“Kau tau, kalau Hans Christian Andersen[1] pernah berniat bunuh diri di sebuah danau? Tapi niat itu ia batalkan” Ucapnya.
“Kenapa?”
“Saat dia hendak melompat, tiba-tiba ia melihat wajah mendiang neneknya di air danau tersebut.”
“Ada yang bilang, di pantulan air danau ini, terkadang kita juga bisa melihat wajah seseorang yang kita cintai. Berkali-kali, aku mencobanya.” Lanjutnya..
“Lalu, apa yang kau lihat?”
“Wajahmu” Jawabnya, singkat.
“Kenapa?”
“Saat dia hendak melompat, tiba-tiba ia melihat wajah mendiang neneknya di air danau tersebut.”
“Ada yang bilang, di pantulan air danau ini, terkadang kita juga bisa melihat wajah seseorang yang kita cintai. Berkali-kali, aku mencobanya.” Lanjutnya..
“Lalu, apa yang kau lihat?”
“Wajahmu” Jawabnya, singkat.
*****
Sebuah uang koin lagi aku lemparkan ke dalam danau tersebut. Lalu aku menepuk kedua tanganku sebanyak dua kali, sebelum akhirnya aku memejamkan mata, dan berdoa. Aku sangat senang menutup mataku, dan membiarkan kedua telingaku ini bercengkrama dengan alam. Aku bisa mendengar segalanya, gemuruh hilir angin yang menyelinap, seolah membisikkan dongeng tentang bumi dan anak-anak manusia. Kadang aku juga bisa mendengar gesekan daun-daun kering yang berhamburan ketika tertiup angin, suara rumput yang melambai. Bahkan jika aku beruntung, terkadang aku bisa mendengarkan suara biola yang anggun, dengan melodi yang mengingatkanku akan derit pintu tua di rumah nenek, ketika terbuka dan tertutup.
Kau tahu, tak ada seorangpun yang rasanya benar-benar mengetahui masa depan. Karenanyalah kita berharap. Kurasa mungkin itulah yang menyebabkan kita merasa butuh untuk berdoa. Seperti anak kecil yang tak sabar membuka kado di hari ulang tahunnya, bagiku berdoa adalah kesenangan. Manusia pada dasarnya pula adalah seorang yang tak pernah puas, selalu menginginkan hal yang tidak dimilikinya. Oleh sebab itu aku tak pernah berhenti memohon, berharap apa saja, dan terkadang ada saja kebetulan-kebetulan kecil yang tak pernah kita duga sebelumnya, dan dari sanalah doa itu akhirnya terjawab.
Sama saja seperti kesenanganku di danau ini. Kebiasaanku selama 365 hari, menghabiskan sore di pinggir danau, hanya sekedar melempar koin dan berdoa, rupanya mempertemukanku dengan seorang gadis. Sebenarnya kami tak benar-benar saling mengenal, bahkan aku tak tahu namanya. Suatu hari aku menyadari keberadaannya, dia hanya duduk di bangku pinggir danau, menatap kosong ke arah air yang tenang. Paling tidak lima kali dalam seminggu aku melihatnya duduk di bangku itu. Dia selalu membawa kotak makanan yang tak pernah dimakannya. Lalu ketika hari sudah mulai gelap, dia hanya pulang begitu saja, tidak melakukan apa-apa, hanya duduk dan melamun.
Berkali-kali aku ingin mencuri kesempatan, duduk di sebelahnya dan mengajaknya berbincang, sekedar ingin tau apa yang ada dipikirannya. Namun aku tak pernah memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal tersebut. Sampai akhirnya aku mendapat gagasan. Khusus di hari itu aku datang lebih awal, dan duduk di tempat gadis itu biasa menghabiskan waktu. Aku menunggu dan menunggu, tapi dia tak pernah datang. Terus saja demikian, dari hari ke hari. Sampai aku menyadari, kalau setiap aku duduk di bangku itu, dia selalu tidak pernah muncul. Atau, mungkin tidak ingin muncul.
Kupikir waktu juga takkan lama berbaik-baik kepadaku, karenanya di suatu sore yang cerah, aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Seperti tak ada apa-apa, aku berjalan mendekatinya, langkahku ringan, berusaha tersenyum tidak seperti petugas yang hendak menawarkan asuransi. Gadis itu menatapku dingin, tidak menunjukkan air muka untuk menyambut kedatanganku.
