Harusnya aku tak perlu berlama-lama hidup di dunia, karena lima menit yang lalu aku dipastikan batal masuk surga. Ya, bisakah kau bayangkan, bahwa lima menit ternyata cukup untuk menentukan nasib manusia? Kau lahir, menangis, merangkak, berjalan, makan, minum, tidur, sekolah, melakukan kebajikan dan dosa pertamamu, mengenal Tuhan, jatuh cinta, menikah, punya anak, bekerja, berapa lamakah semua itu sudah berlangsung? Aku? Ya, aku pernah lahir, menangis, merangkak, berjalan, makan, minum, tidur, mengenal Tuhan, pernah juga jatuh cinta, lalu aku bertemu dengan malapetaka; Sebuah lima menit.
Baiklah aku malas untuk berlama-lama, sebaiknya aku mulai saja ceritaku ini. Tadi pagi aku terbangun, sebenarnya bukan pagi yang istimewa, aku juga tak memiliki firasat tentang apapun. Pukul enam pagi aku sudah tiba di stasiun kereta, ikut berdiri mengantri bersama puluhan manusia yang siap untuk bekerja. Puluhan rambut klimis, kemeja dan tas ransel, berjejer bagaikan barang yang siap untuk menawarkan jasa. Aku tidak serapih itu, ya aku mengenakan kemeja, celana bahan, dan sepatu olahraga, tapi aku berbeda dengan mereka. Kedua tanganku memangku kardus kecil berisi lusinan buku agama, aku juga menggunakan peci hitam yang aku bawa ketika aku datang ke Jakarta.
Baiklah aku malas untuk berlama-lama, sebaiknya aku mulai saja ceritaku ini. Tadi pagi aku terbangun, sebenarnya bukan pagi yang istimewa, aku juga tak memiliki firasat tentang apapun. Pukul enam pagi aku sudah tiba di stasiun kereta, ikut berdiri mengantri bersama puluhan manusia yang siap untuk bekerja. Puluhan rambut klimis, kemeja dan tas ransel, berjejer bagaikan barang yang siap untuk menawarkan jasa. Aku tidak serapih itu, ya aku mengenakan kemeja, celana bahan, dan sepatu olahraga, tapi aku berbeda dengan mereka. Kedua tanganku memangku kardus kecil berisi lusinan buku agama, aku juga menggunakan peci hitam yang aku bawa ketika aku datang ke Jakarta.
Malakiatpun bisa berkhianat jika pergi ke Jakarta, karena ketakutan itu, ayahku memberikan peci yang dia harap bisa melindungiku dari racun-racun kota.
“Semua berawal dari pikiran, jadi lindungilah kepalamu.”
Hanya satu kalimat itulah nasihat ayahku, ketika aku berangkat dari kampung. Pada awalnya aku ingin menjadi seorang guru ngaji, memang di kampung tak banyak yang bisa kulakukan, karenanya aku lebih menghabiskan waktu dengan mempelajari agama. Setiap hari aku belajar mengaji, mempelajari hadist, dan berdiskusi dengan ustad di surau dekat rumah. Mungkin aku terlalu tenggelam dengan hal itu, sampai-sampai aku baru sadar bahwa aku tak memiliki keahlian lain kecuali yang berhubungan dengan agama. Sialnya-jika aku bisa berkata demikian, warga kampungku adalah orang-orang yang sangat taat dalam beribadah, mereka juga memiliki wawasan yang baik tentang agama. Hal ini tentu saja membuat keahlianku jadi terlihat umum dan semacam tidak berguna.
Kurasa dengan alasan itulah aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Seorang tetanggaku pernah menjadi pembantu dan tinggal di kota itu, namun hanya beberapa bulan saja, dia sudah kembali lagi ke kampung. Di matanya Jakarta adalah kota yang sangat mengerikan, sama persis seperti kisah yang kusaksikan di sinetron-sinetron televisi.
“Orang Jakarta ngga pernah solat, kalo udah subuh, mereka baru pulang ke rumah, terutama anak muda. Di rumah majikan saya, isi kulkasnya cuma ada bir. Terus, mereka juga ngga pernah ngucapin salam, soalnya udah ada bel yang kalo dipencet, bisa otomatis bilang Assalam mualaikum.”
Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan deras oleh tetanggaku, dan semua warga mendengarkannya sambil sesekali mengucapkan istighfar. Begitu mengerikannyakah kota Jakarta? Aku sendiri terkejut. Di lain sisi, kupikir di situlah kesempatanku. Kemampuan agama yang kumiliki tentu akan sangat berguna bagi mereka, karena mereka tak ada yang paham dengan perkara semacam itu. Dan dengan gagasan tersebut, akupun memutuskan untuk berangkat ke Jakarta, kota yang hari ini kutempati.
