Tas koper hitam itu dipandangi mereka dengan tatapan seolah sedang menginvestigasi tersangka. Tas koper itu berukuran kecil dan tidak terlalu tebal, ini semacam tas koper yang biasa digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen penting-seperti yang biasa terlihat di televisi. Benda tersebut teronggok begitu saja, di samping warung kecil berwarna hijau milik Dulah. Dia baru menyadarinya, ketika hendak menutup warung, kira-kira kurang dari jam dua belas malam. Ahmad dan Hasbi, dua kawan Dulah, hanya berani berdiri agak jauh dari warung, wajah mereka pucat, namun di saat yang bersamaan, juga terlihat penasaran. Hasbi masih sempat menenggak segelas kopi hitam, yang kemungkinan tanpa sadar masih saja menempel di tangannya. Sementara itu, Dulah si pemilik warung, berani berdiri agak dekat, dia sedikit membungkuk memperhatikan bentuk koper itu, menatapinya dengan was-was.
“Tadi siapa aja yang dateng ke sini?” Ahmad bertanya, rupanya dia mulai mencari-cari sebab akibat mengenai kemuncul tas koper hitam ini.
“Mana gue inget. Jalanan kaya’ gini ya pasti banyak yang lewat.”
Dulah menjawab pertanyaan itu, namun matanya masih tak lepas dari koper misterius tersebut.
“Tadi siapa aja yang dateng ke sini?” Ahmad bertanya, rupanya dia mulai mencari-cari sebab akibat mengenai kemuncul tas koper hitam ini.
“Mana gue inget. Jalanan kaya’ gini ya pasti banyak yang lewat.”
Dulah menjawab pertanyaan itu, namun matanya masih tak lepas dari koper misterius tersebut.
Tas koper hitam itu dipandangi mereka dengan tatapan seolah sedang menginvestigasi tersangka. Tas koper itu berukuran kecil dan tidak terlalu tebal, ini semacam tas koper yang biasa digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen penting-seperti yang biasa terlihat di televisi. Benda tersebut teronggok begitu saja, di samping warung kecil berwarna hijau milik Dulah. Dia baru menyadarinya, ketika hendak menutup warung, kira-kira kurang dari jam dua belas malam. Ahmad dan Hasbi, dua kawan Dulah, hanya berani berdiri agak jauh dari warung, wajah mereka pucat, namun di saat yang bersamaan, juga terlihat penasaran. Hasbi masih sempat menenggak segelas kopi hitam, yang kemungkinan tanpa sadar masih saja menempel di tangannya. Sementara itu, Dulah si pemilik warung, berani berdiri agak dekat, dia sedikit membungkuk memperhatikan bentuk koper itu, menatapinya dengan was-was.
“Tadi siapa aja yang dateng ke sini?” Ahmad bertanya, rupanya dia mulai mencari-cari sebab akibat mengenai kemuncul tas koper hitam ini.
“Mana gue inget. Jalanan kaya’ gini ya pasti banyak yang lewat.”
Dulah menjawab pertanyaan itu, namun matanya masih tak lepas dari koper misterius tersebut.
Warung Dulah terletak persis di depan masjid di sebuah komplek perumahan, jalan di depan masjid ini memang bukan jalan umum, namun merupakan akses utama jika kita hendak pergi menuju jalan besar di depan komplek. Sudah hampir 10 tahun lamanya, Dulah menjalankan usaha warung di depan masjid tersebut. Sebenarnya pula, warung ini sudah dibuka jauh lebih lama lagi, mungkin hampir 30 tahun, ayah Dulah adalah orang yang pertama sekali membuka warung tersebut, kemudian setelah 15 tahun berjalan, Kakak laki-laki Dulah meneruskan usaha warung itu. Kakak laki-laki Dulah itu-setelah beberapa tahun pula menjalankan usaha warung rokok tersebut, kemudian lebih memilih untuk membuka warung makan tenda, di jalan besar depan daerah perumahan ini. Akhirnya, sampai pula warung ini dikelola oleh tokoh dalam cerita yang kini sedang kusampaikan kepada kalian, Dulah.
“Ya kira-kira aja, yang mungkin orang kantoran, siapa tau kopernya ketinggalan.” Hasbi mencoba mencari alternatif jawaban.
“Setiap hari orang kantoran pasti ke sini, apa lagi orang-orang depan.”
Di depan komplek perumahan ini memang terdapat areal perkantoran pada sepanjang jalan besar, yang tadi sudah dijelaskan. Menjelang sore sedikit, saat perkantoran itu sudah mulai tutup, orang-orang yang bermukim di sekitar daerah itu memanfaatkannya untuk membuka warung makan tenda, tepat di depan gedung-gedung perkantoran tersebut. Orang-orang yang bekerja di perkantoran itulah yang sering sekali mampir ke warung Dulah, untuk menunggu waktu ibadah, atau setelah beribadah di dalam masjid, mereka biasanya duduk-duduk sebentar di warung Dulah, merokok, atau memesan minuman botol.
