Teriakan itu menyelinap di antara gerbong-gerbong kereta yang sedang meluncur deras di atas lintasan. Hari minggu dan setiap gerbong memang tidak sepenuh hari biasanya. Mungkin itu pula yang menyebabkan teriakan ini begitu nyaring terdengar, teriakan agak parau tertahan, lebih ringkih dari derit suara gerbong kereta tua yang kutumpangi. Aku baru saja menaiki kereta ini, beberapa penumpang di gerbong keretaku mulai menoleh dengan refleks ke arah sumber suara, wajah mereka tentu saja bertanya-tanya. Beberapa penjual yang sering melintas di gerbong kereta juga menghentikan kegiatan mereka. Teriakan ini tampaknya sudah berhasil menarik kami dari dunia yang ada di pikiran masing-masing.
Seorang Ibu setengah baya, rambutnya panjang sebahu diikat dengan karet gelang, tubuhnya gemuk dan hanya mengenakan daster. Wajahnya terlihat sangat putih pucat, walau sebenarnya dia berkulit sawo matang. Keringat meleler dari dahinya, membasahi muka, dan terkadang dia berkedip untuk mencegah keringat memasuki mata. Tubuhnya terlihat gontai, tatapan matanya sayu namun menerawang ke seisi gerbong kereta yang kutumpangi. Beberapa penumpang lain menyusul kehadiran Ibu setengah baya di gerbong kereta ini. Beberapa penumpang di gerbongku, berdiri dan berjalan agak cepat menghampirinya, sepertinya firasat mereka cukup kuat untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, sang Ibu seperti memandang wajah para penumpang dengan penuh harap. Rasa ingin tahuku sebenarnya cukup besar, namun aku menahan diri dan hanya memperhatikan Ibu ini dari tempat dudukku saja.
Seorang Ibu setengah baya, rambutnya panjang sebahu diikat dengan karet gelang, tubuhnya gemuk dan hanya mengenakan daster. Wajahnya terlihat sangat putih pucat, walau sebenarnya dia berkulit sawo matang. Keringat meleler dari dahinya, membasahi muka, dan terkadang dia berkedip untuk mencegah keringat memasuki mata. Tubuhnya terlihat gontai, tatapan matanya sayu namun menerawang ke seisi gerbong kereta yang kutumpangi. Beberapa penumpang lain menyusul kehadiran Ibu setengah baya di gerbong kereta ini. Beberapa penumpang di gerbongku, berdiri dan berjalan agak cepat menghampirinya, sepertinya firasat mereka cukup kuat untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, sang Ibu seperti memandang wajah para penumpang dengan penuh harap. Rasa ingin tahuku sebenarnya cukup besar, namun aku menahan diri dan hanya memperhatikan Ibu ini dari tempat dudukku saja.
“Lihat orang yang bawa tas coklat?!”
Ibu itu mulai bertanya dengan agak histeris, dia semakin tidak bisa mengatur nafasnya. Sementara para penumpang yang berada di sekelilingnya, mulai saling berpandangan, beberapa menggeleng. Seorang wanita yang kebetulan juga membawa tas berwarna cokelat, dengan refleks agak memeluk erat tasnya. Seorang pria melihat gelagat wanita tadi, dan menunjuk ke arah wanita tersebut.
“Ini tas Ibu bukan?!”
Tentu saja sang wanita yang dituduh ini bereaksi.
“Situ jangan asal tuduh!”
Ibu tadi memandang tas yang dimaksud, kemudian menggeleng perlahan, agak kecewa juga tampaknya. Sementara pria tadi langsung meminta maaf kepada wanita yang dituduhnya.
“Emang ada apa Bu?” Seorang penumpang mulai merasa ingin tau duduk perkara yang terjadi.
Tatapan sang ibu mulai menerawang kosong ke depan, seolah-olah ingin memunculkan proyeksi gambaran tentang apa yang baru saja terjadi dengan dirinya.
“Saya habis pinjam uang di bogor, lima juta. Uang untuk berobat anak saya di rumah sakit.”
“Terus? Hilang?” Penumpang lain mencoba mengambil kesimpulan.
Ibu itu mengangguk.
“Uangnya saya taruh di tas. Tadi saya ketiduran, saya capek, banyak pikiran, belom makan. Pas saya bangun, tas saya sudah hilang.”