Namun rupanya di kota ini sangat sulit mendapat pekerjaan. Orang-orang kota butuh yang namanya sertifikat, benda itu semacam selembar kertas, dengan kalimat keterangan, cap stempel dan tanda tangan tertentu. Aku tak memilikinya, selama ini aku berpedoman bahwa yang terpenting dari urusan agama adalah keikhlasan dan hati yang bersih. Lagipula kata ustad di kampungku, nanti untuk masuk surga manusia tak butuh sertifikat pendidikan agama, Tuhan itu tau mana-mana makhluk ciptaannya yang pantas untuk masuk surga.
Lagipula juga mengajiku bagus, aku juga hapal sampai beberapa belas juz Al-quran, hapal dalil-dalil hadist yang shoheh dari riwayat berbagai imam besar, aku juga lumayan mengerti bahasa Arab. Namun entahlah, setiap pengurus masjid yang kudatangi, selalu memandangku dengan tatapan memicing, beberapa bahkan tak berani melihat mataku. Terlebih jika aku mengungkapkan argumen tentang tidak pentingnya sebuah sertifikat, mereka jadi semakin curiga. Mungkin potongan wajahku agak mirip dengan orang-orang yang menjadi incaran polisi, aku juga tak bisa mengambil kesimpulan, sudah lama aku tak menonton televisi.
Lalu bagaimana ceritanya, sehingga aku bisa berjualan buku agama? Ide tentang menjual buku agama ini aku dapat ketika aku memutuskan untuk tidur di stasiun kereta. Ya, aku memang hanya bermodal nekat saja datang ke Jakarta, tak ada kerabat, saudara, dan tak punya uang untuk mengontrak rumah atau menyewa kamar kos. Kalau tidur di stasiun kereta, pagi-pagi sekali aku sudah bangun, stasiun juga mulai ramai di jam-jam itu. Aku mandi di wc umum, kemudian ikut menaiki kereta dalam kota. Aku tak punya tujuan, aku hanya singgah dari stasiun ke stasiun berikutnya, duduk-duduk, kalau lapar dan tak ada uang, aku mengamen seadanya.
Sampai suatu hari, aku melihat seorang pria muda, paling tidak dia terlihat lebih muda dariku. Pemuda itu muncul di gerbong yang kutumpangi saat kereta baru saja berangkat dari stasiun Tebet. Wajahnya cerah sekali, dia juga mengenakan kemeja, celana bahan dan sepatu olah raga. Jujur saja, gaya berpakaiannya itu aku contek dan aku ikuti sampai sekarang. Saat muncul di gerbong kereta, mulutnya langsung menyanyikan lagu rohani, yang sepertinya menggunakan lirik yang dikutip dari ayat-ayat alkitab. Kedua tangannya memegang berbagai jenis gambar tempel, gambar Tuhan lebih tepatnya. Pemandangan ini membukakan mataku. Sangat luar biasa ketika menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh pemuda ini adalah berdakwah, sekaligus mencari nafkah. Caranya sederhana, dia mencari uang dengan berjualan gambar Tuhan, kemudian selama berjualan, dia menyanyikan isi alkitab, hasilnya adalah dua hal sekaligus; Dunia dan Akhirat. Kupikir hal ini sama saja seperti halnya guru mengaji ataupun tukang ceramah di masjid, terlebih Ayahku tentu setuju dengan pekerjaan semacam ini. Masalahnya adalah, aku butuh barang jualan yang bertema islam.
Akupun memutuskan untuk mengikuti pemuda ini. Rupanya dia adalah penjual yang sangat gigih. Mulutnya tak pernah berhenti untuk menyanyikan ayat alkitab, dia terus saja mondar-mandir dari satu gerbong ke gerbong lain, pegal juga kakiku mengikutinya. Di sisi lain, aku jadi semakin tergugah dengan semangat anak muda ini, kupikir dia juga sadar kalau yang dilakukannya adalah dakwah sekaligus mencari nafkah, dunia akhirat itu! Berjam-jam aku mengamatinya, melihat pendekatannya untuk mendapatkan pembeli, bahkan saat beristirahat di gerbong kereta saja, dia masih terus bernyanyi, aku jadi segan untuk mendekatinya.
Akhirnya dia memutuskan untuk turun di stasiun bogor, saat itu hari sudah mulai sore. Dia duduk di salah satu bangku peron sambil mengipas-ngipaskan tangannya ke leher. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
“Saya juga mau jualan.” Ucapku tanpa basa-basi.
Pemuda itu memandangku dengan heran, kupikir karena aku mengenakan peci.
“Ya saya islam.”
Pemuda itu semakin tak mengerti arah ucapanku.
“Saya juga mau jualan, tapi saya mau gambar tempel yang temanya islam.”
