Terdengar suara megaphone dari masjid dekat rumahku. Ada sebuah pengumuman yang mengumandang. Rupanya berita kematian kembali terdengar. Aku tertegun, mencoba menyimak siapakah kali ini yang harus pergi menemui Tuhan. Inilah yang menarik dari dunia. Sejenak aku mengira akan melewati hari ini dengan biasa saja. Bangun pagi, sarapan, nonton televisi atau mendengar radio. Lalu mungkin pergi ke tempat di pojok kemegahan kota. Mungkin saja di jalan aku mengalami kecelakaan, atau bertemu wanita cantik. Entahlah, aku tak pernah mengetahui apa yang akan terjadi. Berita kematian ini memberikan perasaan yang aneh di dalam pikiranku. Ada rasa menggelitik, rasa kehilangan, entahlah. Tiba-tiba saja kembali terbayang sosok pria setengah baya yang tinggal tak jauh dari rumahku, dia yang dikabarkan meninggal hari ini. Aku tak mengenalnya terlalu dekat, namun berita kematiannya membuatku membayangkan wajah pria itu berkali-kali. Aku membayangkan ketika dia sedang tersenyum, sedang memesan pecel ayam, sedang berangkat kerja, sedang duduk di warung rokok, sedang membaca koran. Ah, kepergiannya membuat aku seolah sedang kasmaran dengannya.
Aku mengganti pakaian, memakai baju hitam. Kata orang-orang, pakaian hitam melambangkan duka cita, namun entah siapa sebenarnya yang mencetuskan ide ini. Aku sempat berkaca sebentar, baru kemudian pergi ke rumah duka. Sudah ada beberapa orang yang berdiri di sekitar rumah itu. Pagar rumah terbuka lebar, dan terlihat seorang wanita muda yang menangis tersedu-sedu. Wanita itu adalah istri almarhum yang baru saja meninggal. Beberapa ibu-ibu tetangga mencoba menenangkan. Aku menghampirinya, mengucapkan rasa bela sungkawa, kemudian berkumpul dengan beberapa pemuda yang seumuran denganku. Rupanya kematian almarhum baru beberapa menit yang lalu. Sehingga belum ada persiapan untuk menyambut tamu yang datang. Aku menanyakan kepada temanku, perihal kematian almarhum. Kemudian aku mulai mendapat cerita-cerita dramatis tentang kepergianya. Ada yang mengatakan bahwa malam kemarin dia sempat berbincang dengan almarhum. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi dia sempat melihat almarhum yang sedang shalat subuh. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi almarhum masih sempat membeli rokok di warungnya. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya siang ini dia sudah ada janji dengan almarhum. Semua seperti ingin menjadi bagian yang penting dari peristiwa ini. Begitulah, kepergian seseorang membuat kita mengingat-ingat kembali saat terakhir kita bertemu dengannya. Akupun sempat membayangkan kapan terakhir kali bertemu, rupanya sudah cukup lama, itu juga hanya sekedar berpapasan.
Merasa tak ada yang dikerjakan, aku dan beberapa pemuda seumuran mengambil inisiatif untuk memasang terpal di depan rumah duka. Kami mengambil terpal tersebut di masjid dekat rumah. Hanya di suasana seperti inilah, aku dengan sepenuh hati mengerjakan sesuatu. Memanjat tiang listrik untuk mengikat tali rafia yang disambungkan ke ujung terpal. Mengangkat kursi-kursi dan menaruhnya di depan rumah duka. Menyiapkan beberapa baskom dan ditutupi kain putih, untuk tempat sumbangan. Mengambil alat pemandian jenazah. Memasang bendera kuning. Aku baru sadar kalau aku tak pernah tersenyum di saat-saat seperti itu. Mengapa menjadi seolah tabu untuk tersenyum di depan orang yang sedang berduka. Ditambah lagi panas hari yang sedang terik-teriknya siang ini. Memang seperti inilah kenyataan dunia. Langit tak pernah ikut berduka ketika ada seseorang yang sedang berduka. Apakah mereka tak tahu bahwa hujan terjadi karena uap yang berubah menjadi butiran air, kemudian karena terlalu berat maka jatuh ke tanah. Orang bodoh mana yang berkata bahwa hujan terjadi karena langit sedang berduka ?
