Wanita itu bernama Sarinah, Tubuhnya gempal, dengan rambut yang hanya diikat ke belakang menggunakan karet gelang, dan selendang yang menutupi rambutnya tersebut. Siang itu, Sarinah menebarkan kain selebar taplak meja, di salah satu sisi peron stasiun kereta. Beberapa jenis makanan dia jejerkan di atasnya; Bakwan udang, bihun dan potongan daging, beberapa jenis sayuran, serta stok bumbu kacang untuk dijadikan bahan pembuat pecel. Ini adalah hari pertamanya berjualan di stasiun Cikini. Siang itu tidak terlalu ramai, hari senin memang, tapi stasiun-stasiun kereta memang hanya penuh pada saat jam berangkat dan pulang kerja saja. Sarinah duduk dengan kedua kakinya dilipat ke samping. Sambil menunggu pembeli pertama, Sarinah memandang keadaan di sekitarnya. Ada beberapa penjual minuman yang sedang berjongkok menunggu kereta, beberapa orang perempuan setengah baya yang duduk di zona penumpang khusus perempuan, beberapa orang pria duduk berkumpul di salah satu dinding pembatas peron-sebagian besar dari mereka berkumis.
Hampir lima puluh menit berlalu, ketika seorang pria yang menggandeng anak berusia lima tahun datang menghampiri, pelanggan pertamanya.
Hampir lima puluh menit berlalu, ketika seorang pria yang menggandeng anak berusia lima tahun datang menghampiri, pelanggan pertamanya.
“Pecel seporsi berapa?” Tanya pria itu, sambil mulai berjongkok.
“Empat ribu, bakwannya sepotong lima ratus, kalau mau bihun tambah seribu lima ratus rupiah.”
“Kamu mau apa?” Tanya pria itu pada anak kecil yang digandengnya, sambil berpikir.
Anak itu menunjuk ke arah bihun daging.
“Ya udah Bu, saya mau pecel tambah bihun aja.”
Dengan sigap, Sarinahpun membuatkan pesanan pembelinya itu. Memotong sayuran, menambahkan bihun daging dan menyiramnya dengan bumbu kacang. Sarinah menggunakan kertas berawarna cokelat sebagai wadah jualannya, tak lupa sebuah lidi kecil sebagai pengganti garpu. Pria itu menerima pesanannya, membayar dan mendapat kembalian lima ratus rupiah.
Awal yang baik bagi Sarinah, dan sejak pelanggan pertamanya itu, ada saja satu-dua orang yang mulai datang untuk membeli pecel buatannya, terkadang ditambahkan bakwan, bihun, atau malah tidak sama sekali.
Menjelang sore, seorang pria yang sejak tadi memang ada di stasiun itu, datang dan berdiri, bertolak pinggang di sebelahnya. Pria ini berambut ikal disisir ke belakang, kumisnya cukup tebal, mengenakan kaus berkerah, celanan jeans belel, dan sebuah buku tulis terselip di saku belakangnya.
“Ibu jualan di sini sudah izin?”
“Saya biasa jualan pindah-pindah stasiun, Pak. Itu juga ngga izin.”
“Kalo Ibu mau jualan tetap di sini, harus izin Bu, ada uang administrasinya.”
Sarinah sebenarnya tak terlalu mengerti maksud dari uang administrasi, yang dia tau uang administrasi itu semacam uang rokok, karena memang dengan rokok rasanya segala urusan di kota ini jadi lancar.
“Sebulan tiga puluh ribu.” Pria itu menambahkan.
Sarinah mengangguk sebentar.
“Saya ngga punya uangnya hari ini.”
Pria itu berjongkok dan memandang makanan yang disajikan oleh Sarinah.
“Coba buat satu.”
Sarinah menurutinya, dan membuatkan satu porsi untuk pria itu, pecel dan bihun daging, serta bakwan.
“Kalo ada yang minta uang, bilang aja udah bayar ke Yoyok. Uangnya saya tunggu besok.” Ucap pria yang rupanya bernama Yoyok itu, sambil mengambil satu porsi makanan yang dibuatkan oleh Sarinah, dan kemudian berjalan pergi.
****
Malamnya, Sarinah sudah berada di belakang rumahnya, sibuk membilas tumpukan pakaian yang masih berbelepotan sabun. Ada tempat kos di dekat rumahnya, dan Sarinah bertugas mencuci pakaian anak-anak kos di tempat itu. Sambil mencuci, biasanya Sarinah membawa radio kecil, dan mendengarkan lagu dari stasiun radio kesukaannya, lagu dangdut. Demikianlah, kegiatan mencuci, memeras, dan menjemur pakaian itu selalu diiringi oleh lagu dangdut berbagai tema, mulai dari janda kembang, suami pemabuk, perselingkuhan, putus cinta, atau romansa cinta kelas bawah.