“Oh.” Pemuda itu tampaknya mulai mengerti gagasanku.
“Kalo mas mau, mas ikut saya aja nanti ke kios agen. Dia juga punya buku-buku islam, tapi susah mas ngejualnya. Saya pernah nyoba.”
“Loh, memang mas ngga apa-apa jualan buku islam?”
Pemuda itu mengangguk.
“Saya malah pengennya begitu. Tapi kaya’nya lidah saya ngga cocok buat ngomong islam, kurang kearab-araban.”
Sejujurnya aku semakin tak mengerti pola pikir pemuda ini. Mungkin dia memang salah satu pemeluk katolik yang juga sekaligus menghargai islam, kudengar memang ada juga orang-orang seperti itu.
“Kalo gitu mas nanti bisa antar saya ke kios agennya? Saya bisa ngaji kok, ngerti hadist rasul juga, bisa bahasa arab sedikit-sedikit.”
Pemuda itu mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Saya menjabat tangannya.
“Saya Yanto.” Ucap pemuda itu.
“Saya islam.” Lanjutnya kemudian.
****
Hari-hari barukupun dimulai sejak pertemuan itu, dan aku tentu bangga dengan apa yang kulakukan. Terbayang di kepalaku kegiatan malaikat yang sedang mencatat amal baik ketika aku sibuk berteriak di gerbong kereta, membagikan buku jualanku untuk dilihat-lihat, dan beberapa toh ada juga yang tertarik untuk membelinya. Pahalapun tentu bertambah banyak, salah satu buku yang kujual, misalnya buku penuntun sholat. Jika ada seseorang yang membeli buku itu, dan kemudian membacanya, mendapat manfaat, dan menerapkannya ketika sholat, itu berarti aku juga mendapat pahala, karena akulah yang berjasa menawarkan buku tersebut. Itu artinya, aku mendapat uang, dan aku juga mendapat pahala, lagi-lagi dunia akhirat!
Terkadang aku juga berpapasan dengan Yanto, kita memang berjualan agama yang berbeda, namun setiap kami bertemu di sebuah gerbong, dia pasti buru-buru berpindah gerbong sambil menyapaku sebentar. Sebenarnya aku tak masalah jika dia mau berjualan di gerbong yang sama, namun sepertinya dia merasa tak enak denganku.
Jualanku juga sepertinya lancar-lancar saja. Aku hanya perlu melihat sampul buku, dan membaca judul buku itu. Misalnya buku tentang kumpulan doa setelah sholat, aku hapal diluar kepala sebagian besar doa-doa itu, jadi aku tak perlu membaca buku itu lagi, aku bisa langsung membacakan contoh-contoh doa yang aku yakin ada di dalam buku tersebut. Contoh lain, misalnya buku tentang tuntunan berpuasa dan ibadah di bulan Ramadhan, aku juga hapal semua ayat dan hadist yang bertema puasa, jadi tanpa membaca buku itu, aku bisa dengan lantang membacakan contoh ayat atau hadist, sehingga hal itu memotivasi orang-orang untuk membeli buku jualanku.
Dengan semua keahlianku itu, wajar saja jika kemudian aku bisa mendapatkan lumayan banyak penghasilan. Kini aku memiliki uang untuk menyewa kamar kos di bogor, harganya juga lumayan murah. Pukul lima pagi, aku sudah mengambil barang dagangan di kios agen dekat stasiun kereta. Itu juga awalnya saja, lama kelamaan, aku berani berinvestasi, membayar di muka buku-buku itu dalam jumlah banyak, sehingga harganya menjadi jauh lebih murah, dan kemudian menyimpan stok barang daganganku di kamar kos. Semakin lama aku juga mulai bisa mengirimkan uang ke kampung, sesekali aku juga menelpon ayahku di sana. Beliau sungguh bangga mendengar ceritaku, dia memang percaya kalau aku bisa bertahan di Jakarta. Pernah pula aku diingatkan, bahwa tuntunan hidupku harus tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist, dan aku harus percaya kalau nantinya jalan hidup akan ditunjukkan sendiri oleh Tuhan.
Aku setuju dengan konsep hidup yang diucapkan oleh ayahku itu, dan memang hal tersebutlah yang aku lakukan hingga hari ini. Aku percaya kalau Tuhan takkan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatNYA. Kalau dipikir-pikir, memang demikianlah yang terjadi dengan hidupku. Aku memang seperti dituntun oleh Tuhan, sehingga aku memutuskan untuk berjualan buku agama. Memang awalnya aku berniat untuk menjadi semacam guru ngaji, atau penceramah. Tapi mungkin Tuhan merasa kalau pekerjaan itu tak cocok untukku, mungkin kalau aku tetap ingin menjadi guru ngaji, maka hidupku masih tidak jelas, tak seperti sekarang.