Kabar naas semacam ini membuat para penumpang saling berpandangan. Beberapa ada yang mengelus punggung sang ibu, mungkin berusaha untuk menenangkan. Sementara, sang ibu semakin terbawa suasana, air mata itu mulai meleler di pipinya, nafasnya juga mulai sesegukan. Beberapa penumpang kemudian menggiring sang ibu untuk duduk di bangku yang masih kosong. Sang ibu mulai mengelap air mata di pipinya menggunakan telapak tangan.
“Padahal uang itu boleh pinjam.”
Pernyataan itu kembali mendorong kelenjar air mata yang terangsang rasa sedih sekaligus putus asa. Beberapa penumpang mulai menggeleng perlahan, ada yang ikut berkaca-kaca, ada yang tampak kesal, ada pula yang memberikan tissu kepada sang ibu.
“Kenapa saya, ya Gusti Allah? Uang saya sudah habis semuanya, rumah saya sudah kosong, semua sudah saya gadai buat berobat anak saya. Buat naik bus aja saya sudah enggak punya uang.”
Ucapan memelas bertema ketuhanan itu terus mengalir, layaknya sebuah monolog di atas panggung yang gelap, dan satu lampu sorot ke seorang tokoh di atas panggung. Kami, seharusnya kami adalah penonton yang duduk nyaman di depan panggung, memaknai kata demi kata yang diucapkan sang Ibu, menyoba menghayati rasa iba dari nasib rekaan yang diucapkannya. Namun dalam kehidupan nyata, saat ini kami seperti para pemain pendukung di atas panggung, berdiri mengelilingi sang Ibu, memberikan penghayatan kami untuk menyunjukkan rasa iba melalui gestur-gestur yang kami imitasi dari dunia ide. Dalam dunia nyata, kami adalah sebuah kesatuan dramaturgi yang saling mendukung satu sama lain, kami adalah peran-peran yang mendukung monolog tentang nasib buruk dan rasa iba.
Seorang penumpang membeli sebotol air mineral dari penjual yang ikut menyaksikan hal ini. Sang penjual yang tadinya sempat terhanyut sejenak oleh kisah malang yang disaksikannya, kemudian terkesiap dan dengan cekatan mengambil sebotol air mineral dari tempat barang dagangannya. Air mineral itu kemudian diberikan kepada sang ibu yang langsung meminumnya.
“Sekarang ibu mau kemana?”
“Ke rumah sakit.”
Ibu itu terdiam sejenak, air mata mulai kembali mengalir.
“Saya sudah nggak tau gimana cara nolong anak saya. Ongkos ke rumah sakit aja sudah ngga punya.”
Ratapan itu disusul dengan tangis yang semakin meraung-raung. Siapalah yang bisa menerka nasib manusia, entah dengan Tuhan. Mengapa nasib buruk dan baik itu seperti sebuah lotere nasib yang diundi secara acak dan berlaku untuk siapa saja. Dari semua orang yang memiliki uang minimal sejumlah lima juta rupiah, mengapa harus Ibu ini yang kehilangan lima juta rupiah miliknya? Kenapa bukan lima juta rupiah milik seorang pria yang tak sengaja menemukan uang itu di toilet sebuah mall? Kenapa bukan lima juta rupiah milik seorang pejudi sepak bola yang baru saja memenangkan uang itu? Atau kenapa bukan lima juta rupiah milik anak pejabat yang setelah kehilangan uang itu, bisa dengan mudah mengambil lima juta rupiah lainnya di rekening bank miliknya?
Para penumpang mulai menggumamkan rasa iba mereka, mereka kembali saling berpandangan. Dalam drama ini, naskah kehidupan telah menggerakkanku untuk berdiri dan mulai ikut berbaur bersama kerumunan itu. Ya, rasanya rasa iba telah dengan suka rela berhasil menyentuh sesuatu di dalam hatiku. Beberapa penumpang lainnya, mencoba menenangkan sang ibu dengan kalimat-kalimat ketuhanan. Seorang penumpang mulai merogoh kantongnya, dan mengambil selembar uang lima ribu rupiah, beberapa penumpang mulai mengikutinya, dan dalam waktu yang singkat mereka sudah mulai mengumpulkan uang untuk diberikan kepada sang ibu. Aku mulai tertarik dengan situasi ini, dan semakin memperhatikan mereka. Sementara, pria di sebelahku berdecak kesal. Dia itu menyelinap di antara kerumunan yang mengelilingi sang ibu.