Mungkin memang lagu dangdut sangat menggugah selera, sehingga tak hanya Sarinah, tapi tikus-tikus got juga sering berseliweran di tempat itu. Sarinah tak pernah merasa terganggu dengan binatang-binatang ini, bahkan Sarinah sering memberikan sisa makanan yang tak habis terjual, sehingga tikus-tikus inipun akhirnya makan sambil asyik menikmati lagu-lagu dangdut. Sementara itu, Sarinah terus saja mencuci, sambil terkadang dengan refleks menggoyangkan pinggulnya. Sementara untuk tikus-tikus itu, entahlah apa mereka bisa benar-benar menikmati lagu dangdut tersebut, atau mungkin mereka mendengar semacam decitan berirama melayu saja.
Begitulah, Sarinah menikmati hidupnya di malam hari, mencuci tumpukan pakaian kotor sambil berjoget kecil, atau menggumamkan lirik lagu dangdut yang sedang didengarkannya. Tikus-tikus got berkumpul menikmati sisa jualan Sarinah yang tidak habis, mereka memang terlihat menjijikan, namun hanya merekalah teman yang Sarinah punya untuk berbagi suasana. Kegiatan mencuci ini biasanya baru selesai pada tengah malam, nanti pukul lima dini hari, Sarinah harus pergi ke pasar untuk menyiapkan bahan makanan yang akan digunakannya untuk berjualan.
Siang harinya di stasiun kereta, Sarinah menyetorkan uang administrasi kepada Yoyok. Dia pikir sejak hari itu dia dapat berjualan dengan tenang. Pembeli juga semakin berjubel di sore hari, usaha Sarinah mulai berjalan lancar. Meski demikian, Sarinah tetap saja menyisakan sedikit makanan untuk para tikus, sahabat-sahabatnya. Paling tidak itu yang dia rencanakan, sampai kemudian Yoyok datang dan meminta dagangan yang disisakan oleh Sarinah. Permintaan itu tak bisa ditolak oleh Sarinah, dia tak menemukan alasan yang tepat, tak mungkin dia bilang makanan ini untuk memberi makan tikus, Yoyok pasti tersinggung. Terlebih lagi Yoyok mengatakan itu sebagai hutang, jadi nanti tentu Yoyok membayarnya.
Demikianlah, kemudian di malam hari, tikus-tikus itu berdatangan saat Sarinah mulai memutar lagu dangdut dan mencuci baju. Makhluk-makhluk kecil itu mulai berseliweran, mereka menemukan lagu-lagu dangdut dari stasiun radio kesukaan Sarinah, namun mereka tak menemukan hal yang satunya lagi, yang biasa mereka santap sambil mendengarkan lagu dangdut. Sarinah juga menjadi agak malas untuk sesekali bergumam sambil menggoyangkan pinggulnya. Dia merasa agak sedikit berdosa membiarkan tikus-tikus itu berkeliaran mengendus-endus lantai yang sudah agak berlumut di tempat itu.
Keadaan juga tak kunjung membaik. Masakan Sarinah ternyata memang enak, dia mulai memiliki pelanggan tetap yang melintasi stasiun kereta itu. Bahkan beberapa di antaranya sengaja mampir untuk membeli pecel dagangan Sarinah. Masakan Sarinah ini rupanya membuat tak hanya menjadi daya tarik bagi para pelanggan, namun juga bagi Yoyok dan teman-temannya. Mereka mulai sering meminta barang dagangan Sarinah, awalnya mereka sebut sebagai “hutang.” Namun lama kelamaan, hutang itupun sudah tidak dibahas lagi. Sarinah juga tak berani untuk memotongnya dari uang administrasi yang diberikannya kepada Yoyok. Pernah dia sekali mencoba melakukan itu, namun Yoyok justru marah, dan meminta Sarinah untuk menagih hutang pada teman-teman Yoyok yang lain terlebih dahulu, hal yang tentu takkan ditanggapi oleh mereka.
Sebenarnya Sarinah sudah mulai mempasrahkan sikap Yoyok dan teman-temannya itu. Penghasilannya juga tetap saja cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, belum lagi ditambah dari hasil mencuci baju yang dilakukannya setiap malam. Nasib makanan sisa ini juga akan sama saja, jika tak dimakan oleh Yoyok dan teman-temannya, tentu Sarinah akan memberikannya pada tikus-tikus di belakang rumah. Hanya saja, tikus-tikus itu selama ini menjadi temannya sambil menikmati lagu dangdut saat mencuci baju di malam hari. Tapi lagi-lagi Sarinah hanya bisa berpasrah, setiap orang juga memiliki rejeki mereka masing-masing, mungkin sisa dagangan ini memang rejeki Yoyok dan teman-temannya, tak ada yang dilebihkan dan tak ada yang dikurangi.