Uang yang kuhasilkanpun semakin banyak, bahkan di kampung, uang yang kukirim bisa ditabung oleh ayah, untuk kemudian dibelikan hewan ternak. Aku juga bisa menyewa rumah kontrakan, walau ukurannya masih sangat kecil, namun di rumah ini tersedia banyak ruang untuk menyimpan buku daganganku. Sebenarnya aku berniat untuk menjadi agen, berkali-kali niat ini aku sampaikan kepada agenku, namun nampaknya beliau masih belum percaya, dan selalu menatapku dengan curiga.
“Nanti, nanti!” Hanya itu kata yang diucapkannya, ketus.
Kupikir nanti, jika aku bisa membuka kios agen sendiri, aku akan mengajak anak-anak muda di kampungku, mereka tentu memiliki kemampuan agama yang bagus. Pada akhirnya, aku bisa membukakan lapangan pekerjaan untuk warga kampungku, sehingga nanti-nanti tak ada lagi yang harus luntang lantung datang ke Jakarta, tidak seperti yang dulu kualami. Selain itu, aku juga memberikan pekerjaan yang halal, kami semua nantinya tidak hanya mendapat penghasilan, tapi juga pahala; Dunia dan akhirat! Bukankah niatan itu sangat mulia?
Demikianlah hidupku kini berubah. Yanto juga mulai kuajarkan mengaji dan sholat, sampai akhirnya dia memutuskan untuk kembali berjualan buku-buku bertema agama islam, aku bangga juga bisa memperbaiki hidupnya. Niatan untuk menjadi guru ngaji sebenarnya terkadang muncul lagi, namun aku bisa cepat-cepat mengesampingkan itu semua, aku punya pekerjaan yang tak kalah mulia. Ada yang bilang, wajah kita akan berubah jika kita banyak melakukan amal baik. Kupikir itulah yang terjadi padaku, setiap bercermin, aku merasa kalau wajahku semakin lama semakin cerah, tidak bersinar, tapi cerah, entah bagaimana menjelaskannya. Kalau kuhitung-hitung, pahalaku juga rasanya semakin banyak, bahu kiriku juga rasanya semakin ringan saja-kau tau malaikat pencatat dosa konon berada di bahu kiri, mungkin karena jarang bekerja, dia sering tak ada di tempat. Singkat kata saja, aku yakin masuk surga!
Begitulah keyakinan masuk surga itu sebenarnya masih dapat aku rasakan hingga pagi ini. Hanya pagi yang biasa saja sebenarnya, tak ada yang berbeda, pukul enam pagi aku sudah berada di stasiun kereta, duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia. Aku membawa stok buku terakhirku bulan ini, sungguh luar biasa, karena sebenarnya hari baru memasuki pertengahan bulan. Itu artinya penjualanku bulan ini telah mengalami peningkatan.
Kereta yang kutunggu seperti agak terlambat, sama seperti biasanya. Di saat-saat penantianku itulah, kemudian aku melihat Yanto yang sedang berdiri di pinggir peron, ini adalah hari keduanya berjualan buku agama islam. Aku memanggilnya, dan Yantopun, entah saat memandangku, seperti teringat sesuatu, dan langsung bergegas duduk di sebelahku. Setelah itu, dia mulai sibuk memilih salah satu buku yang dia jual, buku berjudul “Tuntunan Sholat Lengkap.” Dia membuka salah satu halaman, dan memandangku dengan ekspresi wajah yang agak aneh.
“Mas, saya heran, kok ini kalimat syahadatnya beda ya, nggak yang mas ajarin ke saya.”
Cukup terkejut juga aku mendengarnya, aku memang belum pernah membuka buku yang kujual, sama sekali. Kupikir aku sudah sangat yakin dengan ilmu yang kupelajari, jadi aku merasa tak perlu membaca buku-buku yang kujual, aku sudah paham semua itu. Jadi mudah saja, kupikir Yantolah yang melakukan kesalahan, mungkin dia salah menghapal, jadi kalimat syahadat yang dia tau tentu berbeda dengan isi di buku itu. Dengan tenang saja, aku mengambil buku yang dipegang Yanto dan mulai membacanya. Satu kali aku membacanya. Dua kali aku membacanya. Tiga kali, empat kali, berkali-kali aku membacanya, dan ya Tuhan! Kalimat ini memang berbeda, dan artinya jadi sangat melenceng dari yang seharusnya!