“Barangkali ada yang enggak elo kenal?”
“Ah udah, yang penting sekarang, ini koper mau diapain?”
“Telpon polisi.” Ahmad memberikan usul.
“Emang ini koper isinya apaan?” Dulah balik bertanya.
“Kalau isinya Bom?”
“Kalau bukan?”
“Emang kenapa?”
“Entar malah kita yang ditangkep, disangka bohongin polisi.”
“Ah kalau kita lapor polisi justru lebih bagus.” Hasbi mencoba mendukung Ahmad.
“Tapi ngapain teroris ngebom masjid kita?”
Masjid di depan warung Dulah memang bukan masjid yang besar dan terkenal. Masjid biasa saja, dan bukan pula aliran islam yang bertenangan dengan ajaran dalam kitab suci. Dulah juga tak pernah menjual barang-barang yang dilarang agama, dia hanya menjual rokok, minuman botol, dan sembako yang tersedia dalam jumlah kecil. Selain itu, keuntungan dari membuka warung di depan masjid adalah, kita selalu diingatkan untuk beribadah-memang tak secara khusus, melainkan melalui adzan. Tetapi, jika adzan ini kita dengarkan langsung di depan masjid, dengan suara yang keras, dan pula berulang-ulang kali kita pasti mendengarkannya, sudah tentu setebal apapun hati kita, tergerak pula untuk beribadah. Demikian pula dengan Dulah ini, bertahun-tahun membuka warung di depan masjid, akhirnya tanpa bisa dihindari, Dulah menjadi muslim yang taat beribadah-ya pencerahan memang bisa datang dalam berbagai bentuk. Dengan semua latar belakang tersebut, rasanya tak mungkinlah kalau masjid dan warung Dulah ini, kemudian menjadi sasaran teroris.
“Buruan Mat, telpon polisi.” Hasbi mulai tidak sabar.
Ahmad sendiri justru memandang Hasbi dengan tatapan ingin menolak perintah itu.
“Gue enggak ada pulsa. Elo aja gih telpon.”
Kali ini Hasbi berganti memandang Dulah, si pemilik warung.
“Dul, elo gih telpon polisi.”
“Gue juga enggak ada pulsa.”
“Lah elo bukannya jualan pulsa?”
“Udah enggak jualan, tuh liat aja tulisannya udah gue copot.”
Dulah menjawab pertanyaan itu sambil menunjuk ke arah warungnya. Dengan serentak, Hasbi dan Ahmad memandang ke kaca bagian depan warung, dimana biasanya tertempel tulisan “Di sini jual pulsa,” rupanya tulisan itu memang sudah tak pada tempatnya, berganti sisa kertas yang masih tertempel pada empat titik yang membentuk persegi panjang imajiner.
“Ya udah, gue nelpon dari rumah aja.” Ahmad coba menawarkan jalan keluar.
Dulah dan Hasbi memandang Ahmad, kali ini justru giliran Ahmad yang ditatapi dengan jenis pandangan mata seolah menginvestigasi.
“Kagak, yang ada elo malah enggak balik-balik.” Dulah menuduh dengan cemas.
“Kalau gitu, biar Ahmad gue yang temenin.” Hasbi memberikan usul.
Dulah semakin memprotes usulan itu, dia khawatir kalau kedua kawannya itu justru lari dari masalah, dan meninggalkan dirinya, hanya berdua dengan koper yang kehilangan tuan tersebut. Mereka bertiga mulai berdebat perihal siapa yang lebih dipercaya untuk pergi menelpon polisi. Namun, sama seperti koper yang masih saja teronggok bisu itu, mereka tidak dapat saling percaya satu sama lain, tidak juga pada diri mereka masing-masing. Pasalnya, tak ada seorangpun yang mau berdiam seorang diri bersama koper hitam itu, dan rumitnya lagi, tak ada pula yang rela meninggalkan tas koper tersebut begitu saja, meski hanya untuk sesaat. Usulan jalan keluar ini menemui jalan buntu, tak ada yang bisa menjadi kesimpulan, tidak pun koper hitam yang masih misterius itu.