“Emang enggak ngurus surat miskin di rumah sakit?”
Pertanyaan itu terdengar dingin, membuat beberapa penumpang memandangnya dengan heran. Sementara, sang ibu masih menangis, seperti memohon rasa iba, sambil memandang pria tersebut.
“Saya sudah urus, tapi enggak ada tanggapan. Rumah saya di Karawang pak, saya aja nggak punya uang buat pulang. Percuma ngandelin pemerintah, anak saya bisa keburu mati.”
Pria itu kembali mendecak kesal, dia bertolak pinggang.
“Maaf-maaf Bu, saya ini pegawai negeri. Saya pernah juga ketemu orang seperti Ibu. Pura-pura anaknya masuk rumah sakit, enggak punya duit, terus mulai nyalahin pemerintah segala. Nanti ujung-ujungnya minta duit! Bu, kalo nyari nafkah yang halal-lah, jangan nipu orang!”
Penumpang yang lain mulai menggumam dengan gaduh ketika mendengar pernyataan itu. Mereka mulai meragukan rasa iba yang mereka rasakan kepada sang ibu. Seorang wanita muda agaknya tidak setuju dengan penyataan itu.
“Pak, kalo nuduh kira-kira dong pak! Enggak liat apa Ibu ini udah kesusahan, jangan nuduh macem-macem!”
Kali ini para penumpang kembali ragu, mereka seperti ada di awang-awang antara meragukan rasa iba atau merasa sepenuhnya iba terhadap Ibu yang memang tampak baru mengalami musibah ini.
“Astagfurllah hal adziim! Sumpah demi Allah pak, saya nggak bohong. Saya.”
Ibu itu tak mampu menelesaikan kalimatnya, dan kembali hanyut dalam tangisnya. Pria yang menuduhnya, menggeleng dengan kesal.
“Ah, ini sama aja kaya’ tukang ngamen di metromini, ngaku-ngaku abis kena PHK, ngga diterima kerja dimana-mana, terus minta dikasih sumbangan!”
Beberapa penumpang mulai merasa tersadar dengan komentar tersebut. Mereka seolah menyadari kalau mereka pernah melihat pemandangan seperti yang diilustrasikan pria tadi. Beberapa mengambil kembali uang mereka, dan memasukkannya, bersarang ke dalam saku mereka yang nyaman. Sementara, air mata sang Ibu seperti tak ada habisnya, terus meleler di pipi, berjatuhan di atas daster dan lempengan lantai besi tua yang terus berderat pilu di atas lintasan rel kereta. Kepalanya menggeleng-geleng tidak terima, nafasnya mulai sesegukan. Ah, aku tak sanggup menyingkirkan rasa iba yang masih memeluk erat hatiku, sementara nalarku juga terus menggoda logika untuk mengakui bahwa semua hanyalah naskah tua tentang imitasi rasa iba.
“Sa..saya, Sa..saya.”
“Emang anak kamu sakit apa?”
Pria itu memotong ucapan terbata-bata sang Ibu, sementara pertanyaan itu hanya dijawab dengan nafas berat terpatah-patah, seperti tak sanggup untuk bicara. Ibu itu kemudian bersandar dengan tersengal, dan memegang dadanya sambil terpejam. Beberapa penumpang merasa tidak tega melihat permainan peran sang ibu yang indah dan sangat nyata. Sebotol air minum yang tadi dibelikan, kembali disodorkan. Sang ibu memegangnya sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan, dan mulai meminum air itu.
“Semoga Tuhan memaafkan bapak.”
Pria itu tertawa kecil dengan senyuman yang memicing, menyindir ucapan itu.
“Semoga Tuhan menyadarkan Ibu.”
“Kalo mau nyari uang yang halal lah Bu. Ibukan masih punya tenaga, Ibu bisa kerja, ya apa aja, asal halal.”
Ibu itu menggeleng pilu mendengar ucapan pria tersebut. Entah bagaimana, segala tuduhan itu seperti menjadi hambar ketika memandang gestur sang ibu yang sedemikian rupa mampu menguapkan segala prasangka menjadi iba. Namun kepalaku seolah tetap memandang segalanya dalam sudut pandang lain, dalam harga diri yang sekaligus tidak ingin dibodohi oleh iba. Ada apa sebenarnya dengan kota ini, mengapa setiap manusia tak bisa menerima manusia lain begitu saja, tidak sesederhana kata percaya. Tesis dan anti tesis di hadapanku ini seperti sebuah drama baru yang membawa kekacauan dalam monolog drama iba yang tadinya bahkan sudah menghanyutkan kami para pemeran pendukung. Dan kini kami seperti manusia-manusia tanpa petunjuk yang dilempar begitu saja ke atas dunia manusia. Kami seperti pemeran yang naik ke atas panggung, tanpa naskah, memandang kekacauan bahtera nuh yang hampir datang, dan harus memutuskan siapa-siapa yang pantas naik ke atas kapal yang luar biasa megahnya.