Aku bergegas memeriksa buku yang sama, di dalam kardus kecil yang kubawa. Semuanya sama seperti yang baru saja kubaca, semuanya sama salahnya! Wajahku menjadi merah padam, jantungku berdegup dengan kencang, rasanya semacam ada hawa panas yang mulai mengalir ke dadaku, dan rasanya panas itu sampai ke ubun-ubun. Terbayang olehku wajah sang pemilik kios agen, tempatku mendapatkan buku-buku itu. Aku berdiri, dan aku segera berlari menghampiri kios agenku yang letaknya tak jauh dari stasiun kereta.
“Mas mau kemana?!” Teriak Yanto, heran.
“Buang semuanya! Buang!” Hanya itu yang bisa aku teriakkan padanya.
Hanya beberapa menit saja waktu yang kubutuhkan untuk bisa sampai di kios agen yang menjadi langgananku, dan aku tak percaya pemandangan yang kulihat. Beberapa mobil polisi sudah terparkir di tempat itu, para petugas tampak menggeledah buku-buku di dalam kios, dan mereka membawa semua buku itu. Apa yang terjadi? Aku tak melihat batang hidung si pemilik kios, sama sekali. Aku tak mampu menanyakan apapun kepada petugas itu, tubuhku sudah lemas rasanya. Dalam lima menit, aku menyadari kalau aku telah menyebarkan ajaran yang salah.
Harusnya aku tak perlu berlama-lama hidup di dunia, karena lima menit yang lalu aku dipastikan batal masuk surga.
Ario Sasongko
“Semua berawal dari pikiran, jadi lindungilah kepalamu.”
Hanya satu kalimat itulah nasihat ayahku, ketika aku berangkat dari kampung. Pada awalnya aku ingin menjadi seorang guru ngaji, memang di kampung tak banyak yang bisa kulakukan, karenanya aku lebih menghabiskan waktu dengan mempelajari agama. Setiap hari aku belajar mengaji, mempelajari hadist, dan berdiskusi dengan ustad di surau dekat rumah. Mungkin aku terlalu tenggelam dengan hal itu, sampai-sampai aku baru sadar bahwa aku tak memiliki keahlian lain kecuali yang berhubungan dengan agama. Sialnya-jika aku bisa berkata demikian, warga kampungku adalah orang-orang yang sangat taat dalam beribadah, mereka juga memiliki wawasan yang baik tentang agama. Hal ini tentu saja membuat keahlianku jadi terlihat umum dan semacam tidak berguna.
Kurasa dengan alasan itulah aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Seorang tetanggaku pernah menjadi pembantu dan tinggal di kota itu, namun hanya beberapa bulan saja, dia sudah kembali lagi ke kampung. Di matanya Jakarta adalah kota yang sangat mengerikan, sama persis seperti kisah yang kusaksikan di sinetron-sinetron televisi.
“Orang Jakarta ngga pernah solat, kalo udah subuh, mereka baru pulang ke rumah, terutama anak muda. Di rumah majikan saya, isi kulkasnya cuma ada bir. Terus, mereka juga ngga pernah ngucapin salam, soalnya udah ada bel yang kalo dipencet, bisa otomatis bilang Assalam mualaikum.”
Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan deras oleh tetanggaku, dan semua warga mendengarkannya sambil sesekali mengucapkan istighfar. Begitu mengerikannyakah kota Jakarta? Aku sendiri terkejut. Di lain sisi, kupikir di situlah kesempatanku. Kemampuan agama yang kumiliki tentu akan sangat berguna bagi mereka, karena mereka tak ada yang paham dengan perkara semacam itu. Dan dengan gagasan tersebut, akupun memutuskan untuk berangkat ke Jakarta, kota yang hari ini kutempati.
Namun rupanya di kota ini sangat sulit mendapat pekerjaan. Orang-orang kota butuh yang namanya sertifikat, benda itu semacam selembar kertas, dengan kalimat keterangan, cap stempel dan tanda tangan tertentu. Aku tak memilikinya, selama ini aku berpedoman bahwa yang terpenting dari urusan agama adalah keikhlasan dan hati yang bersih. Lagipula kata ustad di kampungku, nanti untuk masuk surga manusia tak butuh sertifikat pendidikan agama, Tuhan itu tau mana-mana makhluk ciptaannya yang pantas untuk masuk surga.
Lagipula juga mengajiku bagus, aku juga hapal sampai beberapa belas juz Al-quran, hapal dalil-dalil hadist yang shoheh dari riwayat berbagai imam besar, aku juga lumayan mengerti bahasa Arab. Namun entahlah, setiap pengurus masjid yang kudatangi, selalu memandangku dengan tatapan memicing, beberapa bahkan tak berani melihat mataku. Terlebih jika aku mengungkapkan argumen tentang tidak pentingnya sebuah sertifikat, mereka jadi semakin curiga. Mungkin potongan wajahku agak mirip dengan orang-orang yang menjadi incaran polisi, aku juga tak bisa mengambil kesimpulan, sudah lama aku tak menonton televisi.