Suasana di daerah perumahan ini juga sudah sangat sepi, melanjuti apa yang tadi sudah kujelaskan, mungkin sekarang, waktu sudah resmi lewat tengah malam. Di jam-jam seperti ini, dunia memang seolah berhenti untuk beberapa saat, manusia-manusia tiba-tiba saja lenyap, meninggalkan ruang-ruang kosong di jalan raya, begitu saja. Mereka bertiga juga tampaknya demikian, saling diam, terus saja menatap ke arah koper tersebut. Dulah, yang berdiri paling depan, mulai memperhatikan detail dari koper tersebut, sebetulnya tas koper ini terlihat sangat mahal, kulit berwarna hitam yang melapisi koper, terlihat sangat halus dengan jahitan yang rapi, warnanya juga hitam mengkilat. Sudut-sudut koper ini dilapisi semacam besi dengan warna cemerlang, sepertinya untuk menjaga kulit koper, yang tampaknya memang bukan dari bahan sembarangan. Di sisi depan koper tersebut, terdapat sebuah tulisan-yang tak bisa dieja dengan benar oleh Dulah dan dua kawannya, walau demikian, mereka sadar kalau itu adalah sebuah merk yang mahal, dan bahkan imitasinya saja tak mampu mereka beli. Singkatnya saja, mereka masih belum tau harus memperlakukan tas koper istimewa ini dengan jenis perlakuan yang seperti apa.
“Tapi siapa bilang tas ini isinya bom?” Ahmad mulai meragukan kekhawatirannya.
“Elo yang bilang!” Dulah menjawab, masih tak melepaskan pandangannya dari tas koper ini barang sekejap pun.
“Lah? Kapan gue bilangnya?”
“Tadi waktu elo nyuruh nelpon polisi.”
“Kan gue bilang; Kalau.”
“Ya mana gue tau juga ini isinya apaan. Kalau omongan lo bener, gimana?”
“Kalau ternyata isi tasnya bukan bom?” Hasbi mulai berpendapat lain.
Kini mereka bertiga berpandangan, untuk pertama kalinya Dulah melepaskan pandangan dari koper istimewa itu. Mereka diam barang sejenak.
“Gimana kita tau?” Ahmad menambahkan pertanyaan.
Mereka kembali diam, sebenarnya di masing-masing kepala mereka, tercuat beberapa logika yang rasional, demi memecahkan misteri yang terus saja bersemayam nyaman di dalam tas koper tersebut-permasalahannya, logika itu juga sebuah permasalahan baru, dan belum ada yang berani mengutarakannya.
“Kita buka?” Dulah rupanya yang paling bernyali untuk mengucapkannya.
Ahmad menelan ludahnya, seolah sedang kehausan. Hasbi sudah tak bernafsu lagi dengan segelas kopi yang rupanya benar-benar tanpa sadar, masih saja menempel di tangannya. Dulah, yang memberikan ide itu, tidak pula lebih tenang dari kedua kawannya. Imajinasi-imajinasi mereka kemudian berkembang liar. “Kalau” yang tadinya hanya kemungkinan, kini menjadi nyata di dalam kepala Ahmad. Hasbi meneguk kopinya, yang sudah bercampur dengan ampas kopi di bagian dasar gelas, mungkin itu adalah cita rasa terakhir yang dinikmatinya sebelum menutup usia. Dulah mencoba menanjamkan pendengarannya, dia semakin membungkuk, kalau-kalau saja ada suara yang tertangkap dari dalam tas koper tersebut.
“Kalau tas itu meledak waktu dibuka, Gimana?” Ahmad mulai mengutarakan kecemasannya.
“Ya kita mati.” Dulah memberikan komentar dari pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab itu.
“Nah, ini yang gue enggak ngerti. Sebenernya bisa aja tas itu dibuka, tapi enggak meledak. Masalahnya, gue enggak ngerti listrik.”
Hasbi mulai memaparkan sebuah skenario situasi, yang rupanya diadaptasi dari kisah yang sering ditontonnya di televisi. Memang, demi alasan pelayanan kepada pelanggan, Dulah memasang televisi 14 inci di samping warungnya, antena televisi itu, dia pasang dan sambungkan melalui atap masjid. Dengan alasan menonton televisi itulah, Ahmad dan Hasbi biasa datang ke warung itu, selain tentu mereka bertiga memang senang mengobrol. Selain sepak bola, tayangan kesukaan mereka bertiga adalah tayangan laga, apalagi yang diperankan oleh Steven Seagal, Van Dame, dan Chuck Norris[1]. Ledakan-ledakan dan situasi menegangkan yang biasa mereka saksikan di televisi itu-kadang sambil menikmati segelas kopi atau sebungkus rokok, kini tanpa mereka harapkan, harus mereka hadapi secara langsung dan tanpa kamera.
“Mad, elo kan ngerti listrik, sana coba elo yang buka.”
“Sialan, kalau AC(Air Conditioner), iya gue ngerti.”
Ahmad ini adalah seorang tukang Service AC yang bekerja hanya berdasarkan panggilan. Walau demikian, pelanggannya sudah meliputi hampir seluruh bagian ibukota. Pekerjaan ini, rupanya juga pernah hampir mengorbankan nyawanya; Ketika itu dia sedang memperbaiki AC di sebuah studio foto yang terletak di daerah Glodok, tahun 1998. Tiba-tiba kerusuhan terjadi, dan daerah pertokoan di sekitar situ mulai dibakar oleh masyarakat[2]. Beruntung saat itu pemilik studio-yang merupakan etnis Tionghoa sedang tidak ada di tempat, sehingga beliau terhindar dari aksi kekerasan massa. Menyadari aksi massa yang semakin mendekati studio foto itu, sang penjaga studio memutuskan untuk melarikan diri, dia terlupa pada Ahmad, yang masih berpeluh di lantai atas sambil memperbaiki AC. Hampir saja Ahmad terjebak di dalam studio foto itu, kalau tidak karena mulutnya yang terasa asam, dan dia memutuskan untuk keluar sejenak, merokok. Saat keluar dari gedung studio itulah, Ahmad menyadari bahwa ribuan manusia sedang bergerak ke arah pertokoan di sekitar situ, tunggang langgang Ahmad melarikan diri menggunakan motor bebek yang masih sempat diselamatkannya.
“Ah, tapikan belum tentu tas itu isinya bom.” Ahmad kemudian mulai berkilah.
“Ya, makanya, coba elo buka.” Dulah menanggapi pernyataan Ahmad.
“Kenapa bukan elo yang buka?”
Dulah tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Alih-alih menjawab, Dulah justru melihat sosok warga, yang paling diharapkannya untuk datang di situasi seperti sekarang ini. Beliau melintas diantara gradasi terang gelap jalanan yang tercipta akibat formasi lampu jalan yang berselingan; Pencerahan, suram, pencerahan, suram. Ahmad dan Hasbi juga ikut memperhatikan sosok yang betul merubah air muka Dulah. Saat melintasi cahaya lampu jalan, barulah kemudian Ahmad dan Hasbi menyadari kalau sosok tersebut, tak lain merupakan, pak Ali, sang ketua Rukun Warga setempat.
Tak ada sedikitpun prasangka yang mampir di benak pak Ali, ketika dia tiba di warung itu, dan ditatapi dengan aneh oleh ketiga orang warganya.
“Rokok, Dul, sebungkus.”
Permintaan tersebut, memberikan jawaban mengenai kedatangan pak Ali di warung Dulah. Sebetulnya kemunculan beliau ini merupakan pemandangan yang janggal, usianya sudah memasuki 68 tahun, rambutnya sudah putih semua, punggungnya sudah agak membungkuk dan lebih pelik lagi, konon beliau tak tahan dengan angin malam. Namun pula, rupanya kecanduan rokok telah memberikan kekuatan pada siapapun, termasuk si ringkih pak Ali ini, untuk kemudian menentang angin malam-yang dampaknya mungkin baru dia tuai esok pagi.
Dengan ragu dan agak segan tampaknya, Dulah menyempatkan diri melayani pak Ali. Dia mengambilkan rokok yang sudah dihapalnya, dan memberikan rokok tersebut pada pak Ali.
“Wah tas siapa itu? Bagus betul.”
Pria tua itu, sambil membayar rokok yang baru diterimanya, kemudian tersadar pada tas koper yang sejak tadi teronggok dan menjadi bahan perdebatan ketiga warganya tersebut. Dulah, Ahmad, dan Hasbi, lalu berpandangan, mereka sama-sama tak bisa menjawab pertanyaan, yang mereka sendiri masih pertanyakan.
“Itu bom, Pak!” Ahmad beramsumsi negatif untuk kesekian kalinya.
“Ha?!” Pak Ali terperanjat.
“Bukan-bukan, mungkin itu bom, tapi kita juga belum tau.” Hasbi mencoba meluruskan ucapan Ahmad, namun tampaknya tidak terucapkan dengan benar.
Pak Ali mulai mengerutkan keningnya.
Untuk menghindari kesalah pahaman yang berlarut-larut, lantas Dulah menjelaskan perkara yang sedang terjadi. Mendengar penjelasan itu, pak Ali tampak tenang-tenang saja. Justru dia menghampiri tas koper itu, dan mengambilnya. Tangan pak Ali terlihat ringan sekali ketika mengangkat tas tersebut. Dia memandangi tas koper di tangannya, tentu juga menyadari bahan yang membuat tas itu terlihat mahal, dan agaknya dia tertarik pula dengan harganya.
“Ya sudah, biar saya yang bawa ke kantor polisi.”