Kami semua terdiam, untuk sementara hanya suara gemuruh angin yang memberontak di antara jendela kereta yang dapat kami dengar. Lalu segerombolan tukang ngamen memasuki gerbong, dengan alat-alat musik mereka ibarat senjata untuk terjun ke medan pertempuran. Kacau balau suara kemudian bergumul menjadi satu, teriakan si vokalis, suara gemuruh angin, ibu yang kembali menangis menjadi-jadi, suara gitar, teriakan sang vokalis, gemuruh angin, suara ibu yang meraung-raung, suara gerbong tua yang berdecit keras saat rel kereta berbelok ke sebuah arah, suara kehidupan. Kurasakan, kereta semakin mengurangi kecepatan, suara decit rem yang panjang kemudian meluncur sepanjang rel itu, dan akhirnya aku tiba di stasiun tujuan.
Aku harus turun di stasiun ini, walau benakku masih menyimpan pertanyaan tentang akhir dari pertunjukkan panggung di atas kereta. Sejenak aku memandang lekat-lekat wajah sang ibu yang mesra sekali dengan kesedihan nasibnya. Ah, aku sendiri masih berada di awang-awang antara iba, percaya dan prasangka. Sudahlah, aku memutuskan untuk turun dari gerbong kereta ini. Tak beberapa lama, aku berdiri di peron stasiun, memandang kereta itu yang berdengung sengau, sebelum kemudian kembali berjalan, perlahan, perlahan, semakin cepat, dan tak lama kemudian sudah hilang dari pandangan. Entah kemana kereta pertunjukkan itu akan membawa para pemeran di dalamnya.
******
Gerbong tua kereta ini bergoyang-goyang, seperti tarian lincah namun usang di atas lintasan rel yang membawa pemandangan kota Jakarta. Entah sudah berapa lama sejak drama pertunjukkan yang dulu kualami di atas kereta yang berbeda. Suara kereta yang parau ini gaduh menyelisip ke telinga, setiap kali aku hampir melamun. Suara gaduh itu kemudian terpecahkan oleh teriakan seorang pria, yang masuk tanpa permisi di antara telinga-telinga kami yang berada di gerbong yang sama. Kemudian, muncul seorang pria setengah baya, Wajahnya tembam, berkumis agak tebal, tubuhnya gempal. Keringat tampak meleler di wajah dan lehernya, nafasnya tersengal-sengal, wajahnya penuh harap memandang kesana kemari seperti mencari sesuatu. Aku kenal wajah itu, tidak, aku ingat wajah pria ini. Dialah pria yang waktu itu membuatku merasa ragu akan iba yang kuberikan pada seorang ibu. Dialah pria yang dengan lantang menyangsikan nasib malang seorang ibu di sebuah kereta ekonomi dalam kota. Dia pria yang mengacaukan dramaturgi pementasan monolog tentang drama rasa iba. Ya dia pria itu, aku sudah tidak ragu.
“Lihat orang bawa tas hitam?!” Pria itu kemudian berteriak dengan cemas.
Oh, tidak.
Ario Sasongko
Ibu itu mulai bertanya dengan agak histeris, dia semakin tidak bisa mengatur nafasnya. Sementara para penumpang yang berada di sekelilingnya, mulai saling berpandangan, beberapa menggeleng. Seorang wanita yang kebetulan juga membawa tas berwarna cokelat, dengan refleks agak memeluk erat tasnya. Seorang pria melihat gelagat wanita tadi, dan menunjuk ke arah wanita tersebut.
“Ini tas Ibu bukan?!”
Tentu saja sang wanita yang dituduh ini bereaksi.
“Situ jangan asal tuduh!”
Ibu tadi memandang tas yang dimaksud, kemudian menggeleng perlahan, agak kecewa juga tampaknya. Sementara pria tadi langsung meminta maaf kepada wanita yang dituduhnya.