Berbulan-bulan hal tersebut sudah menjadi rutinitas yang biasa saja. Sarinah juga mulai merasa terbiasa melihat tikus-tikus di rumahnya yang hanya berkeliaran, mengendus-endus lantai tanpa menemukan sisa makanan untuk mereka santap. Sarinah juga sudah mulai bisa menikmati lagu dangdut di stasiun radio kesukaannya, pinggulnya sudah dengan leluasa bergoyang kecil kembali, sambil menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya kala mencuci pakaian. Hidupnya mulai terasa biasa saja tanpa ada rasa yang mengganjal.
Di saat-saat seperti itulah kemudian pikiran Sarinah mulai berubah. Dia mulai tak rela ketika menyadari kalau dia bisa membiarkan Yoyok dan teman-temannya menikmati dagangannya secara cuma-cuma, dan lebih buruk lagi; Sarinah merasa tidak keberatan akan hal tersebut. Sarinah merasa lebih rela jika dia merasakan adanya keterpaksaan, semacam derita yang justru membuat dia menjadi lebih baik. Selain itu Sarinah mulai menghitung-hitung, jika makanan jatah Yoyok dan teman-temannya itu kemudian dia jual, tentu saat ini Sarinah bisa menabung untuk membeli radio baru.
Sementara itu, tikus-tikus di rumah Sarinah mulai terlihat sangat mengganggu. Mereka sudah kehilangan definisinya sebagai sahabat, Sarinah sudah merasa “tak ditemani” oleh mereka. Binatang-binatang kelaparan ini juga mulai menggigiti barang-barang di rumahnya. Lama kelamaan Sarinahpun mulai merasa kalau makhluk-makhluk pengerat ini begitu menjijikan. Demikanlah, kemudian hitung-hitungan hasil makanan yang diambil oleh Yoyok dan teman-temannya, serta kebenciannya yang mulai tumbuh kepada tikus-tikus di rumahnya, mulai bersinergi menjadi satu. Sarinah mengambil sapu, dan memukul beberapa ekor tikus dengan batang sapu tersebut.
****
Sore hari di stasiun kereta Cikini. Sarinah sedang sibuk melayani beberapa pelanggan yang duduk di sekitar tempat jualannya. Saat itu Yoyok dan teman-temannya datang, Sarinah menyadarinya. Kemudian dia mengambil sebungkus makanan yang rupanya sudah disisihkannya, diletakan berbeda dengan makanan yang dijajakan. Sarinah langsung memberikannya kepada Yoyok.
“Pecel sama bihun daging.”
Yoyok mengambil bungkusan makanan itu dan tersenyum kepada Sarinah.
“Nah gitu dong, jadi kan saya ngga usah ganggu kerjaan Ibu.”
“Saya udah biasa mas.” Ucap Sarinah sambil kembali melayani pelanggannya.
Sesekali Sarinah melirik ke arah Yoyok dan gerombolan temannya, yang sedang asik berjongkok sambil menikmati makanan pemberiannya. Sarinah tersenyum puas melihat pemandangan tersebut.
Menjelang tutup, rupanya Sarinah tetap menyisakan sedikit makanan yang dimasukkannya ke dalam kantong plastik kecil. Malam itu Sarinah juga mampir sebentar ke sebuah toko kecil, dan membeli beberapa buah perangkap tikus. Dan sebelum tidur, Sarinah menyiapkan perangkap tikus itu di beberapa tempat, menaruh makanan yang tadi sudah disisakannya, dan menyetel lagu dangdut. Sarinah terlelap, malam-malam itu, lagu dangdut tersebut mengiringi decit tikus-tikus yang meregang nyawa mereka. Pagi-pagi sekali, Sarinah merebus tikus-tikus tersebut, meninggalkan mereka untuk pergi berbelanja di pasar, kemudian kembali untuk menguliti tikus-tikus itu. Memasaknya terpisah, dan dicampur dengan bihun yang kemudian dimasukkan ke dalam bungkusan yang berbeda. Kini kita semua tau apa yang terjadi di hari sebelumnya, dan alasan mengapa Sarinah berbaik hati menyiapkan makanan yang terpisah untuk Yoyok dan teman-temanya.
Ya, tampaknya Sarinah begitu menikmati pemandangan Yoyok dan gerombolan teman-temannya, yang dengan lahap memakan pecel bihun plus daging tikus tersebut. Bahkan Yoyok pernah berkomentar kalau masakan Sarinah terasa semakin nikmat, dan Sarinah tambah puas mendengarnya. Dia semakin merasa kalau tekanan batin yang pernah berubah menjadi rasa pasrah, kini telah menemukan dendam terpendam yang telah terbalaskan. Biaya untuk membuat bihun daging tikus ini juga terhitung sangat murah. Memang Sarinah harus menyisihkan uang untuk membeli perangkap tikus, namun itu adalah bentuk investasi, karena beberapa bulan kemudian modal tersebut tergantikan. Lama kelamaan, pemandangan Yoyok dan teman-temannya yang asik menikmati daging tikus buatan Sarinah, menjadi terlihat aneh. Mereka yang sebagian besar berkumis itu, entah bagai mana mengingatkan Sarinah akan pemandangan tikus-tikus yang dahulu menemaninya ketika mencuci baju. Seolah terdengar irama musik lagu dangdut ketika melihatnya.
