ini takdir, ini takdir.” Dia memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

*************

Siang itu, beberapa jam sebelum perbincanganku dengan Musa sahabatku, aku berdiri di depan rumahnya. Seorang anak laki-laki berumur 7 tahun berlari keluar. Aku tahu, dia Iqbal anak satu-satunya sahabatku. Aku menyapanya, menanyakan apakah ibunya sedang ada di rumah. Beberapa menit kemudian, aku sudah ada di ruang tamu, duduk di lantai, karena memang tak ada kursi, apalagi sofa. Yuli tampak lebih kurus dari yang kubayangkan, pipinya cekung, tatapan matanya kosong, rambutnya panjang berombak tak tertata. Dia sedikit terkejut menatapku, seketika itu juga matanya berkaca-kaca. Dia langsung mengusap air mata yang tak mampu dibendungnya, sepertinya dia tak ingin terlihat sedih di depan anaknya, Iqbal. Kami berbincang seolah tak ada apa-apa, Yuli mencoba tersenyum, namun terlihat dipaksakan. Setelah Iqbal pergi, wajah Yuli kembali sendu.

“Bagaimana perasaanmu?” Tanyaku.
“Yah, begitulah, tentu kau mengerti bagaimana aku mencintainya.” Jawab Yuli kepadaku.
“Apa jenazahnya masih belum ditemukan?” Tanyaku lagi. Yuli menggeleng perlahan.
“Maaf, aku tak mampu melakukan apa-apa.” Ucapku. Yuli hanya terdiam.
“Sampai saat ini semua masih terlalu berat. Aku masih merindukannya, aku masih menulis namanya di tembok kamarku” Ucap Yuli, tiba-tiba.
“Apakah yang seperti itu cinta sejati?” Tanyaku.
“Sas, apakah kau masih mencintai lautan? Apakah kau masih mencintai pantai?” Tanya Yuli kepadaku.

Aku terdiam, kemudian mengangguk dengan ragu.

“Kau ingat pantai tempat kau dan suamiku sering bermain ketika kecil?” Tanya Yuli. Aku mengangguk kembali.
“Di sana dia tewas, laut dan pantai yang begitu kalian cintai telah merenggut nyawanya.” Ucap Yuli. Aku terdiam, kami terdiam. Yuli kembali tertunduk, air matanya menetes, kali ini dia tak segera menyekanya.
“Saat ini aku tahu, dia masih begitu mencintai lautan. Aku tahu, kalian masih mencintai pantai. Apa itu cinta sejati? Seperti cintaku padanya.” Ucap Yuli dengan suara yang bergetar. Lagi-lagi aku hanya terdiam.

*************

Beberapa saat sebelum perbincanganku dengan Musa. Aku duduk seorang diri, di pinggir pantai. Hari ini ombak sedang tak bergelora, hanya angin yang berhembus sangat kencang. Rambutku berkibar-kibar. Seandainya saat ini Musa sedang duduk di sampingku. Seandainya saat ini kami dapat mengenang masa-masa indah kami ketika kecil, bermain bersama ombak, berlari di atas pasir yang lembut. Seandainya aku dapat bertanya kepadanya, mengenai alasan mengapa dia harus pergi. Seandainya dia benar-benar seorang Musa yang mampu membelah lautan. Mungkin saat itu nyawanya dapat terselamatkan. Saat ini aku benar-benar berharap, jika saja dia ada di sebelahku, jika saja kami masih dapat bertemu, kembali bernyanyi bersama. Namun segalanya memang harus berubah, walau aku masih sangat berharap, jika saja saat ini, dia sedang duduk di sampingku, dan berbincang walau untuk yang terakhir kalinya.

Ario Sasongko
0 Comments



Leave a Reply.

    RSS Feed

    The Web Ask Ario Sasongko

    Archives

    September 2015
    July 2013
    December 2011
    November 2011
    August 2011
    December 2010

Powered by Create your own unique website with customizable templates.
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya