“Bu Darsin! Tadi rumahnya dimasukin maling!”
Kabar tersebut menyambut kedatangan Bu Darsin yang baru saja tiba dari Tanah Abang, berjubel-jubel membeli lusinan pakaian, dan pulang membawa sekantung besar barang dagangan.
“Sekarang malingnya dimana?”
“Ada di rumah pak RT.”
Bu Darsin memandang tetangganya tersebut lekat-lekat.
“Kamu siapa ya?”
“Saya Amin, saya tinggal di rumah pak RT.” Ucap tetangganya itu sambil berjalan mengajak Bu Darsin untuk menyambangi rumah yang dimaksud.
Terlihat di kejauhan rumah pak RT yang sudah dipenuhi warga. Pagar rumah itu terbuka lebar, sandal-sandal warga tampak betebaran di depan pagar, beberapa warga yang tak kebagian masuk, terlihat berkerumun di depan rumah, bahkan untuk menampung warga yang begitu massal, beberapa pesuruh sibuk membangun tenda di depan rumah tersebut, agar dapat menampung warga yang datang, persis seperti sedang ada hajatan. Dengan susah payah, Bu Darsin dan tetangga sang pembawa kabar, menyelip di antara kerumunan, bersusah payah untuk masuk ke dalamnya.
Kabar tersebut menyambut kedatangan Bu Darsin yang baru saja tiba dari Tanah Abang, berjubel-jubel membeli lusinan pakaian, dan pulang membawa sekantung besar barang dagangan.
“Sekarang malingnya dimana?”
“Ada di rumah pak RT.”
Bu Darsin memandang tetangganya tersebut lekat-lekat.
“Kamu siapa ya?”
“Saya Amin, saya tinggal di rumah pak RT.” Ucap tetangganya itu sambil berjalan mengajak Bu Darsin untuk menyambangi rumah yang dimaksud.
Terlihat di kejauhan rumah pak RT yang sudah dipenuhi warga. Pagar rumah itu terbuka lebar, sandal-sandal warga tampak betebaran di depan pagar, beberapa warga yang tak kebagian masuk, terlihat berkerumun di depan rumah, bahkan untuk menampung warga yang begitu massal, beberapa pesuruh sibuk membangun tenda di depan rumah tersebut, agar dapat menampung warga yang datang, persis seperti sedang ada hajatan. Dengan susah payah, Bu Darsin dan tetangga sang pembawa kabar, menyelip di antara kerumunan, bersusah payah untuk masuk ke dalamnya.
“Minggir, ini saya bawa korban yang punya rumah!”
Teriakan tetangga Bu Darsin tersebut, semerta-merta membuat seluruh warga menoleh kepadanya, dan praktis membukakan jalan lebar-lebar, ibarat kendaraan di jalan raya yang membukakan jalan ketika sebuah ambulan dengan sirenenya yang kencang, berusaha menembus kemacetan.
“Oh tragis sekali..”
“Kasihan..”
“Ibu yang malang..”
“Mengapa harus dia?”
“Itu siapa?”
“Tetangga depan rumah kita.”
“Yang rumahnya kemalingan?”
“Iya. Siapa lagi?”
“Oh begitu.”
“Sungguh tega…”
Berbagai gumaman warga, terdengar seiring Bu Darsin yang dengan resah berjalan masuk ke dalam rumah.
Pak RT menyambut kedatangan Bu Darsin dengan tangan terbuka, secara harafiah. Senyumnya yang lebar menyembul di balik kumis tebalnya. Senyum khas yang tampak bersahabat ini, menurut beberapa warga merupakan alasan mengapa beliau terpilih sebagai ketua RT. Sementara itu, Bu Darsin tak terlalu memperhatikan beliau. Dia lebih tertarik melihat sosok pria dengan rambut keriting ikal, yang tampak dari belakang, tangannya terikat dan duduk di bangku kayu, persis seperti terdakwa. Dengan tatapan sinis yang khas, yang biasa Bu Darsin gunakan ketika hendak menawar barang, Bu Darsin memperhatikan lekat-lekat pria tersebut. Pria tersebut pun, menyadari kehadiran Bu Darsin, menoleh ke arahnya dengan tatapan iba.
“Loh? Hartono!”
Bu Darsin terkesiap.