Pak Ali menganggukkan kepalanya kepada Dulah, Ahmad dan Hasbi, kemudian dia berjalan, melangkah tenang, meninggalkan tiga orang warganya yang hanya menatap kepergian pak Ali, tanpa jawaban. Mereka berlihat-lihatan dan terdiam untuk beberapa saat.
“Kalau isinya bukan bom, gimana?”
Dulah memberikan pertanyaan, yang mereka semua tau jawabannya-walau, tak ada yang rela menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya memandangi pak Ali, yang berjalan pelan menenteng tas koper itu, perlahan menjauh, melintasi gradasi cahaya terang-gelap di sepanjang jalan, yang diterangi oleh lampu jalan berselang-seling; Pencerahan, suram, pencerahan, suram.***
Ario Sasongko
[1] Ketiga tokoh itu, adalah bintang film laga yang terkemuka, di era tahun 1980-1990an.
[2] Bulan Mei Tahun 1998, terjadi kerusuhan massa yang berlangsung secara serempak selama beberapa hari. Latar belakang dari kerusuhan ini adalah situasi krisis moneter yang berkepanjangan, dan isu sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa yang bermukim di Jakarta. Tragedi ini masih menyisakan pertanyaan perihal misteri pihak yang memobilisasi massa, untuk melakukan penjarahan, dan aksi kekerasan dalam skala yang luar biasa besar itu.
“Tadi siapa aja yang dateng ke sini?” Ahmad bertanya, rupanya dia mulai mencari-cari sebab akibat mengenai kemuncul tas koper hitam ini.
“Mana gue inget. Jalanan kaya’ gini ya pasti banyak yang lewat.”
Dulah menjawab pertanyaan itu, namun matanya masih tak lepas dari koper misterius tersebut.
Warung Dulah terletak persis di depan masjid di sebuah komplek perumahan, jalan di depan masjid ini memang bukan jalan umum, namun merupakan akses utama jika kita hendak pergi menuju jalan besar di depan komplek. Sudah hampir 10 tahun lamanya, Dulah menjalankan usaha warung di depan masjid tersebut. Sebenarnya pula, warung ini sudah dibuka jauh lebih lama lagi, mungkin hampir 30 tahun, ayah Dulah adalah orang yang pertama sekali membuka warung tersebut, kemudian setelah 15 tahun berjalan, Kakak laki-laki Dulah meneruskan usaha warung itu. Kakak laki-laki Dulah itu-setelah beberapa tahun pula menjalankan usaha warung rokok tersebut, kemudian lebih memilih untuk membuka warung makan tenda, di jalan besar depan daerah perumahan ini. Akhirnya, sampai pula warung ini dikelola oleh tokoh dalam cerita yang kini sedang kusampaikan kepada kalian, Dulah.
“Ya kira-kira aja, yang mungkin orang kantoran, siapa tau kopernya ketinggalan.” Hasbi mencoba mencari alternatif jawaban.
“Setiap hari orang kantoran pasti ke sini, apa lagi orang-orang depan.”
Di depan komplek perumahan ini memang terdapat areal perkantoran pada sepanjang jalan besar, yang tadi sudah dijelaskan. Menjelang sore sedikit, saat perkantoran itu sudah mulai tutup, orang-orang yang bermukim di sekitar daerah itu memanfaatkannya untuk membuka warung makan tenda, tepat di depan gedung-gedung perkantoran tersebut. Orang-orang yang bekerja di perkantoran itulah yang sering sekali mampir ke warung Dulah, untuk menunggu waktu ibadah, atau setelah beribadah di dalam masjid, mereka biasanya duduk-duduk sebentar di warung Dulah, merokok, atau memesan minuman botol.
“Barangkali ada yang enggak elo kenal?”
“Ah udah, yang penting sekarang, ini koper mau diapain?”
“Telpon polisi.” Ahmad memberikan usul.
“Emang ini koper isinya apaan?” Dulah balik bertanya.
“Kalau isinya Bom?”
“Kalau bukan?”
“Emang kenapa?”
“Entar malah kita yang ditangkep, disangka bohongin polisi.”
“Ah kalau kita lapor polisi justru lebih bagus.” Hasbi mencoba mendukung Ahmad.
“Tapi ngapain teroris ngebom masjid kita?”