“Aku menunggu seseorang.” Itu jawabannya ketika aku hendak duduk di sebelahnya, di bangku itu. Aku tahu dia berbohong, berminggu-minggu aku melihatnya hanya duduk seorang diri. Aku tak perlu mengatakan hal tersebut kepadanya, karena saat hari mulai gelap, kepergiannya yang seorang diri sudah terlalu jujur untuk mengungkapkan hal itu. Mungkin dia adalah tipe orang yang tidak merasa nyaman dengan orang asing, aku mengenal beberapa teman yang seperti itu.
Tapi aku tak kehabisan akal. Esok harinya, sebelum dia duduk di bangku itu, aku menaruh sebuah surat kepadanya. “Lama kelamaan air danau itupun akan beku, jika selalu kau tatap dengan begitu dingin.” Aku melihat dia membacanya, namun seperti mengacuhkan kedatanganku kemarin sore, dia hanya menaruh suratku begitu saja, dan duduk melamun. Aku pikir akupun tak mau menjadi lebah pengganggu. Atu tau betapa menyebalkannya lebah-lebah kecil yang merusak ketenangan kita saat sedang piknik di taman. Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti mencari tahu tentang dirinya, tentang kotak makanan yang tak pernah dia buka, tentang sisi kosong bangku taman di sebelahnya, yang tak pernah mau dia isi.
*****
Kupikir tak ada yang luar biasa dari danau ini, sungguh hanya biasa saja. Tapi sejak dulu, aku senang menghabiskan waktu di sini, duduk di bangku taman yang sama. Air danaunya tenang, sesekali ada saja yang datang untuk memancing, atau keluarga kecil yang menghabiskan waktu hanya sekedar untuk menutup hari. Pohon-pohon besar yang ada di sekitar danau, kurasa mereka lebih tua dari yang terlihat, mungkin berusia 300 tahun, atau lebih, aku tak yakin. Warna rumputnya juga sama, tetap berwarna hijau. Sungguh danau ini memang sama saja seperti danau-danau kota lainnya, tapi aku senang menghabiskan waktu di tempat ini. Walau, berbulan-bulan yang lalu, aku tidak duduk sendiri, tidak seperti sekarang.
Tak semua orang menyukai kenyataan, dan aku termasuk orang yang lebih memilih untuk melamun. Aku tak tahu kapan tepatnya segala hal di dunia ini berubah, tiba-tiba saja, aku baru menyadari kalau segala sesuatu sudah berbeda. Segala hal di sudut-sudut kota ini seolah melambai kepadaku, mengucapkan selamat tinggal, dan mereka tergantikan oleh hal-hal baru yang sama sekali asing bagiku. Mungkin sejak itulah aku melupakan kenyataan, dan sejak itulah aku semakin menyukai tempat ini, duduk melamun, hanya berbincang kepada diriku sendiri.
Aku tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padaku, karena dahulu aku adalah seorang yang berbeda. Dahulu aku banyak berbincang, dengan seorang pria, persis di bangku ini. Dia senang bercerita tentang tokoh penulis dongeng anak-anak, Roald dahl dan Hans Christian Andersen adalah dua tokoh favoritnya. Aku selalu membawakannya kotak makanan, dan kami menghabiskan hari, duduk di bangku taman, tertawa kecil sampai makanan di kotak itu habis. Dahulu aku adalah orang yang percaya kalau sebuah hal kecil bisa memberikan perbedaan di hidup ini. Tapi sekarang tidak lagi, ketimbang mencoba percaya kepada hidup, aku sudah terlanjur sibuk untuk melamun. Pria itupun kini sudah pergi, sudah tidak tinggal di dunia ini lagi, entah di tempat seperti apa dia sekarang. Mungkin sejak itulah aku menjadi seorang yang berbeda.
Semua orang tentu pernah merasakan bagaimana tidak menyenangkannya, ketika kehilangan seseorang yang tidak tergantikan. Seperti yang kukatakan, aku tak ingin semua menjadi berbeda. Karenanya, aku tetap melakukan hal yang sama, setiap sore selalu datang ke tempat ini, membawa kotak makanan, dan duduk melamun. Walau, pernah sesekali aku memohon pada Tuhan, agar dia mengizinkanku untuk menjalani hidup. Aku tak tau bagaimana cara tuhan menjawab doaku, tapi suatu hari aku pernah menemukan seorang pria duduk di bangku taman itu. Saat melihatnya, aku sadar, kalau mungkin suatu saat nanti aku harus bertemu dengan seseorang yang menggantikan tempatnya. Tapi aku tak ingin semua menjadi berbeda, aku tak menyukai orang asing yang bisa saja duduk di sebelahku. Karenanya, selama berhari-hari aku memutuskan untuk tidak pergi ke danau itu, tidak selama ada orang asing yang duduk di bangku tamanku.