Lama kelamaan, Sarinah tak hanya mencari kesenangan saja, dia mulai mencari untung. Jika dipikir-pikir, biaya untuk membuat daging tikus ini tampaknya jauh lebih murah, terlebih lagi Yoyok dan teman-temannya mengatakan kalau masakan itu terasa lebih enak. Sarinah mulai berpikir untuk memberikan pelayanan lebih kepada para pelanggannya, dia ingin membuat masakannya terasa lebih nikmat, dan bagian terbaiknya adalah biaya pembuatannya yang lebih murah. Sarinah melihat wajah para pelanggan yang menikmati masakannya dengan wajah lahap, melihat mereka mengunyah makanan-makanan itu, dan bumbu kacang yang sedikit berbelepotan di sudut bibir mereka. Hati kecilnya mengatakan kalau niatnya adalah hal yang benar, dia ingin melihat pelanggannya memasang raut yang lebih lahap lagi ketika menikmati masakannya, sama lahapnya seperti pemaparan wajah Yoyok dan teman-temannya.
Demikianlah, kemudian Sarinah mampir sebentar di toko yang sama, sebelum dia kembali ke rumah. Dia membeli beberapa buah perangkap tikus lagi. Sesampainya di rumah, dipandangnya tikus-tikus yang beberapa kali berkeliaran di dalam rumah itu. Rumah Sarinah yang reyot dan sepi, seperti hanya berdiam diri melihat niatan Sarinah ini, hanya dingin, diam dan bisu. Sarinahpun mulai memasang perangkap tiksu yang lebih banyak lagi di beberapa tempat, dan tak lupa memutarkan lagu dangdut kesukaan para tikus itu.
Malam-malam, Sarinah sibuk mencuci pakaian, menggoyangkan pinggulnya dan cklak! Suara sebuah perangkap tikus yang berhasil mendapatkan mangsa, disusul dengan decitan tikus pada lenguhan nafas terakhirnya. Sarinah semakin semangat begoyang pinggul, cklak! Lagi suara perangkap tikus mendapat mangsa. Sarinah semakin bersemangat memeras pakaian sambil menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya. Suara-suara itu menjadi begitu bersahabat, Sarinah menyukai suaranya yang terdengar renyah, dan decit tikus yang merintih, entah bagaimana mengingatkan dia pada Yoyok dan gerombolannya.
Esok harinya, resep masakan baru Sarinah juga laris-laris saja dibeli pelanggan. Bahkan beberapa memang berkomentar kalau bihun daging buatan Sarinah terasa lebih nikmat dari biasanya. Sarinah juga tak perlu repot-repot lagi memisahkan makanan yang menjadi jatah Yoyok.
“Sekali-sekali makannya di sini loh mas, lumayan kan dagangan saya jadi keliatan lebih ramai.” Ucap Sarinah kepada Yoyok, bersahabat.
Yoyok tertawa mendengarnya.
“Tapi saya boleh tambah ya?”
“Iya boleh, tapi tambah bihun dagingnya aja.”
Yoyok mengangguk-ngangguk senang. Diapun memanggil teman-temannya dan mereka berkumpul di dekat Sarinah, menikmati makanan dagangan Sarinah dengan cuma-cuma.
Setelah makan, tentu Yoyok dan teman-temannya pergi begitu saja tanpa membayar, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Seorang pria yang rupanya sudah menjadi langganan Sarinah, agak heran melihat pemandangan ini.
“Loh, kok itu ngga bayar, Bu?”
Sarinah menyiapkan makanan untuk pria itu.
“Ah udah biasa mas kaya’ gitu.”
“Apa Ibu ngga rugi?”
Sarinah memberikan makanan pesanan pria itu, pecel ditambah bihun daging.
“Udahlah mas, lagian setiap orang juga punya rejeki masing-masing. Itu mungkin rejeki mereka, dan saya juga punya rejeki saya sendiri, nggak dikurangin nggak dilebihin.”
Pria itu mengangguk-nganguk kagum mendengar jawaban Sarinah, dan mulai menikmati makanan di tangannya dengan lahap.
“Bihun dagingnya tambah enak, Bu.”
“Iya banyak yang bilang.” Ujar Sarinah sambil tersenyum.