Masjid di depan warung Dulah memang bukan masjid yang besar dan terkenal. Masjid biasa saja, dan bukan pula aliran islam yang bertenangan dengan ajaran dalam kitab suci. Dulah juga tak pernah menjual barang-barang yang dilarang agama, dia hanya menjual rokok, minuman botol, dan sembako yang tersedia dalam jumlah kecil. Selain itu, keuntungan dari membuka warung di depan masjid adalah, kita selalu diingatkan untuk beribadah-memang tak secara khusus, melainkan melalui adzan. Tetapi, jika adzan ini kita dengarkan langsung di depan masjid, dengan suara yang keras, dan pula berulang-ulang kali kita pasti mendengarkannya, sudah tentu setebal apapun hati kita, tergerak pula untuk beribadah. Demikian pula dengan Dulah ini, bertahun-tahun membuka warung di depan masjid, akhirnya tanpa bisa dihindari, Dulah menjadi muslim yang taat beribadah-ya pencerahan memang bisa datang dalam berbagai bentuk. Dengan semua latar belakang tersebut, rasanya tak mungkinlah kalau masjid dan warung Dulah ini, kemudian menjadi sasaran teroris.
“Buruan Mat, telpon polisi.” Hasbi mulai tidak sabar.
Ahmad sendiri justru memandang Hasbi dengan tatapan ingin menolak perintah itu.
“Gue enggak ada pulsa. Elo aja gih telpon.”
Kali ini Hasbi berganti memandang Dulah, si pemilik warung.
“Dul, elo gih telpon polisi.”
“Gue juga enggak ada pulsa.”
“Lah elo bukannya jualan pulsa?”
“Udah enggak jualan, tuh liat aja tulisannya udah gue copot.”
Dulah menjawab pertanyaan itu sambil menunjuk ke arah warungnya. Dengan serentak, Hasbi dan Ahmad memandang ke kaca bagian depan warung, dimana biasanya tertempel tulisan “Di sini jual pulsa,” rupanya tulisan itu memang sudah tak pada tempatnya, berganti sisa kertas yang masih tertempel pada empat titik yang membentuk persegi panjang imajiner.
“Ya udah, gue nelpon dari rumah aja.” Ahmad coba menawarkan jalan keluar.
Dulah dan Hasbi memandang Ahmad, kali ini justru giliran Ahmad yang ditatapi dengan jenis pandangan mata seolah menginvestigasi.
“Kagak, yang ada elo malah enggak balik-balik.” Dulah menuduh dengan cemas.
“Kalau gitu, biar Ahmad gue yang temenin.” Hasbi memberikan usul.
Dulah semakin memprotes usulan itu, dia khawatir kalau kedua kawannya itu justru lari dari masalah, dan meninggalkan dirinya, hanya berdua dengan koper yang kehilangan tuan tersebut. Mereka bertiga mulai berdebat perihal siapa yang lebih dipercaya untuk pergi menelpon polisi. Namun, sama seperti koper yang masih saja teronggok bisu itu, mereka tidak dapat saling percaya satu sama lain, tidak juga pada diri mereka masing-masing. Pasalnya, tak ada seorangpun yang mau berdiam seorang diri bersama koper hitam itu, dan rumitnya lagi, tak ada pula yang rela meninggalkan tas koper tersebut begitu saja, meski hanya untuk sesaat. Usulan jalan keluar ini menemui jalan buntu, tak ada yang bisa menjadi kesimpulan, tidak pun koper hitam yang masih misterius itu.
Suasana di daerah perumahan ini juga sudah sangat sepi, melanjuti apa yang tadi sudah kujelaskan, mungkin sekarang, waktu sudah resmi lewat tengah malam. Di jam-jam seperti ini, dunia memang seolah berhenti untuk beberapa saat, manusia-manusia tiba-tiba saja lenyap, meninggalkan ruang-ruang kosong di jalan raya, begitu saja. Mereka bertiga juga tampaknya demikian, saling diam, terus saja menatap ke arah koper tersebut. Dulah, yang berdiri paling depan, mulai memperhatikan detail dari koper tersebut, sebetulnya tas koper ini terlihat sangat mahal, kulit berwarna hitam yang melapisi koper, terlihat sangat halus dengan jahitan yang rapi, warnanya juga hitam mengkilat. Sudut-sudut koper ini dilapisi semacam besi dengan warna cemerlang, sepertinya untuk menjaga kulit koper, yang tampaknya memang bukan dari bahan sembarangan. Di sisi depan koper tersebut, terdapat sebuah tulisan-yang tak bisa dieja dengan benar oleh Dulah dan dua kawannya, walau demikian, mereka sadar kalau itu adalah sebuah merk yang mahal, dan bahkan imitasinya saja tak mampu mereka beli. Singkatnya saja, mereka masih belum tau harus memperlakukan tas koper istimewa ini dengan jenis perlakuan yang seperti apa.
“Tapi siapa bilang tas ini isinya bom?” Ahmad mulai meragukan kekhawatirannya.
“Elo yang bilang!” Dulah menjawab, masih tak melepaskan pandangannya dari tas koper ini barang sekejap pun.