“Ah Darsin, tolong saya!” Ucap pria yang rupanya bernama Hartono tersebut.
Sementara itu, warga justru menjadi bingung dan saling berpandangan.
“Loh? Mereka saling kenal?”
“Jadi ini apa?”
“Dia bukan maling!”
“Belum tentu. Siapa tau mereka berkomplot.”
“Oh bisa jadi.”
“Ah edan sekali.”
Pak RTpun ikut heran melihat hal ini.
“Ibu kenal dengan maling ini?”
“Saya bukan maling!” Sanggah Hartono.
“Tapi warga menangkap anda, sewaktu berdiri di depan rumah Bu Darsin.”
“Memang saya enggak boleh berdiri di depan rumah orang?”
“Tapi sampai berjam-jam.”
Hartono menghela nafas panjang, sepertinya dia sudah cukup lelah dengan perdebatan yang tampaknya sudah dilakukannya berjam-jam yang lalu.
“Ya sudah kalau saya maling, mana buktinya?”
“Ah, warga sudah keburu menangkap saudara.”
“Artinya, kalaupun saya maling, buktinya belum ada, saya belum melakukan niat saya, yang artinya juga, saya belum sah disebut maling.”
“Oke-oke. Kalau begitu saya ulangi kalimat saya.” Pak RT tampaknya mencoba mengalah.
“Ibu kenal dengan calon maling ini?”
Ibu Darsim sadar, bahwa situasinya terdengar agak rumit, dan dia berniat untuk meluruskan keadaan.
“Tunggu dulu, memang bagaimana ceritanya sampai Hartono ini bisa ditangkap?”
Pak RT tersenyum lebar, menyembul di balik kumis tebalnya, kemudian dia mulai bercerita.
“Begini Bu. Tentu Ibu tahu bahwa daerah kita sedang rawan kemalingan. Sudah beberapa rumah menjadi korban, bahkan kejadiannyapun siang-siang, sama seperti sekarang.”
“Oh ya? Saya baru dengar. Tapi sudahlah. Lalu?”
“Nah, karena itu, saya mencoba meningkatkan keamanan, dengan basis aktif masyarakat. Siapapun yang berhasil menangkap maling, akan mendapat imbalan.”
“Tapi apa hubungannya dengan Hartono?”
“Begini.” Pak RT tak lupa kembali tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
“Warga kita banyak yang menganggur, artinya banyak waktu luang. Nah rupanya waktu luang ini mereka jadikan kesempatan untuk mengintai keadaan sekitar perumahan kita. Yah, lumayanlah hitung-hitung kalau bisa dapat maling, kan mereka bisa dapat penghasilan.”
“Hubungannya?”
“Nah! Siang ini mereka sudah mencurigai kedatangan Hartono, karena dia bukan warga sini. Berjam-jam mereka memperhatikan Hartono yang berdiri di depan rumah Ibu, melihat-lihat ke sekeliling rumah.”
Beberapa warga mengangguk mendengar penjelasan dari pak RT, sepertinya mereka adalah diantara beberapa warga yang melakukan pengintaian.
“Hartono ini, berjam-jam enggak pindah dari depan rumah Ibu. Kadang-kadang dia berjongkok sambil merokok, sempat pula memanggil tukang ketoprak yang lewat, untuk dibuatkan satu porsi. Pokoknya lama sekali.”
“Memangnya saya enggak boleh makan ketoprak di depan rumah orang?” Hartono kembali menyanggah.
Pak RT tak menghiraukan sanggahan Hartono dan lanjut bercerita.
“Warga takut, kalau-kalau dia keburu masuk ke dalam rumah Ibu, dan tentu saja mencuri barang-barang di dalam. Karena itu, mereka segera menangkapnya.”
“Saya sudah bilang! Saya ini adik ipar Bu Darsin. Saya lagi nunggu Bu Darsin pulang. Kalau Bu Darsin ada di rumah, tentu saya sudah masuk dari tadi.”