Besok-besok dagangan Sarinah semakin laku saja, orang-orang berkerumun untuk menikmati pecel bihun daging buatannya. Sementara itu, Sarinah juga punya hobi baru, dia membawa radio kecil. Kemudian Radio itu memutarkan lagu dangdut kesukaannya, Sarinah membuatkan pecel pesanan pelanggan, menyaksikan wajah lahap beberapa orang yang menikmatinya, sambil menggoyangkan pinggul, dan menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya.
Besok-besoknya lagi, Sarinah penasaran juga dengan hasil resep baru masakannya, apa benar masakannya seenak itu. Begitulah ditengah lagu dangdut yang sedang dia dengarkan, Sarinah mulai mecicipi masakannya sendiri, dan sejak itu Sarinah rajin menyisakan sedikit masakan untuk dia nikmati sambil mendengarkan irama lagu dangdut, irama lagu yang bagi Sarinah terkadang terdengar seperti decitan berirama melayu.***
Ario Sasongko
“Empat ribu, bakwannya sepotong lima ratus, kalau mau bihun tambah seribu lima ratus rupiah.”
“Kamu mau apa?” Tanya pria itu pada anak kecil yang digandengnya, sambil berpikir.
Anak itu menunjuk ke arah bihun daging.
“Ya udah Bu, saya mau pecel tambah bihun aja.”
Dengan sigap, Sarinahpun membuatkan pesanan pembelinya itu. Memotong sayuran, menambahkan bihun daging dan menyiramnya dengan bumbu kacang. Sarinah menggunakan kertas berawarna cokelat sebagai wadah jualannya, tak lupa sebuah lidi kecil sebagai pengganti garpu. Pria itu menerima pesanannya, membayar dan mendapat kembalian lima ratus rupiah.
Awal yang baik bagi Sarinah, dan sejak pelanggan pertamanya itu, ada saja satu-dua orang yang mulai datang untuk membeli pecel buatannya, terkadang ditambahkan bakwan, bihun, atau malah tidak sama sekali.
Menjelang sore, seorang pria yang sejak tadi memang ada di stasiun itu, datang dan berdiri, bertolak pinggang di sebelahnya. Pria ini berambut ikal disisir ke belakang, kumisnya cukup tebal, mengenakan kaus berkerah, celanan jeans belel, dan sebuah buku tulis terselip di saku belakangnya.
“Ibu jualan di sini sudah izin?”
“Saya biasa jualan pindah-pindah stasiun, Pak. Itu juga ngga izin.”
“Kalo Ibu mau jualan tetap di sini, harus izin Bu, ada uang administrasinya.”
Sarinah sebenarnya tak terlalu mengerti maksud dari uang administrasi, yang dia tau uang administrasi itu semacam uang rokok, karena memang dengan rokok rasanya segala urusan di kota ini jadi lancar.
“Sebulan tiga puluh ribu.” Pria itu menambahkan.
Sarinah mengangguk sebentar.
“Saya ngga punya uangnya hari ini.”
Pria itu berjongkok dan memandang makanan yang disajikan oleh Sarinah.
“Coba buat satu.”
Sarinah menurutinya, dan membuatkan satu porsi untuk pria itu, pecel dan bihun daging, serta bakwan.
“Kalo ada yang minta uang, bilang aja udah bayar ke Yoyok. Uangnya saya tunggu besok.” Ucap pria yang rupanya bernama Yoyok itu, sambil mengambil satu porsi makanan yang dibuatkan oleh Sarinah, dan kemudian berjalan pergi.
****
Malamnya, Sarinah sudah berada di belakang rumahnya, sibuk membilas tumpukan pakaian yang masih berbelepotan sabun. Ada tempat kos di dekat rumahnya, dan Sarinah bertugas mencuci pakaian anak-anak kos di tempat itu. Sambil mencuci, biasanya Sarinah membawa radio kecil, dan mendengarkan lagu dari stasiun radio kesukaannya, lagu dangdut. Demikianlah, kegiatan mencuci, memeras, dan menjemur pakaian itu selalu diiringi oleh lagu dangdut berbagai tema, mulai dari janda kembang, suami pemabuk, perselingkuhan, putus cinta, atau romansa cinta kelas bawah.
Mungkin memang lagu dangdut sangat menggugah selera, sehingga tak hanya Sarinah, tapi tikus-tikus got juga sering berseliweran di tempat itu. Sarinah tak pernah merasa terganggu dengan binatang-binatang ini, bahkan Sarinah sering memberikan sisa makanan yang tak habis terjual, sehingga tikus-tikus inipun akhirnya makan sambil asyik menikmati lagu-lagu dangdut. Sementara itu, Sarinah terus saja mencuci, sambil terkadang dengan refleks menggoyangkan pinggulnya. Sementara untuk tikus-tikus itu, entahlah apa mereka bisa benar-benar menikmati lagu dangdut tersebut, atau mungkin mereka mendengar semacam decitan berirama melayu saja.