Segala kebutuhan telah disiapkan, namun jenazah almarhum belum juga datang. Aku duduk agak menjauh dari yang lainnya. Aku memang senang seperti ini ketika ingin memperhatikan suasana yang terjadi. Sang istri yang ditinggalkan masih saja menangis. Beberapa pria dewasa sedang mengobrol sambil merokok, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Apakah rasa kehilangan dirasakan oleh semua orang yang berada di sini? Aku tidak, yang kulakukan hanyalah meringankan beban yang ditinggalkan. Setelah ini aku akan menjalani hidupku seperti biasa. Toh aku memang masih menjalani kehidupan, aku masih bernafas di dunia yang semakin hari semakin membusuk ini. Aku jadi membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh dia yang sudah pergi. Apakah dia sedang berada di tempat ini? Memperhatikan dunia yang bukan lagi miliknya? Apakah yang mungkin akan dilakukannya setelah kematian? Berbeda dengan istrinya yang masih hidup, saat ini memang dia sedang menangis tersedu-sedu. Tapi siapa yang tahu kalau nanti dia akan menikah lagi. Bukankah besok pagi dia harus menjalani kehidupan? dan bisa saja melupakan suaminya yang telah meninggal.
Lamunanku dibuyarkan oleh kendaraan jenazah yang baru saja datang. Pihak keluarga langsung menangis menjadi-jadi. Jenazah diangkat untuk dimandikan. Tubuh itu membujur kaku, seperti tertidur pulas. Aku tak sempat melihat wajahnya. Ada banyak kisah dari wajah orang yang sudah meninggal. Ada yang berkata bahwa wajah itu seolah tersenyum. Aku pernah melihat di sinetron televisi, bahwa seorang yang durhaka kemudian sekitar matanya hitam membusuk ketika meninggal. Aku tak pernah mengetahui kebenaran soal cerita seperti itu. Beberapa orang membaca ayat-ayat suci yang aku tak tahu artinya. Suasana seolah berubah menjadi sendu. Aku memandang orang-orang yang membaca ayat-ayat suci sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada pihak keluarga yang menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan itu, berbondong-bondong orang datang untuk ikut berbela sungkawa. Orang-orang duduk sambil menunduk. Mereka mungkin merenungi sesuatu, mungkin saja umur mereka. Kematian seseorang membuat hari ini menjadi berbeda, hanya hari ini saja. Karena kehidupan tak pernah membicarakan kematian, kehidupan hanya memberitahukan bagaimana cara mencari makan pada setiap harinya.
Setelah dimandikan, jenazah langsung dibawa ke dalam untuk dibalut dengan kain kafan. Warnanya putih sehingga jenazah tersebut terlihat suci. Aku jadi teringat tentang kisah Abu Nawas. Tokoh itu diceritakan sebagai seorang yang cerdik. Sebelum dia meninggal, dia berwasiat untuk dibalut dengan kain berwarna hitam. Rupanya untuk mengelabuhi malaikat yang datang untuk menanyakan beberapa pertanyaan tentang iman. Abu Nawas berdalih bahwa dia sudah dimakamkan sejak dahulu, dan buktinya adalah kain kafan yang sudah kotor berwarna hitam. Aku tak tahu apakah cara itu dapat benar-benar digunakan. Mungkin aku akan mengambil kesempatan itu jika tak sempat bertobat sebelum kematian. Setelah selesai dibalut dengan kain kafan, jenazah tersebut dibawa ke masjid untuk dishalatkan, dan kemudian di bawa ke pemakaman untuk dimakamkan.