Bu Darsin mengiyakan penjelasan Hartono, yang rupanya adik ipar Bu Darsin. Bu Darsin juga menjelaskan, bahwa Hartono adalah orang terhormat, anggota DPR. Dengan kata lain, tidak mungkinlah orang dengan latar belakang seperti itu; Adik ipar dan anggota DPR, kemudian berniat untuk mencuri di rumah kakak iparnya sendiri. Penjelasan Bu Darsin memang sangat meyakinkan, sehingga beberapa warga yang ada di luar, sedikit demi sedikit mulai meninggalkan rumah Pak RT. Tampaknya mereka kecewa. Bu Darsinpun hendak melepaskan ikatan tangan Hartono, sampai kemudian ada lagi satu warga yang menyanggah.
“Tunggu dulu! Anggota DPR juga banyak yang maling!”
“Kata siapa?” Hartono kali ini menanggapi karena tampaknya dia merasa tersinggung dengan tudingan yang baru ini.
“Ah, kita sering lihat di TV!”
“Maling bagaimana?”
“Korupsi! Itukan sama aja maling uang rakyat!” Warga lain menimpali.
“Loh! Apa hubungannya dengan saya?”
“Bapak kan anggota DPR juga. Berarti bapak koruptor.”
“Memang semua anggota DPR berarti koruptor?”
“Ah bisa saja!” Warga lainnya ikut menimpali.
“Mana buktinya saya koruptor?”
“Loh! Sekarang coba bapak yang buktikan. Mana buktinya kalau bapak bukan anggota DPR yang korup?”
Kali ini keadaan telah berubah sedemikian rupa, sehingga Bu Darsin sendiri sudah tak mampu memberikan pembelaan apa-apa. Dia memang tahu bahwa Hartono ini, adik iparnya, adalah anggota DPR. Namun dia juga tak tahu, apakah Hartono merupakan anggota DPR yang korup. Sementara itu, Pak RT hanya diam dengan senyum lebar yang menyembul di balik kumis tebalnya. Namun senyum ini agak berebeda, wajahnya pucat, dan bulir-bulir keringat dingin bermunculan di dahinya. Entah mungkin karena tema pembahasan ini agak sensitif baginya. Belum lama ini memang RT mereka baru saja melakukan perbaikan jalan, dengan dana hasil sumbangan warga dan dikoordinasi langsung oleh Pak RT sendiri.
“Kita bawa saja dia ke polisi!” Teriak seorang warga dan membuat sekumpulan warga itu berjalan dengan beringas, bersiap mengarak Hartono menuju kantor polisi. Dengan susah payah Bu Darsin berusaha menahan gelombang warga yang ingin menghampiri adik iparnya ini. Sementara Pak RT masih saja berdiri seperti patung dengan senyumnya tersebut, tidak bereaksi sama sekali.
“Tunggu dulu. Tunggu dulu!”
Teriakan Hartono tampaknya berhasil menghentikan animo warga untuk sejenak. Lagipula dia masih saja duduk di kursi kayu dengan tangan yang terikat ke belakang, jadi tak ada hal yang bisa dilakukannya selain berteriak.
“Jadi sebenarnya apa alasan kalian membawa saya ke polisi? Saya bukan maling, kan Bu Darsin sudah menjelaskan duduk persoalannya.”
“Ya, anda memang bukan maling rumah Bu Darsin.”
“Lalu kenapa saya masih mau dibawa ke kantor polisi?”
“Yah, siapa tau anda ini koruptor.”
“Cuma dengan alasan “siapa tahu,” kalian mau bawa saya ke polisi?”
Para warga mengangguk yakin.
“Ini apa-apan sih? Memang kalian KPK? Lagipula, kalau enggak ada bukti, mana bisa saya ditangkap?”
Kali ini para warga saling berpandangan. Benar juga ucapan si Hartono ini. Sebagai pencuri yang mencoba masuk ke dalam rumah Bu Darsin saja, mereka tak memiliki bukti apa-apa, walau kecurigaannya ada. Namun, untuk menjebloskan politikus ke dalam penjara, apalagi dengan tuduhan korupsi, rasanya hal itu sangat sulit. Petinggi KPK saja banyak yang ditendang dari jabatannya karena usaha tersebut, apalagi warga perumahan biasa? Bisa-bisa, jika mereka masih ngotot, besok rumah mereka akan kena ancaman penggusuran lahan.