Lalu bagaimana ceritanya, sehingga aku bisa berjualan buku agama? Ide tentang menjual buku agama ini aku dapat ketika aku memutuskan untuk tidur di stasiun kereta. Ya, aku memang hanya bermodal nekat saja datang ke Jakarta, tak ada kerabat, saudara, dan tak punya uang untuk mengontrak rumah atau menyewa kamar kos. Kalau tidur di stasiun kereta, pagi-pagi sekali aku sudah bangun, stasiun juga mulai ramai di jam-jam itu. Aku mandi di wc umum, kemudian ikut menaiki kereta dalam kota. Aku tak punya tujuan, aku hanya singgah dari stasiun ke stasiun berikutnya, duduk-duduk, kalau lapar dan tak ada uang, aku mengamen seadanya.
Sampai suatu hari, aku melihat seorang pria muda, paling tidak dia terlihat lebih muda dariku. Pemuda itu muncul di gerbong yang kutumpangi saat kereta baru saja berangkat dari stasiun Tebet. Wajahnya cerah sekali, dia juga mengenakan kemeja, celana bahan dan sepatu olah raga. Jujur saja, gaya berpakaiannya itu aku contek dan aku ikuti sampai sekarang. Saat muncul di gerbong kereta, mulutnya langsung menyanyikan lagu rohani, yang sepertinya menggunakan lirik yang dikutip dari ayat-ayat alkitab. Kedua tangannya memegang berbagai jenis gambar tempel, gambar Tuhan lebih tepatnya. Pemandangan ini membukakan mataku. Sangat luar biasa ketika menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh pemuda ini adalah berdakwah, sekaligus mencari nafkah. Caranya sederhana, dia mencari uang dengan berjualan gambar Tuhan, kemudian selama berjualan, dia menyanyikan isi alkitab, hasilnya adalah dua hal sekaligus; Dunia dan Akhirat. Kupikir hal ini sama saja seperti halnya guru mengaji ataupun tukang ceramah di masjid, terlebih Ayahku tentu setuju dengan pekerjaan semacam ini. Masalahnya adalah, aku butuh barang jualan yang bertema islam.
Akupun memutuskan untuk mengikuti pemuda ini. Rupanya dia adalah penjual yang sangat gigih. Mulutnya tak pernah berhenti untuk menyanyikan ayat alkitab, dia terus saja mondar-mandir dari satu gerbong ke gerbong lain, pegal juga kakiku mengikutinya. Di sisi lain, aku jadi semakin tergugah dengan semangat anak muda ini, kupikir dia juga sadar kalau yang dilakukannya adalah dakwah sekaligus mencari nafkah, dunia akhirat itu! Berjam-jam aku mengamatinya, melihat pendekatannya untuk mendapatkan pembeli, bahkan saat beristirahat di gerbong kereta saja, dia masih terus bernyanyi, aku jadi segan untuk mendekatinya.
Akhirnya dia memutuskan untuk turun di stasiun bogor, saat itu hari sudah mulai sore. Dia duduk di salah satu bangku peron sambil mengipas-ngipaskan tangannya ke leher. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
“Saya juga mau jualan.” Ucapku tanpa basa-basi.
Pemuda itu memandangku dengan heran, kupikir karena aku mengenakan peci.
“Ya saya islam.”
Pemuda itu semakin tak mengerti arah ucapanku.
“Saya juga mau jualan, tapi saya mau gambar tempel yang temanya islam.”
“Oh.” Pemuda itu tampaknya mulai mengerti gagasanku.
“Kalo mas mau, mas ikut saya aja nanti ke kios agen. Dia juga punya buku-buku islam, tapi susah mas ngejualnya. Saya pernah nyoba.”
“Loh, memang mas ngga apa-apa jualan buku islam?”
Pemuda itu mengangguk.
“Saya malah pengennya begitu. Tapi kaya’nya lidah saya ngga cocok buat ngomong islam, kurang kearab-araban.”
Sejujurnya aku semakin tak mengerti pola pikir pemuda ini. Mungkin dia memang salah satu pemeluk katolik yang juga sekaligus menghargai islam, kudengar memang ada juga orang-orang seperti itu.
“Kalo gitu mas nanti bisa antar saya ke kios agennya? Saya bisa ngaji kok, ngerti hadist rasul juga, bisa bahasa arab sedikit-sedikit.”
Pemuda itu mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Saya menjabat tangannya.
“Saya Yanto.” Ucap pemuda itu.
“Saya islam.” Lanjutnya kemudian.
