Sama seperti biasanya, hari ini Bapak pulang agak malam, walau sebenarnya sejak pukul 5 sore ia sudah bisa meninggalkan kantor. Niatan pulang ke rumah di sore hari selalu ia urungkan, karena di sekitar pukul itu memang jalan di kota Jakarta sedang macet-macetnya. Pulang agak malam juga sebenarnya tidak pula menjawab persoalan kemacetan itu, namun paling tidak volume kendaraan yang menumpuk sudah lebih sedikit dibandingkan dengan keadaan jalanan di sekitar pukul 5 sore. Tidak menyenangkan tentu rasanya menghabiskan waktu berjam-jam di dalam mobil, melihat kendaraan-kendaraan yang berdempetan satu sama lain, kadang kendaraan-kendaraan itu sendiri terlihat lelah, entah bagaimana menjelaskan pandangan tersebut.
Kadang, jika kau berada seorang diri di tengah kemacetan lalu lintas, dan tak ada hal yang bisa kau lakukan, saat itu mungkin kau akan menyadari bagaimana sepinya dunia ini jika kau menjalaninya seorang diri. Kupikir setiap orang yang pernah mengalaminya, tentu akan mengerti perasaan tersebut. Dengan keadaan semacam itu pula, Bapak kemudian menjadi selalu rindu dengan rumah, istri dan seorang anaknya. Ia selalu menikmati perasaan ketika mulai memandang rumahnya dari kejauhan, setelah kemacetan lalu lintas yang membosankan. Apalagi ia tahu bahwa istrinya selalu tidak mau tidur lebih dulu sebelum menyambut ia pulang ke rumah, lalu menyeduhkan kopi hangat, berbincang sebentar sebelum kemudian baru dapat tidur dengan tenang di kamarnya.
Kadang, jika kau berada seorang diri di tengah kemacetan lalu lintas, dan tak ada hal yang bisa kau lakukan, saat itu mungkin kau akan menyadari bagaimana sepinya dunia ini jika kau menjalaninya seorang diri. Kupikir setiap orang yang pernah mengalaminya, tentu akan mengerti perasaan tersebut. Dengan keadaan semacam itu pula, Bapak kemudian menjadi selalu rindu dengan rumah, istri dan seorang anaknya. Ia selalu menikmati perasaan ketika mulai memandang rumahnya dari kejauhan, setelah kemacetan lalu lintas yang membosankan. Apalagi ia tahu bahwa istrinya selalu tidak mau tidur lebih dulu sebelum menyambut ia pulang ke rumah, lalu menyeduhkan kopi hangat, berbincang sebentar sebelum kemudian baru dapat tidur dengan tenang di kamarnya.
Seharusnya perasaan semacam itulah yang dirasakannya ketika pulang ke rumah malam ini, terlebih ketika rumahnya mulai terlihat dari kejauhan. Namun, hari ini ada hal janggal yang mengganggu pikirannya, sehingga perasaan yang biasanya rutin muncul dalam benaknya, kali ini seolah enggan untuk bercengkrama. Nanti aku jelaskan tentang hal tersebut.
Istrinya langsung membukakan pintu, segera setelah mendengar mobil bapak yang diparkir di garasi rumah. Bapak tersenyum memandang istrinya, walau entah mengapa senyum itu hanya sekedar menjadi sapaan hambar yang tidak biasa dia tunjukkan. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah.
“Kopi?” Tanya istrinya, menawarkan minuman yang biasa diminta oleh bapak.
“Ya, boleh.”
Bapak kemudian duduk di sofa, menyenderkan tubuhnya sambil membuka beberapa kancing bagian atas kemejanya. Dari kejauhan terdengar suara dentingan sendok kecil yang sedang mengaduk kopi di dalam cangkir. Malam ini hidupnya jadi terasa aneh, tembok-tembok di dalam rumahnya seolah menyempit dan membuatnya sesak. Untuk pertama kali dalam hidupnya, bapak merasa seperti ada yang selama ini terlupakan dalam hidupnya, walau ia juga merasa bahwa selama ini ia telah mendapatkan segala hal terbaik dalam hidupnya tersebut.