Kemarin seorang pria juga datang, dan ingin duduk di sebelahku, “Aku menunggu seseorang” aku terpaksa berbohong saat itu, jelas dia pria yang sama dengan hari-hari lalu. Sebenarnya aku tak tau apa yang dia inginkan. Aku memang menyadari, kalau hampir setiap hari dia juga datang ke tempat ini. Dia senang melempar koin ke danau, lalu menepuk tangannya, memejamkan mata, dan seperti mulai berdoa. Karena pemandangan itulah, sebenarnya aku juga ikut mencoba berdoa, mungkin saja danau ini memiliki mitos untuk mengabulkan doa seseorang. Rasanya nyaman juga ketika memejamkan mata di pinggir danau ini, aku seperti mencoba melihat dunia melalui telingaku. Namun aku lebih suka memandangi air danau. Terlebih ketika hari ini aku melihat sebuah surat di atas bangku tamanku. “Lama kelamaan air danau itupun akan beku, jika selalu kau tatap dengan begitu dingin.” Hanya itu kalimat yang tertera di surat tersebut.
Isi surat itu membuatku teringat akan sebuah kenangan kecil di tempat ini. Suatu hari yang terlihat biasa-biasa saja, aku dan dia sedang duduk sambil memakan makanan yang kubawa. Dia mulai bercerita.
“Kau tau, kalau Hans Christian Andersen pernah berniat bunuh diri di sebuah danau? Tapi niat itu ia batalkan” Ucapnya.
“Kenapa?”
“Saat dia hendak melompat, tiba-tiba ia melihat wajah mendiang neneknya di air danau tersebut.”
“Ada yang bilang, di pantulan air danau ini, terkadang kita juga bisa melihat wajah seseorang yang kita cintai. Berkali-kali, aku mencobanya.” Lanjutnya..
“Lalu, apa yang kau lihat?”
“Wajahmu” Jawabnya, singkat.
Hari itu adalah hari terakhir kami bertemu. Mungkin sejak itulah aku tak bisa berhenti untuk menatap air danau ini.
Ario Sasongko
[1] Penulis dongeng anak-anak, kelahiran Denmark. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain : Itik yang buruk rupa, dan kisah gadis penjual korek api.
Sebuah uang koin lagi aku lemparkan ke dalam danau tersebut. Lalu aku menepuk kedua tanganku sebanyak dua kali, sebelum akhirnya aku memejamkan mata, dan berdoa. Aku sangat senang menutup mataku, dan membiarkan kedua telingaku ini bercengkrama dengan alam. Aku bisa mendengar segalanya, gemuruh hilir angin yang menyelinap, seolah membisikkan dongeng tentang bumi dan anak-anak manusia. Kadang aku juga bisa mendengar gesekan daun-daun kering yang berhamburan ketika tertiup angin, suara rumput yang melambai. Bahkan jika aku beruntung, terkadang aku bisa mendengarkan suara biola yang anggun, dengan melodi yang mengingatkanku akan derit pintu tua di rumah nenek, ketika terbuka dan tertutup.
Kau tahu, tak ada seorangpun yang rasanya benar-benar mengetahui masa depan. Karenanyalah kita berharap. Kurasa mungkin itulah yang menyebabkan kita merasa butuh untuk berdoa. Seperti anak kecil yang tak sabar membuka kado di hari ulang tahunnya, bagiku berdoa adalah kesenangan. Manusia pada dasarnya pula adalah seorang yang tak pernah puas, selalu menginginkan hal yang tidak dimilikinya. Oleh sebab itu aku tak pernah berhenti memohon, berharap apa saja, dan terkadang ada saja kebetulan-kebetulan kecil yang tak pernah kita duga sebelumnya, dan dari sanalah doa itu akhirnya terjawab.