Begitulah, Sarinah menikmati hidupnya di malam hari, mencuci tumpukan pakaian kotor sambil berjoget kecil, atau menggumamkan lirik lagu dangdut yang sedang didengarkannya. Tikus-tikus got berkumpul menikmati sisa jualan Sarinah yang tidak habis, mereka memang terlihat menjijikan, namun hanya merekalah teman yang Sarinah punya untuk berbagi suasana. Kegiatan mencuci ini biasanya baru selesai pada tengah malam, nanti pukul lima dini hari, Sarinah harus pergi ke pasar untuk menyiapkan bahan makanan yang akan digunakannya untuk berjualan.
Siang harinya di stasiun kereta, Sarinah menyetorkan uang administrasi kepada Yoyok. Dia pikir sejak hari itu dia dapat berjualan dengan tenang. Pembeli juga semakin berjubel di sore hari, usaha Sarinah mulai berjalan lancar. Meski demikian, Sarinah tetap saja menyisakan sedikit makanan untuk para tikus, sahabat-sahabatnya. Paling tidak itu yang dia rencanakan, sampai kemudian Yoyok datang dan meminta dagangan yang disisakan oleh Sarinah. Permintaan itu tak bisa ditolak oleh Sarinah, dia tak menemukan alasan yang tepat, tak mungkin dia bilang makanan ini untuk memberi makan tikus, Yoyok pasti tersinggung. Terlebih lagi Yoyok mengatakan itu sebagai hutang, jadi nanti tentu Yoyok membayarnya.
Demikianlah, kemudian di malam hari, tikus-tikus itu berdatangan saat Sarinah mulai memutar lagu dangdut dan mencuci baju. Makhluk-makhluk kecil itu mulai berseliweran, mereka menemukan lagu-lagu dangdut dari stasiun radio kesukaan Sarinah, namun mereka tak menemukan hal yang satunya lagi, yang biasa mereka santap sambil mendengarkan lagu dangdut. Sarinah juga menjadi agak malas untuk sesekali bergumam sambil menggoyangkan pinggulnya. Dia merasa agak sedikit berdosa membiarkan tikus-tikus itu berkeliaran mengendus-endus lantai yang sudah agak berlumut di tempat itu.
Keadaan juga tak kunjung membaik. Masakan Sarinah ternyata memang enak, dia mulai memiliki pelanggan tetap yang melintasi stasiun kereta itu. Bahkan beberapa di antaranya sengaja mampir untuk membeli pecel dagangan Sarinah. Masakan Sarinah ini rupanya membuat tak hanya menjadi daya tarik bagi para pelanggan, namun juga bagi Yoyok dan teman-temannya. Mereka mulai sering meminta barang dagangan Sarinah, awalnya mereka sebut sebagai “hutang.” Namun lama kelamaan, hutang itupun sudah tidak dibahas lagi. Sarinah juga tak berani untuk memotongnya dari uang administrasi yang diberikannya kepada Yoyok. Pernah dia sekali mencoba melakukan itu, namun Yoyok justru marah, dan meminta Sarinah untuk menagih hutang pada teman-teman Yoyok yang lain terlebih dahulu, hal yang tentu takkan ditanggapi oleh mereka.
Sebenarnya Sarinah sudah mulai mempasrahkan sikap Yoyok dan teman-temannya itu. Penghasilannya juga tetap saja cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, belum lagi ditambah dari hasil mencuci baju yang dilakukannya setiap malam. Nasib makanan sisa ini juga akan sama saja, jika tak dimakan oleh Yoyok dan teman-temannya, tentu Sarinah akan memberikannya pada tikus-tikus di belakang rumah. Hanya saja, tikus-tikus itu selama ini menjadi temannya sambil menikmati lagu dangdut saat mencuci baju di malam hari. Tapi lagi-lagi Sarinah hanya bisa berpasrah, setiap orang juga memiliki rejeki mereka masing-masing, mungkin sisa dagangan ini memang rejeki Yoyok dan teman-temannya, tak ada yang dilebihkan dan tak ada yang dikurangi.
Berbulan-bulan hal tersebut sudah menjadi rutinitas yang biasa saja. Sarinah juga mulai merasa terbiasa melihat tikus-tikus di rumahnya yang hanya berkeliaran, mengendus-endus lantai tanpa menemukan sisa makanan untuk mereka santap. Sarinah juga sudah mulai bisa menikmati lagu dangdut di stasiun radio kesukaannya, pinggulnya sudah dengan leluasa bergoyang kecil kembali, sambil menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya kala mencuci pakaian. Hidupnya mulai terasa biasa saja tanpa ada rasa yang mengganjal.