Tak lama kemudian, istrinya datang sambil membawakan kopi. Ditaruhnya kopi tersebut di atas meja, kemudian duduk di dekat bapak. Ia, memperhatikan raut wajah bapak, yang terlihat berbeda malam ini, wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah bagaimana pula menjelaskan pandangan istrinya tersebut, maksudku, kadang wanita selalu memiliki intuisi yang kuat, dia dapat mengetahui bahwa ada yang sedang terjadi dengan pasangannya, bahkan sebelum mereka membicarakan hal tersebut.
“Ada apa?”
Bapak memandang wajah istrinya, dan agak tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul.
“Wajahmu seperti seperti sedang memikirkan sesuatu.”
“Oh, itu.”
“Ya? Itu apa?”
“Tidak, sepanjang perjalanan pulang, aku teringat akan sebuah kalimat, aku lupa siapa yang mengucapkannya.”
“Kalimat apa?”
“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.”
“Oh, Soekarno. Memang kenapa?”
“Nanti sajalah.”
Bapak kemudian meneguk sedikit kopi yang tadi disuguhkan istrinya, kemudian berjalan memasuki kamar, mengganti pakaian. Kamar tersebut terletak di dekat sofa tempat tadi Bapak duduk. Tak lama berselang, Bapak kembali keluar kamar, dengan celana pendek dan kaus oblong. Istrinya masih saja duduk di tempat yang sama.
“Oni sudah tidur, Bu?”
“Dari tadi.”
Bapak berjalan membuka pintu kamar Oni, anak laki-lakinya. Kamar Oni ada di sebelah kamar Bapak. Dipandangnya Oni yang sedang tidur nyenyak di dalam kamar itu. Mereka memang jarang berbincang, biasanya Bapak baru pulang ke rumah ketika Oni sudah tidur, dan berangkat lebih awal ketika Oni belum bangun dari tidurnya. Persoalan klishe yang dihadapi keluarga jaman sekarang memang.
“Sekali-sekali kau ajaklah anak itu pergi. Lama-lama dia bisa lupa wajahmu kalau begitu terus.”
“Ya aku tahu, Bu. Tapi yah, kau tahu jugalah pekerjaanku.”
“Tapi Oni tidak tahu soal itu. Yang dia tahu hanya bapaknya terlalu sibuk untuk meluangkan waktu untuknya.”
“Ya, besoklah, aku ajak dia jalan-jalan.”
“Pak, ayo duduk sini lagi. Bapak belum selesai ngomong. Kenapa dengan kalimat itu?”
Bapak menutup kembali pintu kamar Oni, kemudian berjalan dan duduk di dekat istrinya. Dipandanginya uap kopi hangat yang ada di atas meja, uap itu terlihat ringan sekali, melayang kemudian hilang bersama udara.
“Tadi, aku bertemu dengan mantan mahasiswaku. Dia bilang mau ngobrol-ngobrol sama aku.”
“Lalu?”
“Dia bertanya kepadaku. Apa mungkin satu orang pemuda dapat mengubah dunia?”
“Kenapa dia bertanya begitu?”
“Dia ingin mengubah dunia, katanya.”
“Ah, yang betul?”
“Masa aku bohong, Bu.”
“Lalu kau jawab apa?”
“Itulah, awalnya aku pikir itu hanya romantisme harapan anak-anak muda.”
“Tapi?”
“Tapi, saat berbincang dengannya, aku seperti merasa bahwa hal tersebut dapat dilakukan.”
“Ya, lalu kau jawab apa?”
“Aku tidak menjawab apa-apa.”
Bapak kembali meminum kopinya.
“Jadi? Reaksimu bagaimana?”
“Aku suruh dia pulang untuk memikirkan sendiri pertanyaan itu.”
“Ah tega betul kau.”
“Bukan masalah tega.”
“Lalu?”
“Aku takut terlihat bodoh di hadapannya.”
“Kenapa?”
“Karena ketika muda, aku tak pernah memiliki pemikiran itu.”
“Wajar dong pak, aneh-aneh saja berpikir untuk merubah dunia. Mana ada orang yang berpikir seperti itu?”
“Ada.”
“Siapa? Selain anak itu ya.”
“Itu tadi, Soekarno.”
“Tapi dia bukan Soekarno.”
“Kenapa harus Soekarno?”
“Ya, karena dia Soekarno. Itu saja.”
“Tapi, menurut ibu, apa yang membuat Soekarno dapat berpikir seperti itu?”