Sama saja seperti kesenanganku di danau ini. Kebiasaanku selama 365 hari, menghabiskan sore di pinggir danau, hanya sekedar melempar koin dan berdoa, rupanya mempertemukanku dengan seorang gadis. Sebenarnya kami tak benar-benar saling mengenal, bahkan aku tak tahu namanya. Suatu hari aku menyadari keberadaannya, dia hanya duduk di bangku pinggir danau, menatap kosong ke arah air yang tenang. Paling tidak lima kali dalam seminggu aku melihatnya duduk di bangku itu. Dia selalu membawa kotak makanan yang tak pernah dimakannya. Lalu ketika hari sudah mulai gelap, dia hanya pulang begitu saja, tidak melakukan apa-apa, hanya duduk dan melamun.
Berkali-kali aku ingin mencuri kesempatan, duduk di sebelahnya dan mengajaknya berbincang, sekedar ingin tau apa yang ada dipikirannya. Namun aku tak pernah memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal tersebut. Sampai akhirnya aku mendapat gagasan. Khusus di hari itu aku datang lebih awal, dan duduk di tempat gadis itu biasa menghabiskan waktu. Aku menunggu dan menunggu, tapi dia tak pernah datang. Terus saja demikian, dari hari ke hari. Sampai aku menyadari, kalau setiap aku duduk di bangku itu, dia selalu tidak pernah muncul. Atau, mungkin tidak ingin muncul.
Kupikir waktu juga takkan lama berbaik-baik kepadaku, karenanya di suatu sore yang cerah, aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Seperti tak ada apa-apa, aku berjalan mendekatinya, langkahku ringan, berusaha tersenyum tidak seperti petugas yang hendak menawarkan asuransi. Gadis itu menatapku dingin, tidak menunjukkan air muka untuk menyambut kedatanganku.
“Aku menunggu seseorang.” Itu jawabannya ketika aku hendak duduk di sebelahnya, di bangku itu. Aku tahu dia berbohong, berminggu-minggu aku melihatnya hanya duduk seorang diri. Aku tak perlu mengatakan hal tersebut kepadanya, karena saat hari mulai gelap, kepergiannya yang seorang diri sudah terlalu jujur untuk mengungkapkan hal itu. Mungkin dia adalah tipe orang yang tidak merasa nyaman dengan orang asing, aku mengenal beberapa teman yang seperti itu.
Tapi aku tak kehabisan akal. Esok harinya, sebelum dia duduk di bangku itu, aku menaruh sebuah surat kepadanya. “Lama kelamaan air danau itupun akan beku, jika selalu kau tatap dengan begitu dingin.” Aku melihat dia membacanya, namun seperti mengacuhkan kedatanganku kemarin sore, dia hanya menaruh suratku begitu saja, dan duduk melamun. Aku pikir akupun tak mau menjadi lebah pengganggu. Atu tau betapa menyebalkannya lebah-lebah kecil yang merusak ketenangan kita saat sedang piknik di taman. Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti mencari tahu tentang dirinya, tentang kotak makanan yang tak pernah dia buka, tentang sisi kosong bangku taman di sebelahnya, yang tak pernah mau dia isi.
*****
Kupikir tak ada yang luar biasa dari danau ini, sungguh hanya biasa saja. Tapi sejak dulu, aku senang menghabiskan waktu di sini, duduk di bangku taman yang sama. Air danaunya tenang, sesekali ada saja yang datang untuk memancing, atau keluarga kecil yang menghabiskan waktu hanya sekedar untuk menutup hari. Pohon-pohon besar yang ada di sekitar danau, kurasa mereka lebih tua dari yang terlihat, mungkin berusia 300 tahun, atau lebih, aku tak yakin. Warna rumputnya juga sama, tetap berwarna hijau. Sungguh danau ini memang sama saja seperti danau-danau kota lainnya, tapi aku senang menghabiskan waktu di tempat ini. Walau, berbulan-bulan yang lalu, aku tidak duduk sendiri, tidak seperti sekarang.
Tak semua orang menyukai kenyataan, dan aku termasuk orang yang lebih memilih untuk melamun. Aku tak tahu kapan tepatnya segala hal di dunia ini berubah, tiba-tiba saja, aku baru menyadari kalau segala sesuatu sudah berbeda. Segala hal di sudut-sudut kota ini seolah melambai kepadaku, mengucapkan selamat tinggal, dan mereka tergantikan oleh hal-hal baru yang sama sekali asing bagiku. Mungkin sejak itulah aku melupakan kenyataan, dan sejak itulah aku semakin menyukai tempat ini, duduk melamun, hanya berbincang kepada diriku sendiri.