“Lah? Kapan gue bilangnya?”
“Tadi waktu elo nyuruh nelpon polisi.”
“Kan gue bilang; Kalau.”
“Ya mana gue tau juga ini isinya apaan. Kalau omongan lo bener, gimana?”
“Kalau ternyata isi tasnya bukan bom?” Hasbi mulai berpendapat lain.
Kini mereka bertiga berpandangan, untuk pertama kalinya Dulah melepaskan pandangan dari koper istimewa itu. Mereka diam barang sejenak.
“Gimana kita tau?” Ahmad menambahkan pertanyaan.
Mereka kembali diam, sebenarnya di masing-masing kepala mereka, tercuat beberapa logika yang rasional, demi memecahkan misteri yang terus saja bersemayam nyaman di dalam tas koper tersebut-permasalahannya, logika itu juga sebuah permasalahan baru, dan belum ada yang berani mengutarakannya.
“Kita buka?” Dulah rupanya yang paling bernyali untuk mengucapkannya.
Ahmad menelan ludahnya, seolah sedang kehausan. Hasbi sudah tak bernafsu lagi dengan segelas kopi yang rupanya benar-benar tanpa sadar, masih saja menempel di tangannya. Dulah, yang memberikan ide itu, tidak pula lebih tenang dari kedua kawannya. Imajinasi-imajinasi mereka kemudian berkembang liar. “Kalau” yang tadinya hanya kemungkinan, kini menjadi nyata di dalam kepala Ahmad. Hasbi meneguk kopinya, yang sudah bercampur dengan ampas kopi di bagian dasar gelas, mungkin itu adalah cita rasa terakhir yang dinikmatinya sebelum menutup usia. Dulah mencoba menanjamkan pendengarannya, dia semakin membungkuk, kalau-kalau saja ada suara yang tertangkap dari dalam tas koper tersebut.
“Kalau tas itu meledak waktu dibuka, Gimana?” Ahmad mulai mengutarakan kecemasannya.
“Ya kita mati.” Dulah memberikan komentar dari pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab itu.
“Nah, ini yang gue enggak ngerti. Sebenernya bisa aja tas itu dibuka, tapi enggak meledak. Masalahnya, gue enggak ngerti listrik.”
Hasbi mulai memaparkan sebuah skenario situasi, yang rupanya diadaptasi dari kisah yang sering ditontonnya di televisi. Memang, demi alasan pelayanan kepada pelanggan, Dulah memasang televisi 14 inci di samping warungnya, antena televisi itu, dia pasang dan sambungkan melalui atap masjid. Dengan alasan menonton televisi itulah, Ahmad dan Hasbi biasa datang ke warung itu, selain tentu mereka bertiga memang senang mengobrol. Selain sepak bola, tayangan kesukaan mereka bertiga adalah tayangan laga, apalagi yang diperankan oleh Steven Seagal, Van Dame, dan Chuck Norris[1]. Ledakan-ledakan dan situasi menegangkan yang biasa mereka saksikan di televisi itu-kadang sambil menikmati segelas kopi atau sebungkus rokok, kini tanpa mereka harapkan, harus mereka hadapi secara langsung dan tanpa kamera.
“Mad, elo kan ngerti listrik, sana coba elo yang buka.”
“Sialan, kalau AC(Air Conditioner), iya gue ngerti.”
Ahmad ini adalah seorang tukang Service AC yang bekerja hanya berdasarkan panggilan. Walau demikian, pelanggannya sudah meliputi hampir seluruh bagian ibukota. Pekerjaan ini, rupanya juga pernah hampir mengorbankan nyawanya; Ketika itu dia sedang memperbaiki AC di sebuah studio foto yang terletak di daerah Glodok, tahun 1998. Tiba-tiba kerusuhan terjadi, dan daerah pertokoan di sekitar situ mulai dibakar oleh masyarakat[2]. Beruntung saat itu pemilik studio-yang merupakan etnis Tionghoa sedang tidak ada di tempat, sehingga beliau terhindar dari aksi kekerasan massa. Menyadari aksi massa yang semakin mendekati studio foto itu, sang penjaga studio memutuskan untuk melarikan diri, dia terlupa pada Ahmad, yang masih berpeluh di lantai atas sambil memperbaiki AC. Hampir saja Ahmad terjebak di dalam studio foto itu, kalau tidak karena mulutnya yang terasa asam, dan dia memutuskan untuk keluar sejenak, merokok. Saat keluar dari gedung studio itulah, Ahmad menyadari bahwa ribuan manusia sedang bergerak ke arah pertokoan di sekitar situ, tunggang langgang Ahmad melarikan diri menggunakan motor bebek yang masih sempat diselamatkannya.