“Zamannya beda, pak. Waktu itu ya memang dia pernah hidup terjajah. Tentu wajar jika dia berpikir para pemuda dapat mengubah dunia.”
“Jadi menurut ibu, apa yang harusnya anak muda zaman sekarang pikirkan?”
Ibu berpikir sejenak.
“Yah, sekolah yang rajin, tidak narkoba, kuliah, bekerja, hidup mandiri, menikah, punya anak, membangun keluarga. Lagipula bangsa ini sudah merdeka, mau apa lagi?”
“Itulah, yang tadinya aku juga pikirkan. Tapi.”
“Apalagi?”
“Kupikir dulu waktu zaman penjajahan, rakyat-rakyat kecil itu juga tidak berani berpikir untuk merdeka. Mana berani mereka melawan penjajah? Ditembak baru mereka tahu rasa.”
“Tapi, kan ada pula rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan.”
“Nah, itulah yang aku resahkan. Kenapa kemudian ada juga yang berani melawan mati, demi merdeka?”
“Maksudmu apa sih pak?”
“Aku jadi berpikir, apa mungkin semua orang memang tak mempunyai kesadaran untuk mengubah keadaan?”
“Keadaan apalagi yang mau diubah pak?”
“Banyak Bu, coba besok-besok lihat televisi.”
“Lah, bapak sendiri? Kenapa waktu muda tidak punya pikiran itu?
“Karena aku tidak kepikiran.”
“Memang apa yang waktu itu bapak pikirkan?”
“Ya cuma kamu, Bu.”
Sempat pula si Bapak menggombali istrinya.
“Ah, bapak ini, serius lah.”
“Iya betul.”
“Ibu ingat tidak lagu kita itu, Diana-diana kekasihku, bilang pada orang tuamu, cincin bermata yang jeli itu, tanda cintaku kepadamu.”
“Koes plus. Ah, lagian, waktu itu bapak cuma sebatas nyanyi saja, mana pernah bapak ngasih saya cincin.”
“Lho, karena lagu itu Bu, aku termotivasi untuk kerja, biar bisa cepat melamarmu.”
“Hus, sudah ah, bosan aku dengan gombalanmu. Eh, tapi kenapa bapak jadi kepikiran dengan anak itu sih?”
“Anak siapa?”
“Ah, itu loh, yang mau mengubah dunia itu.”
“Oh, iya. Aku heran Bu, kenapa ada anak yang punya pikiran semacam itu.”
“Gila barangkali.”
“Tapi si Soekarno tidak kau sebut gila.”
“Ya, karena dia Soekarno, pak. Proklamator kemerdekaan bangsa ini.”
“Bagaimana kalau Soekarno tidak pernah berpikir bahwa bangsa ini mampu merdeka?”
“Tidak mungkin.”
“Anggaplah mungkin.”
“Ah, aku heran pak. Ya sudah, pokoknya harus ada orang yang punya kesadaran itu. Terserahlah siapa. Kalau tidak, artinya hari ini juga kita masih dikuasai penjajah. Aku tak mau.”
“Nah, aku berpikir. Apa mungkin jaman sekarang juga masih perlu anak semacam itu?”
“Tak tahulah aku, pak. Sudah aku mau tidur. Besok kau juga jangan lupa ajak si Oni jalan-jalan.”
Mungkin karena merasa perbincangan ini tak akan habis, akhirnya Ibu pergi meninggalkan Bapak yang duduk termenung seorang diri. Aku tak tahu pasti, apakah kemudian Bapak masih memikirkan anak muda yang siang tadi ditemuinya. Entahlah. Esoknya kehidupan mereka berjalan seperti biasa, Bapak mengajak Oni jalan-jalan dan bermain ice skating di salah satu Mall Jakarta.
Tamat
Ario Sasongko
18.11.2011
Istrinya langsung membukakan pintu, segera setelah mendengar mobil bapak yang diparkir di garasi rumah. Bapak tersenyum memandang istrinya, walau entah mengapa senyum itu hanya sekedar menjadi sapaan hambar yang tidak biasa dia tunjukkan. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah.
“Kopi?” Tanya istrinya, menawarkan minuman yang biasa diminta oleh bapak.
“Ya, boleh.”