“Ah sudah-sudah. Kalian jangan terlalu berlebihan. Mari kita lakukan bertahap. Dimulai dengan mengamankan perumahan kita dari ancaman maling yang merajalela. Mungkin saja, dengan pengalaman itu, lain waktu kalian bisa perlahan-lahan mengamankan negara ini dari koruptor.” Akhirnya Pak RT bisa terbebas dari kebekuan aneh yang sejak tadi menyerangnya. Pidato beliaupun tampaknya menyadarkan sekaligus memotivasi para warga.
Pak RT pun melepaskan ikatan tangan Hartono. Warga satu persatu meminta maaf kepada Hartono, mencium tangan dan meninggalkan rumah pak RT. Sementara Hartono, yang sebenarnya kesal, lega juga akhirnya bisa meluruskan situasi. Terlebih Pak RT sendiri juga meminta maaf secara pribadi kepada dirinya. Bu Darsinpun ikut lega karena adik iparnya batal dibawa ke kantor polisi. Mereka bersiap meninggalkan rumah pak RT. Para petugas mulai sibuk membongkar tenda. Para warga yang melepas sendal ketika memasuki rumah pak RT, mengambil sendal mereka masing-masing untuk kemudian pulang ke rumah sambil berbincang ringan mengenai sepakbola.
“Pak! Sendal saya hilang!” Tiba-tiba teriakan seorang warga memecahkan ketentraman suasana yang baru saja terjadi.
21 Agustus 2011
“B.C.”
Ario Sasongko
Teriakan tetangga Bu Darsin tersebut, semerta-merta membuat seluruh warga menoleh kepadanya, dan praktis membukakan jalan lebar-lebar, ibarat kendaraan di jalan raya yang membukakan jalan ketika sebuah ambulan dengan sirenenya yang kencang, berusaha menembus kemacetan.
“Oh tragis sekali..”
“Kasihan..”
“Ibu yang malang..”
“Mengapa harus dia?”
“Itu siapa?”
“Tetangga depan rumah kita.”
“Yang rumahnya kemalingan?”
“Iya. Siapa lagi?”
“Oh begitu.”
“Sungguh tega…”
Berbagai gumaman warga, terdengar seiring Bu Darsin yang dengan resah berjalan masuk ke dalam rumah.
Pak RT menyambut kedatangan Bu Darsin dengan tangan terbuka, secara harafiah. Senyumnya yang lebar menyembul di balik kumis tebalnya. Senyum khas yang tampak bersahabat ini, menurut beberapa warga merupakan alasan mengapa beliau terpilih sebagai ketua RT. Sementara itu, Bu Darsin tak terlalu memperhatikan beliau. Dia lebih tertarik melihat sosok pria dengan rambut keriting ikal, yang tampak dari belakang, tangannya terikat dan duduk di bangku kayu, persis seperti terdakwa. Dengan tatapan sinis yang khas, yang biasa Bu Darsin gunakan ketika hendak menawar barang, Bu Darsin memperhatikan lekat-lekat pria tersebut. Pria tersebut pun, menyadari kehadiran Bu Darsin, menoleh ke arahnya dengan tatapan iba.
“Loh? Hartono!”
Bu Darsin terkesiap.
“Ah Darsin, tolong saya!” Ucap pria yang rupanya bernama Hartono tersebut.
Sementara itu, warga justru menjadi bingung dan saling berpandangan.
“Loh? Mereka saling kenal?”
“Jadi ini apa?”
“Dia bukan maling!”
“Belum tentu. Siapa tau mereka berkomplot.”
“Oh bisa jadi.”
“Ah edan sekali.”
Pak RTpun ikut heran melihat hal ini.
“Ibu kenal dengan maling ini?”
“Saya bukan maling!” Sanggah Hartono.
“Tapi warga menangkap anda, sewaktu berdiri di depan rumah Bu Darsin.”
“Memang saya enggak boleh berdiri di depan rumah orang?”
“Tapi sampai berjam-jam.”
Hartono menghela nafas panjang, sepertinya dia sudah cukup lelah dengan perdebatan yang tampaknya sudah dilakukannya berjam-jam yang lalu.
“Ya sudah kalau saya maling, mana buktinya?”
“Ah, warga sudah keburu menangkap saudara.”
“Artinya, kalaupun saya maling, buktinya belum ada, saya belum melakukan niat saya, yang artinya juga, saya belum sah disebut maling.”
“Oke-oke. Kalau begitu saya ulangi kalimat saya.” Pak RT tampaknya mencoba mengalah.