“Emang ada apa Bu?” Seorang penumpang mulai merasa ingin tau duduk perkara yang terjadi.
Tatapan sang ibu mulai menerawang kosong ke depan, seolah-olah ingin memunculkan proyeksi gambaran tentang apa yang baru saja terjadi dengan dirinya.
“Saya habis pinjam uang di bogor, lima juta. Uang untuk berobat anak saya di rumah sakit.”
“Terus? Hilang?” Penumpang lain mencoba mengambil kesimpulan.
Ibu itu mengangguk.
“Uangnya saya taruh di tas. Tadi saya ketiduran, saya capek, banyak pikiran, belom makan. Pas saya bangun, tas saya sudah hilang.”
Kabar naas semacam ini membuat para penumpang saling berpandangan. Beberapa ada yang mengelus punggung sang ibu, mungkin berusaha untuk menenangkan. Sementara, sang ibu semakin terbawa suasana, air mata itu mulai meleler di pipinya, nafasnya juga mulai sesegukan. Beberapa penumpang kemudian menggiring sang ibu untuk duduk di bangku yang masih kosong. Sang ibu mulai mengelap air mata di pipinya menggunakan telapak tangan.
“Padahal uang itu boleh pinjam.”
Pernyataan itu kembali mendorong kelenjar air mata yang terangsang rasa sedih sekaligus putus asa. Beberapa penumpang mulai menggeleng perlahan, ada yang ikut berkaca-kaca, ada yang tampak kesal, ada pula yang memberikan tissu kepada sang ibu.
“Kenapa saya, ya Gusti Allah? Uang saya sudah habis semuanya, rumah saya sudah kosong, semua sudah saya gadai buat berobat anak saya. Buat naik bus aja saya sudah enggak punya uang.”
Ucapan memelas bertema ketuhanan itu terus mengalir, layaknya sebuah monolog di atas panggung yang gelap, dan satu lampu sorot ke seorang tokoh di atas panggung. Kami, seharusnya kami adalah penonton yang duduk nyaman di depan panggung, memaknai kata demi kata yang diucapkan sang Ibu, menyoba menghayati rasa iba dari nasib rekaan yang diucapkannya. Namun dalam kehidupan nyata, saat ini kami seperti para pemain pendukung di atas panggung, berdiri mengelilingi sang Ibu, memberikan penghayatan kami untuk menyunjukkan rasa iba melalui gestur-gestur yang kami imitasi dari dunia ide. Dalam dunia nyata, kami adalah sebuah kesatuan dramaturgi yang saling mendukung satu sama lain, kami adalah peran-peran yang mendukung monolog tentang nasib buruk dan rasa iba.
Seorang penumpang membeli sebotol air mineral dari penjual yang ikut menyaksikan hal ini. Sang penjual yang tadinya sempat terhanyut sejenak oleh kisah malang yang disaksikannya, kemudian terkesiap dan dengan cekatan mengambil sebotol air mineral dari tempat barang dagangannya. Air mineral itu kemudian diberikan kepada sang ibu yang langsung meminumnya.
“Sekarang ibu mau kemana?”
“Ke rumah sakit.”
Ibu itu terdiam sejenak, air mata mulai kembali mengalir.
“Saya sudah nggak tau gimana cara nolong anak saya. Ongkos ke rumah sakit aja sudah ngga punya.”
Ratapan itu disusul dengan tangis yang semakin meraung-raung. Siapalah yang bisa menerka nasib manusia, entah dengan Tuhan. Mengapa nasib buruk dan baik itu seperti sebuah lotere nasib yang diundi secara acak dan berlaku untuk siapa saja. Dari semua orang yang memiliki uang minimal sejumlah lima juta rupiah, mengapa harus Ibu ini yang kehilangan lima juta rupiah miliknya? Kenapa bukan lima juta rupiah milik seorang pria yang tak sengaja menemukan uang itu di toilet sebuah mall? Kenapa bukan lima juta rupiah milik seorang pejudi sepak bola yang baru saja memenangkan uang itu? Atau kenapa bukan lima juta rupiah milik anak pejabat yang setelah kehilangan uang itu, bisa dengan mudah mengambil lima juta rupiah lainnya di rekening bank miliknya?