****
Hari-hari barukupun dimulai sejak pertemuan itu, dan aku tentu bangga dengan apa yang kulakukan. Terbayang di kepalaku kegiatan malaikat yang sedang mencatat amal baik ketika aku sibuk berteriak di gerbong kereta, membagikan buku jualanku untuk dilihat-lihat, dan beberapa toh ada juga yang tertarik untuk membelinya. Pahalapun tentu bertambah banyak, salah satu buku yang kujual, misalnya buku penuntun sholat. Jika ada seseorang yang membeli buku itu, dan kemudian membacanya, mendapat manfaat, dan menerapkannya ketika sholat, itu berarti aku juga mendapat pahala, karena akulah yang berjasa menawarkan buku tersebut. Itu artinya, aku mendapat uang, dan aku juga mendapat pahala, lagi-lagi dunia akhirat!
Terkadang aku juga berpapasan dengan Yanto, kita memang berjualan agama yang berbeda, namun setiap kami bertemu di sebuah gerbong, dia pasti buru-buru berpindah gerbong sambil menyapaku sebentar. Sebenarnya aku tak masalah jika dia mau berjualan di gerbong yang sama, namun sepertinya dia merasa tak enak denganku.
Jualanku juga sepertinya lancar-lancar saja. Aku hanya perlu melihat sampul buku, dan membaca judul buku itu. Misalnya buku tentang kumpulan doa setelah sholat, aku hapal diluar kepala sebagian besar doa-doa itu, jadi aku tak perlu membaca buku itu lagi, aku bisa langsung membacakan contoh-contoh doa yang aku yakin ada di dalam buku tersebut. Contoh lain, misalnya buku tentang tuntunan berpuasa dan ibadah di bulan Ramadhan, aku juga hapal semua ayat dan hadist yang bertema puasa, jadi tanpa membaca buku itu, aku bisa dengan lantang membacakan contoh ayat atau hadist, sehingga hal itu memotivasi orang-orang untuk membeli buku jualanku.
Dengan semua keahlianku itu, wajar saja jika kemudian aku bisa mendapatkan lumayan banyak penghasilan. Kini aku memiliki uang untuk menyewa kamar kos di bogor, harganya juga lumayan murah. Pukul lima pagi, aku sudah mengambil barang dagangan di kios agen dekat stasiun kereta. Itu juga awalnya saja, lama kelamaan, aku berani berinvestasi, membayar di muka buku-buku itu dalam jumlah banyak, sehingga harganya menjadi jauh lebih murah, dan kemudian menyimpan stok barang daganganku di kamar kos. Semakin lama aku juga mulai bisa mengirimkan uang ke kampung, sesekali aku juga menelpon ayahku di sana. Beliau sungguh bangga mendengar ceritaku, dia memang percaya kalau aku bisa bertahan di Jakarta. Pernah pula aku diingatkan, bahwa tuntunan hidupku harus tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist, dan aku harus percaya kalau nantinya jalan hidup akan ditunjukkan sendiri oleh Tuhan.
Aku setuju dengan konsep hidup yang diucapkan oleh ayahku itu, dan memang hal tersebutlah yang aku lakukan hingga hari ini. Aku percaya kalau Tuhan takkan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatNYA. Kalau dipikir-pikir, memang demikianlah yang terjadi dengan hidupku. Aku memang seperti dituntun oleh Tuhan, sehingga aku memutuskan untuk berjualan buku agama. Memang awalnya aku berniat untuk menjadi semacam guru ngaji, atau penceramah. Tapi mungkin Tuhan merasa kalau pekerjaan itu tak cocok untukku, mungkin kalau aku tetap ingin menjadi guru ngaji, maka hidupku masih tidak jelas, tak seperti sekarang.
Uang yang kuhasilkanpun semakin banyak, bahkan di kampung, uang yang kukirim bisa ditabung oleh ayah, untuk kemudian dibelikan hewan ternak. Aku juga bisa menyewa rumah kontrakan, walau ukurannya masih sangat kecil, namun di rumah ini tersedia banyak ruang untuk menyimpan buku daganganku. Sebenarnya aku berniat untuk menjadi agen, berkali-kali niat ini aku sampaikan kepada agenku, namun nampaknya beliau masih belum percaya, dan selalu menatapku dengan curiga.
“Nanti, nanti!” Hanya itu kata yang diucapkannya, ketus.
Kupikir nanti, jika aku bisa membuka kios agen sendiri, aku akan mengajak anak-anak muda di kampungku, mereka tentu memiliki kemampuan agama yang bagus. Pada akhirnya, aku bisa membukakan lapangan pekerjaan untuk warga kampungku, sehingga nanti-nanti tak ada lagi yang harus luntang lantung datang ke Jakarta, tidak seperti yang dulu kualami. Selain itu, aku juga memberikan pekerjaan yang halal, kami semua nantinya tidak hanya mendapat penghasilan, tapi juga pahala; Dunia dan akhirat! Bukankah niatan itu sangat mulia?