Bapak kemudian duduk di sofa, menyenderkan tubuhnya sambil membuka beberapa kancing bagian atas kemejanya. Dari kejauhan terdengar suara dentingan sendok kecil yang sedang mengaduk kopi di dalam cangkir. Malam ini hidupnya jadi terasa aneh, tembok-tembok di dalam rumahnya seolah menyempit dan membuatnya sesak. Untuk pertama kali dalam hidupnya, bapak merasa seperti ada yang selama ini terlupakan dalam hidupnya, walau ia juga merasa bahwa selama ini ia telah mendapatkan segala hal terbaik dalam hidupnya tersebut.
Tak lama kemudian, istrinya datang sambil membawakan kopi. Ditaruhnya kopi tersebut di atas meja, kemudian duduk di dekat bapak. Ia, memperhatikan raut wajah bapak, yang terlihat berbeda malam ini, wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah bagaimana pula menjelaskan pandangan istrinya tersebut, maksudku, kadang wanita selalu memiliki intuisi yang kuat, dia dapat mengetahui bahwa ada yang sedang terjadi dengan pasangannya, bahkan sebelum mereka membicarakan hal tersebut.
“Ada apa?”
Bapak memandang wajah istrinya, dan agak tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul.
“Wajahmu seperti seperti sedang memikirkan sesuatu.”
“Oh, itu.”
“Ya? Itu apa?”
“Tidak, sepanjang perjalanan pulang, aku teringat akan sebuah kalimat, aku lupa siapa yang mengucapkannya.”
“Kalimat apa?”
“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.”
“Oh, Soekarno. Memang kenapa?”
“Nanti sajalah.”
Bapak kemudian meneguk sedikit kopi yang tadi disuguhkan istrinya, kemudian berjalan memasuki kamar, mengganti pakaian. Kamar tersebut terletak di dekat sofa tempat tadi Bapak duduk. Tak lama berselang, Bapak kembali keluar kamar, dengan celana pendek dan kaus oblong. Istrinya masih saja duduk di tempat yang sama.
“Oni sudah tidur, Bu?”
“Dari tadi.”
Bapak berjalan membuka pintu kamar Oni, anak laki-lakinya. Kamar Oni ada di sebelah kamar Bapak. Dipandangnya Oni yang sedang tidur nyenyak di dalam kamar itu. Mereka memang jarang berbincang, biasanya Bapak baru pulang ke rumah ketika Oni sudah tidur, dan berangkat lebih awal ketika Oni belum bangun dari tidurnya. Persoalan klishe yang dihadapi keluarga jaman sekarang memang.
“Sekali-sekali kau ajaklah anak itu pergi. Lama-lama dia bisa lupa wajahmu kalau begitu terus.”
“Ya aku tahu, Bu. Tapi yah, kau tahu jugalah pekerjaanku.”
“Tapi Oni tidak tahu soal itu. Yang dia tahu hanya bapaknya terlalu sibuk untuk meluangkan waktu untuknya.”
“Ya, besoklah, aku ajak dia jalan-jalan.”
“Pak, ayo duduk sini lagi. Bapak belum selesai ngomong. Kenapa dengan kalimat itu?”
Bapak menutup kembali pintu kamar Oni, kemudian berjalan dan duduk di dekat istrinya. Dipandanginya uap kopi hangat yang ada di atas meja, uap itu terlihat ringan sekali, melayang kemudian hilang bersama udara.
“Tadi, aku bertemu dengan mantan mahasiswaku. Dia bilang mau ngobrol-ngobrol sama aku.”
“Lalu?”
“Dia bertanya kepadaku. Apa mungkin satu orang pemuda dapat mengubah dunia?”
“Kenapa dia bertanya begitu?”
“Dia ingin mengubah dunia, katanya.”
“Ah, yang betul?”
“Masa aku bohong, Bu.”
“Lalu kau jawab apa?”
“Itulah, awalnya aku pikir itu hanya romantisme harapan anak-anak muda.”
“Tapi?”
“Tapi, saat berbincang dengannya, aku seperti merasa bahwa hal tersebut dapat dilakukan.”
“Ya, lalu kau jawab apa?”
“Aku tidak menjawab apa-apa.”
Bapak kembali meminum kopinya.
“Jadi? Reaksimu bagaimana?”
“Aku suruh dia pulang untuk memikirkan sendiri pertanyaan itu.”
“Ah tega betul kau.”
“Bukan masalah tega.”
“Lalu?”
“Aku takut terlihat bodoh di hadapannya.”
“Kenapa?”