Para penumpang mulai menggumamkan rasa iba mereka, mereka kembali saling berpandangan. Dalam drama ini, naskah kehidupan telah menggerakkanku untuk berdiri dan mulai ikut berbaur bersama kerumunan itu. Ya, rasanya rasa iba telah dengan suka rela berhasil menyentuh sesuatu di dalam hatiku. Beberapa penumpang lainnya, mencoba menenangkan sang ibu dengan kalimat-kalimat ketuhanan. Seorang penumpang mulai merogoh kantongnya, dan mengambil selembar uang lima ribu rupiah, beberapa penumpang mulai mengikutinya, dan dalam waktu yang singkat mereka sudah mulai mengumpulkan uang untuk diberikan kepada sang ibu. Aku mulai tertarik dengan situasi ini, dan semakin memperhatikan mereka. Sementara, pria di sebelahku berdecak kesal. Dia itu menyelinap di antara kerumunan yang mengelilingi sang ibu.
“Emang enggak ngurus surat miskin di rumah sakit?”
Pertanyaan itu terdengar dingin, membuat beberapa penumpang memandangnya dengan heran. Sementara, sang ibu masih menangis, seperti memohon rasa iba, sambil memandang pria tersebut.
“Saya sudah urus, tapi enggak ada tanggapan. Rumah saya di Karawang pak, saya aja nggak punya uang buat pulang. Percuma ngandelin pemerintah, anak saya bisa keburu mati.”
Pria itu kembali mendecak kesal, dia bertolak pinggang.
“Maaf-maaf Bu, saya ini pegawai negeri. Saya pernah juga ketemu orang seperti Ibu. Pura-pura anaknya masuk rumah sakit, enggak punya duit, terus mulai nyalahin pemerintah segala. Nanti ujung-ujungnya minta duit! Bu, kalo nyari nafkah yang halal-lah, jangan nipu orang!”
Penumpang yang lain mulai menggumam dengan gaduh ketika mendengar pernyataan itu. Mereka mulai meragukan rasa iba yang mereka rasakan kepada sang ibu. Seorang wanita muda agaknya tidak setuju dengan penyataan itu.
“Pak, kalo nuduh kira-kira dong pak! Enggak liat apa Ibu ini udah kesusahan, jangan nuduh macem-macem!”
Kali ini para penumpang kembali ragu, mereka seperti ada di awang-awang antara meragukan rasa iba atau merasa sepenuhnya iba terhadap Ibu yang memang tampak baru mengalami musibah ini.
“Astagfurllah hal adziim! Sumpah demi Allah pak, saya nggak bohong. Saya.”
Ibu itu tak mampu menelesaikan kalimatnya, dan kembali hanyut dalam tangisnya. Pria yang menuduhnya, menggeleng dengan kesal.
“Ah, ini sama aja kaya’ tukang ngamen di metromini, ngaku-ngaku abis kena PHK, ngga diterima kerja dimana-mana, terus minta dikasih sumbangan!”
Beberapa penumpang mulai merasa tersadar dengan komentar tersebut. Mereka seolah menyadari kalau mereka pernah melihat pemandangan seperti yang diilustrasikan pria tadi. Beberapa mengambil kembali uang mereka, dan memasukkannya, bersarang ke dalam saku mereka yang nyaman. Sementara, air mata sang Ibu seperti tak ada habisnya, terus meleler di pipi, berjatuhan di atas daster dan lempengan lantai besi tua yang terus berderat pilu di atas lintasan rel kereta. Kepalanya menggeleng-geleng tidak terima, nafasnya mulai sesegukan. Ah, aku tak sanggup menyingkirkan rasa iba yang masih memeluk erat hatiku, sementara nalarku juga terus menggoda logika untuk mengakui bahwa semua hanyalah naskah tua tentang imitasi rasa iba.
“Sa..saya, Sa..saya.”
“Emang anak kamu sakit apa?”
Pria itu memotong ucapan terbata-bata sang Ibu, sementara pertanyaan itu hanya dijawab dengan nafas berat terpatah-patah, seperti tak sanggup untuk bicara. Ibu itu kemudian bersandar dengan tersengal, dan memegang dadanya sambil terpejam. Beberapa penumpang merasa tidak tega melihat permainan peran sang ibu yang indah dan sangat nyata. Sebotol air minum yang tadi dibelikan, kembali disodorkan. Sang ibu memegangnya sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan, dan mulai meminum air itu.
“Semoga Tuhan memaafkan bapak.”
Pria itu tertawa kecil dengan senyuman yang memicing, menyindir ucapan itu.