Saat itu hari sudah semakin senja. Walau aku tak dapat memandang warna-warna jingga di langit. Namun aku merasakan keindahan ketika menyadari masih dapat merasakan cahaya sore hari dan nanti gelapnya malam. Setelah pemakaman, aku hanya berjalan kembali ke rumah, kembali pada kehidupan nyata. Hari kematian hanyalah kisah yang tak pernah kuketahui terjadinya. Yang aku ketahui hanya menjalani kehidupan yang masih terbentang di hadapan. Jika aku dapat menentukan apa yang aku lakukan setelah kematian, mungkin aku akan memilih untuk disiapkan alat tulis, rokok dan kopi. Karena sampai saat ini, aku tak tahu apa yang harus dikerjakan, selain menulis. Seperti kisah yang baru saja kuceritakan. Hanya kisah lainnya tentang kematian, di dalam kehidupan.
Ario Sasongko
Aku mengganti pakaian, memakai baju hitam. Kata orang-orang, pakaian hitam melambangkan duka cita, namun entah siapa sebenarnya yang mencetuskan ide ini. Aku sempat berkaca sebentar, baru kemudian pergi ke rumah duka. Sudah ada beberapa orang yang berdiri di sekitar rumah itu. Pagar rumah terbuka lebar, dan terlihat seorang wanita muda yang menangis tersedu-sedu. Wanita itu adalah istri almarhum yang baru saja meninggal. Beberapa ibu-ibu tetangga mencoba menenangkan. Aku menghampirinya, mengucapkan rasa bela sungkawa, kemudian berkumpul dengan beberapa pemuda yang seumuran denganku. Rupanya kematian almarhum baru beberapa menit yang lalu. Sehingga belum ada persiapan untuk menyambut tamu yang datang. Aku menanyakan kepada temanku, perihal kematian almarhum. Kemudian aku mulai mendapat cerita-cerita dramatis tentang kepergianya. Ada yang mengatakan bahwa malam kemarin dia sempat berbincang dengan almarhum. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi dia sempat melihat almarhum yang sedang shalat subuh. Ada yang mengatakan bahwa pagi tadi almarhum masih sempat membeli rokok di warungnya. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya siang ini dia sudah ada janji dengan almarhum. Semua seperti ingin menjadi bagian yang penting dari peristiwa ini. Begitulah, kepergian seseorang membuat kita mengingat-ingat kembali saat terakhir kita bertemu dengannya. Akupun sempat membayangkan kapan terakhir kali bertemu, rupanya sudah cukup lama, itu juga hanya sekedar berpapasan.
Merasa tak ada yang dikerjakan, aku dan beberapa pemuda seumuran mengambil inisiatif untuk memasang terpal di depan rumah duka. Kami mengambil terpal tersebut di masjid dekat rumah. Hanya di suasana seperti inilah, aku dengan sepenuh hati mengerjakan sesuatu. Memanjat tiang listrik untuk mengikat tali rafia yang disambungkan ke ujung terpal. Mengangkat kursi-kursi dan menaruhnya di depan rumah duka. Menyiapkan beberapa baskom dan ditutupi kain putih, untuk tempat sumbangan. Mengambil alat pemandian jenazah. Memasang bendera kuning. Aku baru sadar kalau aku tak pernah tersenyum di saat-saat seperti itu. Mengapa menjadi seolah tabu untuk tersenyum di depan orang yang sedang berduka. Ditambah lagi panas hari yang sedang terik-teriknya siang ini. Memang seperti inilah kenyataan dunia. Langit tak pernah ikut berduka ketika ada seseorang yang sedang berduka. Apakah mereka tak tahu bahwa hujan terjadi karena uap yang berubah menjadi butiran air, kemudian karena terlalu berat maka jatuh ke tanah. Orang bodoh mana yang berkata bahwa hujan terjadi karena langit sedang berduka ?