Di saat-saat seperti itulah kemudian pikiran Sarinah mulai berubah. Dia mulai tak rela ketika menyadari kalau dia bisa membiarkan Yoyok dan teman-temannya menikmati dagangannya secara cuma-cuma, dan lebih buruk lagi; Sarinah merasa tidak keberatan akan hal tersebut. Sarinah merasa lebih rela jika dia merasakan adanya keterpaksaan, semacam derita yang justru membuat dia menjadi lebih baik. Selain itu Sarinah mulai menghitung-hitung, jika makanan jatah Yoyok dan teman-temannya itu kemudian dia jual, tentu saat ini Sarinah bisa menabung untuk membeli radio baru.
Sementara itu, tikus-tikus di rumah Sarinah mulai terlihat sangat mengganggu. Mereka sudah kehilangan definisinya sebagai sahabat, Sarinah sudah merasa “tak ditemani” oleh mereka. Binatang-binatang kelaparan ini juga mulai menggigiti barang-barang di rumahnya. Lama kelamaan Sarinahpun mulai merasa kalau makhluk-makhluk pengerat ini begitu menjijikan. Demikanlah, kemudian hitung-hitungan hasil makanan yang diambil oleh Yoyok dan teman-temannya, serta kebenciannya yang mulai tumbuh kepada tikus-tikus di rumahnya, mulai bersinergi menjadi satu. Sarinah mengambil sapu, dan memukul beberapa ekor tikus dengan batang sapu tersebut.
****
Sore hari di stasiun kereta Cikini. Sarinah sedang sibuk melayani beberapa pelanggan yang duduk di sekitar tempat jualannya. Saat itu Yoyok dan teman-temannya datang, Sarinah menyadarinya. Kemudian dia mengambil sebungkus makanan yang rupanya sudah disisihkannya, diletakan berbeda dengan makanan yang dijajakan. Sarinah langsung memberikannya kepada Yoyok.
“Pecel sama bihun daging.”
Yoyok mengambil bungkusan makanan itu dan tersenyum kepada Sarinah.
“Nah gitu dong, jadi kan saya ngga usah ganggu kerjaan Ibu.”
“Saya udah biasa mas.” Ucap Sarinah sambil kembali melayani pelanggannya.
Sesekali Sarinah melirik ke arah Yoyok dan gerombolan temannya, yang sedang asik berjongkok sambil menikmati makanan pemberiannya. Sarinah tersenyum puas melihat pemandangan tersebut.
Menjelang tutup, rupanya Sarinah tetap menyisakan sedikit makanan yang dimasukkannya ke dalam kantong plastik kecil. Malam itu Sarinah juga mampir sebentar ke sebuah toko kecil, dan membeli beberapa buah perangkap tikus. Dan sebelum tidur, Sarinah menyiapkan perangkap tikus itu di beberapa tempat, menaruh makanan yang tadi sudah disisakannya, dan menyetel lagu dangdut. Sarinah terlelap, malam-malam itu, lagu dangdut tersebut mengiringi decit tikus-tikus yang meregang nyawa mereka. Pagi-pagi sekali, Sarinah merebus tikus-tikus tersebut, meninggalkan mereka untuk pergi berbelanja di pasar, kemudian kembali untuk menguliti tikus-tikus itu. Memasaknya terpisah, dan dicampur dengan bihun yang kemudian dimasukkan ke dalam bungkusan yang berbeda. Kini kita semua tau apa yang terjadi di hari sebelumnya, dan alasan mengapa Sarinah berbaik hati menyiapkan makanan yang terpisah untuk Yoyok dan teman-temanya.
Ya, tampaknya Sarinah begitu menikmati pemandangan Yoyok dan gerombolan teman-temannya, yang dengan lahap memakan pecel bihun plus daging tikus tersebut. Bahkan Yoyok pernah berkomentar kalau masakan Sarinah terasa semakin nikmat, dan Sarinah tambah puas mendengarnya. Dia semakin merasa kalau tekanan batin yang pernah berubah menjadi rasa pasrah, kini telah menemukan dendam terpendam yang telah terbalaskan. Biaya untuk membuat bihun daging tikus ini juga terhitung sangat murah. Memang Sarinah harus menyisihkan uang untuk membeli perangkap tikus, namun itu adalah bentuk investasi, karena beberapa bulan kemudian modal tersebut tergantikan. Lama kelamaan, pemandangan Yoyok dan teman-temannya yang asik menikmati daging tikus buatan Sarinah, menjadi terlihat aneh. Mereka yang sebagian besar berkumis itu, entah bagai mana mengingatkan Sarinah akan pemandangan tikus-tikus yang dahulu menemaninya ketika mencuci baju. Seolah terdengar irama musik lagu dangdut ketika melihatnya.