“Semoga Tuhan menyadarkan Ibu.”
“Kalo mau nyari uang yang halal lah Bu. Ibukan masih punya tenaga, Ibu bisa kerja, ya apa aja, asal halal.”
Ibu itu menggeleng pilu mendengar ucapan pria tersebut. Entah bagaimana, segala tuduhan itu seperti menjadi hambar ketika memandang gestur sang ibu yang sedemikian rupa mampu menguapkan segala prasangka menjadi iba. Namun kepalaku seolah tetap memandang segalanya dalam sudut pandang lain, dalam harga diri yang sekaligus tidak ingin dibodohi oleh iba. Ada apa sebenarnya dengan kota ini, mengapa setiap manusia tak bisa menerima manusia lain begitu saja, tidak sesederhana kata percaya. Tesis dan anti tesis di hadapanku ini seperti sebuah drama baru yang membawa kekacauan dalam monolog drama iba yang tadinya bahkan sudah menghanyutkan kami para pemeran pendukung. Dan kini kami seperti manusia-manusia tanpa petunjuk yang dilempar begitu saja ke atas dunia manusia. Kami seperti pemeran yang naik ke atas panggung, tanpa naskah, memandang kekacauan bahtera nuh yang hampir datang, dan harus memutuskan siapa-siapa yang pantas naik ke atas kapal yang luar biasa megahnya.
Kami semua terdiam, untuk sementara hanya suara gemuruh angin yang memberontak di antara jendela kereta yang dapat kami dengar. Lalu segerombolan tukang ngamen memasuki gerbong, dengan alat-alat musik mereka ibarat senjata untuk terjun ke medan pertempuran. Kacau balau suara kemudian bergumul menjadi satu, teriakan si vokalis, suara gemuruh angin, ibu yang kembali menangis menjadi-jadi, suara gitar, teriakan sang vokalis, gemuruh angin, suara ibu yang meraung-raung, suara gerbong tua yang berdecit keras saat rel kereta berbelok ke sebuah arah, suara kehidupan. Kurasakan, kereta semakin mengurangi kecepatan, suara decit rem yang panjang kemudian meluncur sepanjang rel itu, dan akhirnya aku tiba di stasiun tujuan.
Aku harus turun di stasiun ini, walau benakku masih menyimpan pertanyaan tentang akhir dari pertunjukkan panggung di atas kereta. Sejenak aku memandang lekat-lekat wajah sang ibu yang mesra sekali dengan kesedihan nasibnya. Ah, aku sendiri masih berada di awang-awang antara iba, percaya dan prasangka. Sudahlah, aku memutuskan untuk turun dari gerbong kereta ini. Tak beberapa lama, aku berdiri di peron stasiun, memandang kereta itu yang berdengung sengau, sebelum kemudian kembali berjalan, perlahan, perlahan, semakin cepat, dan tak lama kemudian sudah hilang dari pandangan. Entah kemana kereta pertunjukkan itu akan membawa para pemeran di dalamnya.
******
Gerbong tua kereta ini bergoyang-goyang, seperti tarian lincah namun usang di atas lintasan rel yang membawa pemandangan kota Jakarta. Entah sudah berapa lama sejak drama pertunjukkan yang dulu kualami di atas kereta yang berbeda. Suara kereta yang parau ini gaduh menyelisip ke telinga, setiap kali aku hampir melamun. Suara gaduh itu kemudian terpecahkan oleh teriakan seorang pria, yang masuk tanpa permisi di antara telinga-telinga kami yang berada di gerbong yang sama. Kemudian, muncul seorang pria setengah baya, Wajahnya tembam, berkumis agak tebal, tubuhnya gempal. Keringat tampak meleler di wajah dan lehernya, nafasnya tersengal-sengal, wajahnya penuh harap memandang kesana kemari seperti mencari sesuatu. Aku kenal wajah itu, tidak, aku ingat wajah pria ini. Dialah pria yang waktu itu membuatku merasa ragu akan iba yang kuberikan pada seorang ibu. Dialah pria yang dengan lantang menyangsikan nasib malang seorang ibu di sebuah kereta ekonomi dalam kota. Dia pria yang mengacaukan dramaturgi pementasan monolog tentang drama rasa iba. Ya dia pria itu, aku sudah tidak ragu.
“Lihat orang bawa tas hitam?!” Pria itu kemudian berteriak dengan cemas.
Oh, tidak.
Ario Sasongko