Segala kebutuhan telah disiapkan, namun jenazah almarhum belum juga datang. Aku duduk agak menjauh dari yang lainnya. Aku memang senang seperti ini ketika ingin memperhatikan suasana yang terjadi. Sang istri yang ditinggalkan masih saja menangis. Beberapa pria dewasa sedang mengobrol sambil merokok, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Apakah rasa kehilangan dirasakan oleh semua orang yang berada di sini? Aku tidak, yang kulakukan hanyalah meringankan beban yang ditinggalkan. Setelah ini aku akan menjalani hidupku seperti biasa. Toh aku memang masih menjalani kehidupan, aku masih bernafas di dunia yang semakin hari semakin membusuk ini. Aku jadi membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh dia yang sudah pergi. Apakah dia sedang berada di tempat ini? Memperhatikan dunia yang bukan lagi miliknya? Apakah yang mungkin akan dilakukannya setelah kematian? Berbeda dengan istrinya yang masih hidup, saat ini memang dia sedang menangis tersedu-sedu. Tapi siapa yang tahu kalau nanti dia akan menikah lagi. Bukankah besok pagi dia harus menjalani kehidupan? dan bisa saja melupakan suaminya yang telah meninggal.
Lamunanku dibuyarkan oleh kendaraan jenazah yang baru saja datang. Pihak keluarga langsung menangis menjadi-jadi. Jenazah diangkat untuk dimandikan. Tubuh itu membujur kaku, seperti tertidur pulas. Aku tak sempat melihat wajahnya. Ada banyak kisah dari wajah orang yang sudah meninggal. Ada yang berkata bahwa wajah itu seolah tersenyum. Aku pernah melihat di sinetron televisi, bahwa seorang yang durhaka kemudian sekitar matanya hitam membusuk ketika meninggal. Aku tak pernah mengetahui kebenaran soal cerita seperti itu. Beberapa orang membaca ayat-ayat suci yang aku tak tahu artinya. Suasana seolah berubah menjadi sendu. Aku memandang orang-orang yang membaca ayat-ayat suci sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada pihak keluarga yang menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan itu, berbondong-bondong orang datang untuk ikut berbela sungkawa. Orang-orang duduk sambil menunduk. Mereka mungkin merenungi sesuatu, mungkin saja umur mereka. Kematian seseorang membuat hari ini menjadi berbeda, hanya hari ini saja. Karena kehidupan tak pernah membicarakan kematian, kehidupan hanya memberitahukan bagaimana cara mencari makan pada setiap harinya.
Setelah dimandikan, jenazah langsung dibawa ke dalam untuk dibalut dengan kain kafan. Warnanya putih sehingga jenazah tersebut terlihat suci. Aku jadi teringat tentang kisah Abu Nawas. Tokoh itu diceritakan sebagai seorang yang cerdik. Sebelum dia meninggal, dia berwasiat untuk dibalut dengan kain berwarna hitam. Rupanya untuk mengelabuhi malaikat yang datang untuk menanyakan beberapa pertanyaan tentang iman. Abu Nawas berdalih bahwa dia sudah dimakamkan sejak dahulu, dan buktinya adalah kain kafan yang sudah kotor berwarna hitam. Aku tak tahu apakah cara itu dapat benar-benar digunakan. Mungkin aku akan mengambil kesempatan itu jika tak sempat bertobat sebelum kematian. Setelah selesai dibalut dengan kain kafan, jenazah tersebut dibawa ke masjid untuk dishalatkan, dan kemudian di bawa ke pemakaman untuk dimakamkan.
Saat itu hari sudah semakin senja. Walau aku tak dapat memandang warna-warna jingga di langit. Namun aku merasakan keindahan ketika menyadari masih dapat merasakan cahaya sore hari dan nanti gelapnya malam. Setelah pemakaman, aku hanya berjalan kembali ke rumah, kembali pada kehidupan nyata. Hari kematian hanyalah kisah yang tak pernah kuketahui terjadinya. Yang aku ketahui hanya menjalani kehidupan yang masih terbentang di hadapan. Jika aku dapat menentukan apa yang aku lakukan setelah kematian, mungkin aku akan memilih untuk disiapkan alat tulis, rokok dan kopi. Karena sampai saat ini, aku tak tahu apa yang harus dikerjakan, selain menulis. Seperti kisah yang baru saja kuceritakan. Hanya kisah lainnya tentang kematian, di dalam kehidupan.
Ario Sasongko