“Karena ketika muda, aku tak pernah memiliki pemikiran itu.”
“Wajar dong pak, aneh-aneh saja berpikir untuk merubah dunia. Mana ada orang yang berpikir seperti itu?”
“Ada.”
“Siapa? Selain anak itu ya.”
“Itu tadi, Soekarno.”
“Tapi dia bukan Soekarno.”
“Kenapa harus Soekarno?”
“Ya, karena dia Soekarno. Itu saja.”
“Tapi, menurut ibu, apa yang membuat Soekarno dapat berpikir seperti itu?”
“Zamannya beda, pak. Waktu itu ya memang dia pernah hidup terjajah. Tentu wajar jika dia berpikir para pemuda dapat mengubah dunia.”
“Jadi menurut ibu, apa yang harusnya anak muda zaman sekarang pikirkan?”
Ibu berpikir sejenak.
“Yah, sekolah yang rajin, tidak narkoba, kuliah, bekerja, hidup mandiri, menikah, punya anak, membangun keluarga. Lagipula bangsa ini sudah merdeka, mau apa lagi?”
“Itulah, yang tadinya aku juga pikirkan. Tapi.”
“Apalagi?”
“Kupikir dulu waktu zaman penjajahan, rakyat-rakyat kecil itu juga tidak berani berpikir untuk merdeka. Mana berani mereka melawan penjajah? Ditembak baru mereka tahu rasa.”
“Tapi, kan ada pula rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan.”
“Nah, itulah yang aku resahkan. Kenapa kemudian ada juga yang berani melawan mati, demi merdeka?”
“Maksudmu apa sih pak?”
“Aku jadi berpikir, apa mungkin semua orang memang tak mempunyai kesadaran untuk mengubah keadaan?”
“Keadaan apalagi yang mau diubah pak?”
“Banyak Bu, coba besok-besok lihat televisi.”
“Lah, bapak sendiri? Kenapa waktu muda tidak punya pikiran itu?
“Karena aku tidak kepikiran.”
“Memang apa yang waktu itu bapak pikirkan?”
“Ya cuma kamu, Bu.”
Sempat pula si Bapak menggombali istrinya.
“Ah, bapak ini, serius lah.”
“Iya betul.”
“Ibu ingat tidak lagu kita itu, Diana-diana kekasihku, bilang pada orang tuamu, cincin bermata yang jeli itu, tanda cintaku kepadamu.”
“Koes plus. Ah, lagian, waktu itu bapak cuma sebatas nyanyi saja, mana pernah bapak ngasih saya cincin.”
“Lho, karena lagu itu Bu, aku termotivasi untuk kerja, biar bisa cepat melamarmu.”
“Hus, sudah ah, bosan aku dengan gombalanmu. Eh, tapi kenapa bapak jadi kepikiran dengan anak itu sih?”
“Anak siapa?”
“Ah, itu loh, yang mau mengubah dunia itu.”
“Oh, iya. Aku heran Bu, kenapa ada anak yang punya pikiran semacam itu.”
“Gila barangkali.”
“Tapi si Soekarno tidak kau sebut gila.”
“Ya, karena dia Soekarno, pak. Proklamator kemerdekaan bangsa ini.”
“Bagaimana kalau Soekarno tidak pernah berpikir bahwa bangsa ini mampu merdeka?”
“Tidak mungkin.”
“Anggaplah mungkin.”
“Ah, aku heran pak. Ya sudah, pokoknya harus ada orang yang punya kesadaran itu. Terserahlah siapa. Kalau tidak, artinya hari ini juga kita masih dikuasai penjajah. Aku tak mau.”
“Nah, aku berpikir. Apa mungkin jaman sekarang juga masih perlu anak semacam itu?”
“Tak tahulah aku, pak. Sudah aku mau tidur. Besok kau juga jangan lupa ajak si Oni jalan-jalan.”
Mungkin karena merasa perbincangan ini tak akan habis, akhirnya Ibu pergi meninggalkan Bapak yang duduk termenung seorang diri. Aku tak tahu pasti, apakah kemudian Bapak masih memikirkan anak muda yang siang tadi ditemuinya. Entahlah. Esoknya kehidupan mereka berjalan seperti biasa, Bapak mengajak Oni jalan-jalan dan bermain ice skating di salah satu Mall Jakarta.
Tamat
Ario Sasongko
18.11.2011