“Ibu kenal dengan calon maling ini?”
Ibu Darsim sadar, bahwa situasinya terdengar agak rumit, dan dia berniat untuk meluruskan keadaan.
“Tunggu dulu, memang bagaimana ceritanya sampai Hartono ini bisa ditangkap?”
Pak RT tersenyum lebar, menyembul di balik kumis tebalnya, kemudian dia mulai bercerita.
“Begini Bu. Tentu Ibu tahu bahwa daerah kita sedang rawan kemalingan. Sudah beberapa rumah menjadi korban, bahkan kejadiannyapun siang-siang, sama seperti sekarang.”
“Oh ya? Saya baru dengar. Tapi sudahlah. Lalu?”
“Nah, karena itu, saya mencoba meningkatkan keamanan, dengan basis aktif masyarakat. Siapapun yang berhasil menangkap maling, akan mendapat imbalan.”
“Tapi apa hubungannya dengan Hartono?”
“Begini.” Pak RT tak lupa kembali tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
“Warga kita banyak yang menganggur, artinya banyak waktu luang. Nah rupanya waktu luang ini mereka jadikan kesempatan untuk mengintai keadaan sekitar perumahan kita. Yah, lumayanlah hitung-hitung kalau bisa dapat maling, kan mereka bisa dapat penghasilan.”
“Hubungannya?”
“Nah! Siang ini mereka sudah mencurigai kedatangan Hartono, karena dia bukan warga sini. Berjam-jam mereka memperhatikan Hartono yang berdiri di depan rumah Ibu, melihat-lihat ke sekeliling rumah.”
Beberapa warga mengangguk mendengar penjelasan dari pak RT, sepertinya mereka adalah diantara beberapa warga yang melakukan pengintaian.
“Hartono ini, berjam-jam enggak pindah dari depan rumah Ibu. Kadang-kadang dia berjongkok sambil merokok, sempat pula memanggil tukang ketoprak yang lewat, untuk dibuatkan satu porsi. Pokoknya lama sekali.”
“Memangnya saya enggak boleh makan ketoprak di depan rumah orang?” Hartono kembali menyanggah.
Pak RT tak menghiraukan sanggahan Hartono dan lanjut bercerita.
“Warga takut, kalau-kalau dia keburu masuk ke dalam rumah Ibu, dan tentu saja mencuri barang-barang di dalam. Karena itu, mereka segera menangkapnya.”
“Saya sudah bilang! Saya ini adik ipar Bu Darsin. Saya lagi nunggu Bu Darsin pulang. Kalau Bu Darsin ada di rumah, tentu saya sudah masuk dari tadi.”
Bu Darsin mengiyakan penjelasan Hartono, yang rupanya adik ipar Bu Darsin. Bu Darsin juga menjelaskan, bahwa Hartono adalah orang terhormat, anggota DPR. Dengan kata lain, tidak mungkinlah orang dengan latar belakang seperti itu; Adik ipar dan anggota DPR, kemudian berniat untuk mencuri di rumah kakak iparnya sendiri. Penjelasan Bu Darsin memang sangat meyakinkan, sehingga beberapa warga yang ada di luar, sedikit demi sedikit mulai meninggalkan rumah Pak RT. Tampaknya mereka kecewa. Bu Darsinpun hendak melepaskan ikatan tangan Hartono, sampai kemudian ada lagi satu warga yang menyanggah.
“Tunggu dulu! Anggota DPR juga banyak yang maling!”
“Kata siapa?” Hartono kali ini menanggapi karena tampaknya dia merasa tersinggung dengan tudingan yang baru ini.
“Ah, kita sering lihat di TV!”
“Maling bagaimana?”
“Korupsi! Itukan sama aja maling uang rakyat!” Warga lain menimpali.
“Loh! Apa hubungannya dengan saya?”
“Bapak kan anggota DPR juga. Berarti bapak koruptor.”
“Memang semua anggota DPR berarti koruptor?”
“Ah bisa saja!” Warga lainnya ikut menimpali.
“Mana buktinya saya koruptor?”
“Loh! Sekarang coba bapak yang buktikan. Mana buktinya kalau bapak bukan anggota DPR yang korup?”