Demikianlah hidupku kini berubah. Yanto juga mulai kuajarkan mengaji dan sholat, sampai akhirnya dia memutuskan untuk kembali berjualan buku-buku bertema agama islam, aku bangga juga bisa memperbaiki hidupnya. Niatan untuk menjadi guru ngaji sebenarnya terkadang muncul lagi, namun aku bisa cepat-cepat mengesampingkan itu semua, aku punya pekerjaan yang tak kalah mulia. Ada yang bilang, wajah kita akan berubah jika kita banyak melakukan amal baik. Kupikir itulah yang terjadi padaku, setiap bercermin, aku merasa kalau wajahku semakin lama semakin cerah, tidak bersinar, tapi cerah, entah bagaimana menjelaskannya. Kalau kuhitung-hitung, pahalaku juga rasanya semakin banyak, bahu kiriku juga rasanya semakin ringan saja-kau tau malaikat pencatat dosa konon berada di bahu kiri, mungkin karena jarang bekerja, dia sering tak ada di tempat. Singkat kata saja, aku yakin masuk surga!
Begitulah keyakinan masuk surga itu sebenarnya masih dapat aku rasakan hingga pagi ini. Hanya pagi yang biasa saja sebenarnya, tak ada yang berbeda, pukul enam pagi aku sudah berada di stasiun kereta, duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia. Aku membawa stok buku terakhirku bulan ini, sungguh luar biasa, karena sebenarnya hari baru memasuki pertengahan bulan. Itu artinya penjualanku bulan ini telah mengalami peningkatan.
Kereta yang kutunggu seperti agak terlambat, sama seperti biasanya. Di saat-saat penantianku itulah, kemudian aku melihat Yanto yang sedang berdiri di pinggir peron, ini adalah hari keduanya berjualan buku agama islam. Aku memanggilnya, dan Yantopun, entah saat memandangku, seperti teringat sesuatu, dan langsung bergegas duduk di sebelahku. Setelah itu, dia mulai sibuk memilih salah satu buku yang dia jual, buku berjudul “Tuntunan Sholat Lengkap.” Dia membuka salah satu halaman, dan memandangku dengan ekspresi wajah yang agak aneh.
“Mas, saya heran, kok ini kalimat syahadatnya beda ya, nggak yang mas ajarin ke saya.”
Cukup terkejut juga aku mendengarnya, aku memang belum pernah membuka buku yang kujual, sama sekali. Kupikir aku sudah sangat yakin dengan ilmu yang kupelajari, jadi aku merasa tak perlu membaca buku-buku yang kujual, aku sudah paham semua itu. Jadi mudah saja, kupikir Yantolah yang melakukan kesalahan, mungkin dia salah menghapal, jadi kalimat syahadat yang dia tau tentu berbeda dengan isi di buku itu. Dengan tenang saja, aku mengambil buku yang dipegang Yanto dan mulai membacanya. Satu kali aku membacanya. Dua kali aku membacanya. Tiga kali, empat kali, berkali-kali aku membacanya, dan ya Tuhan! Kalimat ini memang berbeda, dan artinya jadi sangat melenceng dari yang seharusnya!
Aku bergegas memeriksa buku yang sama, di dalam kardus kecil yang kubawa. Semuanya sama seperti yang baru saja kubaca, semuanya sama salahnya! Wajahku menjadi merah padam, jantungku berdegup dengan kencang, rasanya semacam ada hawa panas yang mulai mengalir ke dadaku, dan rasanya panas itu sampai ke ubun-ubun. Terbayang olehku wajah sang pemilik kios agen, tempatku mendapatkan buku-buku itu. Aku berdiri, dan aku segera berlari menghampiri kios agenku yang letaknya tak jauh dari stasiun kereta.
“Mas mau kemana?!” Teriak Yanto, heran.
“Buang semuanya! Buang!” Hanya itu yang bisa aku teriakkan padanya.
Hanya beberapa menit saja waktu yang kubutuhkan untuk bisa sampai di kios agen yang menjadi langgananku, dan aku tak percaya pemandangan yang kulihat. Beberapa mobil polisi sudah terparkir di tempat itu, para petugas tampak menggeledah buku-buku di dalam kios, dan mereka membawa semua buku itu. Apa yang terjadi? Aku tak melihat batang hidung si pemilik kios, sama sekali. Aku tak mampu menanyakan apapun kepada petugas itu, tubuhku sudah lemas rasanya. Dalam lima menit, aku menyadari kalau aku telah menyebarkan ajaran yang salah.
Harusnya aku tak perlu berlama-lama hidup di dunia, karena lima menit yang lalu aku dipastikan batal masuk surga.
Ario Sasongko