Lama kelamaan, Sarinah tak hanya mencari kesenangan saja, dia mulai mencari untung. Jika dipikir-pikir, biaya untuk membuat daging tikus ini tampaknya jauh lebih murah, terlebih lagi Yoyok dan teman-temannya mengatakan kalau masakan itu terasa lebih enak. Sarinah mulai berpikir untuk memberikan pelayanan lebih kepada para pelanggannya, dia ingin membuat masakannya terasa lebih nikmat, dan bagian terbaiknya adalah biaya pembuatannya yang lebih murah. Sarinah melihat wajah para pelanggan yang menikmati masakannya dengan wajah lahap, melihat mereka mengunyah makanan-makanan itu, dan bumbu kacang yang sedikit berbelepotan di sudut bibir mereka. Hati kecilnya mengatakan kalau niatnya adalah hal yang benar, dia ingin melihat pelanggannya memasang raut yang lebih lahap lagi ketika menikmati masakannya, sama lahapnya seperti pemaparan wajah Yoyok dan teman-temannya.
Demikianlah, kemudian Sarinah mampir sebentar di toko yang sama, sebelum dia kembali ke rumah. Dia membeli beberapa buah perangkap tikus lagi. Sesampainya di rumah, dipandangnya tikus-tikus yang beberapa kali berkeliaran di dalam rumah itu. Rumah Sarinah yang reyot dan sepi, seperti hanya berdiam diri melihat niatan Sarinah ini, hanya dingin, diam dan bisu. Sarinahpun mulai memasang perangkap tiksu yang lebih banyak lagi di beberapa tempat, dan tak lupa memutarkan lagu dangdut kesukaan para tikus itu.
Malam-malam, Sarinah sibuk mencuci pakaian, menggoyangkan pinggulnya dan cklak! Suara sebuah perangkap tikus yang berhasil mendapatkan mangsa, disusul dengan decitan tikus pada lenguhan nafas terakhirnya. Sarinah semakin semangat begoyang pinggul, cklak! Lagi suara perangkap tikus mendapat mangsa. Sarinah semakin bersemangat memeras pakaian sambil menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya. Suara-suara itu menjadi begitu bersahabat, Sarinah menyukai suaranya yang terdengar renyah, dan decit tikus yang merintih, entah bagaimana mengingatkan dia pada Yoyok dan gerombolannya.
Esok harinya, resep masakan baru Sarinah juga laris-laris saja dibeli pelanggan. Bahkan beberapa memang berkomentar kalau bihun daging buatan Sarinah terasa lebih nikmat dari biasanya. Sarinah juga tak perlu repot-repot lagi memisahkan makanan yang menjadi jatah Yoyok.
“Sekali-sekali makannya di sini loh mas, lumayan kan dagangan saya jadi keliatan lebih ramai.” Ucap Sarinah kepada Yoyok, bersahabat.
Yoyok tertawa mendengarnya.
“Tapi saya boleh tambah ya?”
“Iya boleh, tapi tambah bihun dagingnya aja.”
Yoyok mengangguk-ngangguk senang. Diapun memanggil teman-temannya dan mereka berkumpul di dekat Sarinah, menikmati makanan dagangan Sarinah dengan cuma-cuma.
Setelah makan, tentu Yoyok dan teman-temannya pergi begitu saja tanpa membayar, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Seorang pria yang rupanya sudah menjadi langganan Sarinah, agak heran melihat pemandangan ini.
“Loh, kok itu ngga bayar, Bu?”
Sarinah menyiapkan makanan untuk pria itu.
“Ah udah biasa mas kaya’ gitu.”
“Apa Ibu ngga rugi?”
Sarinah memberikan makanan pesanan pria itu, pecel ditambah bihun daging.
“Udahlah mas, lagian setiap orang juga punya rejeki masing-masing. Itu mungkin rejeki mereka, dan saya juga punya rejeki saya sendiri, nggak dikurangin nggak dilebihin.”
Pria itu mengangguk-nganguk kagum mendengar jawaban Sarinah, dan mulai menikmati makanan di tangannya dengan lahap.
“Bihun dagingnya tambah enak, Bu.”
“Iya banyak yang bilang.” Ujar Sarinah sambil tersenyum.
Besok-besok dagangan Sarinah semakin laku saja, orang-orang berkerumun untuk menikmati pecel bihun daging buatannya. Sementara itu, Sarinah juga punya hobi baru, dia membawa radio kecil. Kemudian Radio itu memutarkan lagu dangdut kesukaannya, Sarinah membuatkan pecel pesanan pelanggan, menyaksikan wajah lahap beberapa orang yang menikmatinya, sambil menggoyangkan pinggul, dan menggumamkan lagu dangdut yang didengarkannya.
Besok-besoknya lagi, Sarinah penasaran juga dengan hasil resep baru masakannya, apa benar masakannya seenak itu. Begitulah ditengah lagu dangdut yang sedang dia dengarkan, Sarinah mulai mecicipi masakannya sendiri, dan sejak itu Sarinah rajin menyisakan sedikit masakan untuk dia nikmati sambil mendengarkan irama lagu dangdut, irama lagu yang bagi Sarinah terkadang terdengar seperti decitan berirama melayu.***
Ario Sasongko