Kali ini keadaan telah berubah sedemikian rupa, sehingga Bu Darsin sendiri sudah tak mampu memberikan pembelaan apa-apa. Dia memang tahu bahwa Hartono ini, adik iparnya, adalah anggota DPR. Namun dia juga tak tahu, apakah Hartono merupakan anggota DPR yang korup. Sementara itu, Pak RT hanya diam dengan senyum lebar yang menyembul di balik kumis tebalnya. Namun senyum ini agak berebeda, wajahnya pucat, dan bulir-bulir keringat dingin bermunculan di dahinya. Entah mungkin karena tema pembahasan ini agak sensitif baginya. Belum lama ini memang RT mereka baru saja melakukan perbaikan jalan, dengan dana hasil sumbangan warga dan dikoordinasi langsung oleh Pak RT sendiri.
“Kita bawa saja dia ke polisi!” Teriak seorang warga dan membuat sekumpulan warga itu berjalan dengan beringas, bersiap mengarak Hartono menuju kantor polisi. Dengan susah payah Bu Darsin berusaha menahan gelombang warga yang ingin menghampiri adik iparnya ini. Sementara Pak RT masih saja berdiri seperti patung dengan senyumnya tersebut, tidak bereaksi sama sekali.
“Tunggu dulu. Tunggu dulu!”
Teriakan Hartono tampaknya berhasil menghentikan animo warga untuk sejenak. Lagipula dia masih saja duduk di kursi kayu dengan tangan yang terikat ke belakang, jadi tak ada hal yang bisa dilakukannya selain berteriak.
“Jadi sebenarnya apa alasan kalian membawa saya ke polisi? Saya bukan maling, kan Bu Darsin sudah menjelaskan duduk persoalannya.”
“Ya, anda memang bukan maling rumah Bu Darsin.”
“Lalu kenapa saya masih mau dibawa ke kantor polisi?”
“Yah, siapa tau anda ini koruptor.”
“Cuma dengan alasan “siapa tahu,” kalian mau bawa saya ke polisi?”
Para warga mengangguk yakin.
“Ini apa-apan sih? Memang kalian KPK? Lagipula, kalau enggak ada bukti, mana bisa saya ditangkap?”
Kali ini para warga saling berpandangan. Benar juga ucapan si Hartono ini. Sebagai pencuri yang mencoba masuk ke dalam rumah Bu Darsin saja, mereka tak memiliki bukti apa-apa, walau kecurigaannya ada. Namun, untuk menjebloskan politikus ke dalam penjara, apalagi dengan tuduhan korupsi, rasanya hal itu sangat sulit. Petinggi KPK saja banyak yang ditendang dari jabatannya karena usaha tersebut, apalagi warga perumahan biasa? Bisa-bisa, jika mereka masih ngotot, besok rumah mereka akan kena ancaman penggusuran lahan.
“Ah sudah-sudah. Kalian jangan terlalu berlebihan. Mari kita lakukan bertahap. Dimulai dengan mengamankan perumahan kita dari ancaman maling yang merajalela. Mungkin saja, dengan pengalaman itu, lain waktu kalian bisa perlahan-lahan mengamankan negara ini dari koruptor.” Akhirnya Pak RT bisa terbebas dari kebekuan aneh yang sejak tadi menyerangnya. Pidato beliaupun tampaknya menyadarkan sekaligus memotivasi para warga.
Pak RT pun melepaskan ikatan tangan Hartono. Warga satu persatu meminta maaf kepada Hartono, mencium tangan dan meninggalkan rumah pak RT. Sementara Hartono, yang sebenarnya kesal, lega juga akhirnya bisa meluruskan situasi. Terlebih Pak RT sendiri juga meminta maaf secara pribadi kepada dirinya. Bu Darsinpun ikut lega karena adik iparnya batal dibawa ke kantor polisi. Mereka bersiap meninggalkan rumah pak RT. Para petugas mulai sibuk membongkar tenda. Para warga yang melepas sendal ketika memasuki rumah pak RT, mengambil sendal mereka masing-masing untuk kemudian pulang ke rumah sambil berbincang ringan mengenai sepakbola.
“Pak! Sendal saya hilang!” Tiba-tiba teriakan seorang warga memecahkan ketentraman suasana yang baru saja terjadi.
21 Agustus 2011
“B.C.”
Ario Sasongko