Aku tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padaku, karena dahulu aku adalah seorang yang berbeda. Dahulu aku banyak berbincang, dengan seorang pria, persis di bangku ini. Dia senang bercerita tentang tokoh penulis dongeng anak-anak, Roald dahl dan Hans Christian Andersen adalah dua tokoh favoritnya. Aku selalu membawakannya kotak makanan, dan kami menghabiskan hari, duduk di bangku taman, tertawa kecil sampai makanan di kotak itu habis. Dahulu aku adalah orang yang percaya kalau sebuah hal kecil bisa memberikan perbedaan di hidup ini. Tapi sekarang tidak lagi, ketimbang mencoba percaya kepada hidup, aku sudah terlanjur sibuk untuk melamun. Pria itupun kini sudah pergi, sudah tidak tinggal di dunia ini lagi, entah di tempat seperti apa dia sekarang. Mungkin sejak itulah aku menjadi seorang yang berbeda.
Semua orang tentu pernah merasakan bagaimana tidak menyenangkannya, ketika kehilangan seseorang yang tidak tergantikan. Seperti yang kukatakan, aku tak ingin semua menjadi berbeda. Karenanya, aku tetap melakukan hal yang sama, setiap sore selalu datang ke tempat ini, membawa kotak makanan, dan duduk melamun. Walau, pernah sesekali aku memohon pada Tuhan, agar dia mengizinkanku untuk menjalani hidup. Aku tak tau bagaimana cara tuhan menjawab doaku, tapi suatu hari aku pernah menemukan seorang pria duduk di bangku taman itu. Saat melihatnya, aku sadar, kalau mungkin suatu saat nanti aku harus bertemu dengan seseorang yang menggantikan tempatnya. Tapi aku tak ingin semua menjadi berbeda, aku tak menyukai orang asing yang bisa saja duduk di sebelahku. Karenanya, selama berhari-hari aku memutuskan untuk tidak pergi ke danau itu, tidak selama ada orang asing yang duduk di bangku tamanku.
Kemarin seorang pria juga datang, dan ingin duduk di sebelahku, “Aku menunggu seseorang” aku terpaksa berbohong saat itu, jelas dia pria yang sama dengan hari-hari lalu. Sebenarnya aku tak tau apa yang dia inginkan. Aku memang menyadari, kalau hampir setiap hari dia juga datang ke tempat ini. Dia senang melempar koin ke danau, lalu menepuk tangannya, memejamkan mata, dan seperti mulai berdoa. Karena pemandangan itulah, sebenarnya aku juga ikut mencoba berdoa, mungkin saja danau ini memiliki mitos untuk mengabulkan doa seseorang. Rasanya nyaman juga ketika memejamkan mata di pinggir danau ini, aku seperti mencoba melihat dunia melalui telingaku. Namun aku lebih suka memandangi air danau. Terlebih ketika hari ini aku melihat sebuah surat di atas bangku tamanku. “Lama kelamaan air danau itupun akan beku, jika selalu kau tatap dengan begitu dingin.” Hanya itu kalimat yang tertera di surat tersebut.
Isi surat itu membuatku teringat akan sebuah kenangan kecil di tempat ini. Suatu hari yang terlihat biasa-biasa saja, aku dan dia sedang duduk sambil memakan makanan yang kubawa. Dia mulai bercerita.
“Kau tau, kalau Hans Christian Andersen pernah berniat bunuh diri di sebuah danau? Tapi niat itu ia batalkan” Ucapnya.
“Kenapa?”
“Saat dia hendak melompat, tiba-tiba ia melihat wajah mendiang neneknya di air danau tersebut.”
“Ada yang bilang, di pantulan air danau ini, terkadang kita juga bisa melihat wajah seseorang yang kita cintai. Berkali-kali, aku mencobanya.” Lanjutnya..
“Lalu, apa yang kau lihat?”
“Wajahmu” Jawabnya, singkat.
Hari itu adalah hari terakhir kami bertemu. Mungkin sejak itulah aku tak bisa berhenti untuk menatap air danau ini.
Ario Sasongko
[1] Penulis dongeng anak-anak, kelahiran Denmark. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain : Itik yang buruk rupa, dan kisah gadis penjual korek api.