“Ah, tapikan belum tentu tas itu isinya bom.” Ahmad kemudian mulai berkilah.
“Ya, makanya, coba elo buka.” Dulah menanggapi pernyataan Ahmad.
“Kenapa bukan elo yang buka?”
Dulah tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Alih-alih menjawab, Dulah justru melihat sosok warga, yang paling diharapkannya untuk datang di situasi seperti sekarang ini. Beliau melintas diantara gradasi terang gelap jalanan yang tercipta akibat formasi lampu jalan yang berselingan; Pencerahan, suram, pencerahan, suram. Ahmad dan Hasbi juga ikut memperhatikan sosok yang betul merubah air muka Dulah. Saat melintasi cahaya lampu jalan, barulah kemudian Ahmad dan Hasbi menyadari kalau sosok tersebut, tak lain merupakan, pak Ali, sang ketua Rukun Warga setempat.
Tak ada sedikitpun prasangka yang mampir di benak pak Ali, ketika dia tiba di warung itu, dan ditatapi dengan aneh oleh ketiga orang warganya.
“Rokok, Dul, sebungkus.”
Permintaan tersebut, memberikan jawaban mengenai kedatangan pak Ali di warung Dulah. Sebetulnya kemunculan beliau ini merupakan pemandangan yang janggal, usianya sudah memasuki 68 tahun, rambutnya sudah putih semua, punggungnya sudah agak membungkuk dan lebih pelik lagi, konon beliau tak tahan dengan angin malam. Namun pula, rupanya kecanduan rokok telah memberikan kekuatan pada siapapun, termasuk si ringkih pak Ali ini, untuk kemudian menentang angin malam-yang dampaknya mungkin baru dia tuai esok pagi.
Dengan ragu dan agak segan tampaknya, Dulah menyempatkan diri melayani pak Ali. Dia mengambilkan rokok yang sudah dihapalnya, dan memberikan rokok tersebut pada pak Ali.
“Wah tas siapa itu? Bagus betul.”
Pria tua itu, sambil membayar rokok yang baru diterimanya, kemudian tersadar pada tas koper yang sejak tadi teronggok dan menjadi bahan perdebatan ketiga warganya tersebut. Dulah, Ahmad, dan Hasbi, lalu berpandangan, mereka sama-sama tak bisa menjawab pertanyaan, yang mereka sendiri masih pertanyakan.
“Itu bom, Pak!” Ahmad beramsumsi negatif untuk kesekian kalinya.
“Ha?!” Pak Ali terperanjat.
“Bukan-bukan, mungkin itu bom, tapi kita juga belum tau.” Hasbi mencoba meluruskan ucapan Ahmad, namun tampaknya tidak terucapkan dengan benar.
Pak Ali mulai mengerutkan keningnya.
Untuk menghindari kesalah pahaman yang berlarut-larut, lantas Dulah menjelaskan perkara yang sedang terjadi. Mendengar penjelasan itu, pak Ali tampak tenang-tenang saja. Justru dia menghampiri tas koper itu, dan mengambilnya. Tangan pak Ali terlihat ringan sekali ketika mengangkat tas tersebut. Dia memandangi tas koper di tangannya, tentu juga menyadari bahan yang membuat tas itu terlihat mahal, dan agaknya dia tertarik pula dengan harganya.
“Ya sudah, biar saya yang bawa ke kantor polisi.”
Pak Ali menganggukkan kepalanya kepada Dulah, Ahmad dan Hasbi, kemudian dia berjalan, melangkah tenang, meninggalkan tiga orang warganya yang hanya menatap kepergian pak Ali, tanpa jawaban. Mereka berlihat-lihatan dan terdiam untuk beberapa saat.
“Kalau isinya bukan bom, gimana?”
Dulah memberikan pertanyaan, yang mereka semua tau jawabannya-walau, tak ada yang rela menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya memandangi pak Ali, yang berjalan pelan menenteng tas koper itu, perlahan menjauh, melintasi gradasi cahaya terang-gelap di sepanjang jalan, yang diterangi oleh lampu jalan berselang-seling; Pencerahan, suram, pencerahan, suram.***
Ario Sasongko
[1] Ketiga tokoh itu, adalah bintang film laga yang terkemuka, di era tahun 1980-1990an.
[2] Bulan Mei Tahun 1998, terjadi kerusuhan massa yang berlangsung secara serempak selama beberapa hari. Latar belakang dari kerusuhan ini adalah situasi krisis moneter yang berkepanjangan, dan isu sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa yang bermukim di Jakarta. Tragedi ini masih menyisakan pertanyaan perihal misteri pihak yang memobilisasi massa, untuk melakukan penjarahan, dan aksi kekerasan dalam skala yang luar biasa besar itu.