Kupikir hidup itu tak seromantis buaian kalimat-kalimat yang tersusun rapih dan menarik yang berbicara banyak tentang hidup. Aforisme sebagai buah pikiran, hanyalah-jika bisa dikecilkan sedemikan, sebuah buah gagasan dari sebuah individu, yang mewakilkan cara pandangnya dalam memaknai hidup. Entah mengapa kemudian, banyak sekali orang yang mengagungkan logika berpikir orang lain. Apakah kepala mereka telah gagal dalam memfungsikan organ-organ di dalamnya untuk berlogika?
Contoh akut itu, dapat dirasakan pula, ketika orang-orang yang kehilangan motivasi hidup, butuh pegangan atau semacam panduan untuk menyembuhkan diri mereka. Muncullah buku-buku "self healing"- populer dengan istilah demikian, di kalangan masyarakat, program televisi yang menayangkan motivator ulung yang pandai sekali mendongeng, atau di jejaring sosial tempat dimana para motivator ulung itu terlihat eksis sekali dengan ribuan penggemarnya.
Temanku- seorang yang jelas penggila motivator, pernah protes mengenai tanggapanku yang datar-datar saja ketika memperkenalkan padaku buku "The Secret" (bagi yang belum pernah membaca buku itu, aku rekomendasikan untuk tidak perlu membacanya.) Ia balik menyerangku, dengan mengatakan bahwa sikap dan pandanganku itu kontradiktif- bahwa ketika aku mempelajari sebuah buku teori, anggaplah teori film, itu artinya aku sedang mengikuti logika berpikir orang lain. Ya, aku tak menyangkal gejala itu, bahwa ketika kita membaca sebuah buku, mau tidak mau kita berpikir (sejenak) pada jalur berpikir penulisnya. Paling tidak, demikianlah yang sebagaimana terlihat pada umumnya. Namun ada sebuah pembeda yang kupikir nyata dalam dua kondisi tersebut. Ketika aku mempelajari sebuah teori, benar aku mengikuti logika berpikir penulisnya. Hal demikian aku lakukan, tak lain sebagai bentuk untuk mencoba memahami isi buku tersebut. Dari sanalah, kemudian muncul pemahaman dan proses berpikir, mencerna informasi yang kita tangkap di kepala kita. Bentuk keluarannya, adalah pola pemikiran yang disebut sebagai referensi atau bahkan penolakan. Dan biasanya pula, semakin banyak ilmu yang kita ketahui, semakin pula kita ingin mempelajari ilmu tersebut dari berbagai sudut pandang dan teori.
Lain halnya dengan buku motivasi, yang secara terang-terangan menyuruh kalian untuk bertindak dan berpikir sesuai kemauan isi buku itu. Dan kadang, isinya sendiri tak lain sebagai hal-hal yang sebenarnya sudah kita ketahui sejak kita masih TK. Contoh: "Jika ingin sukses, maka kita harus bekerja keras," atau aforisme yang sering kutemui di buku tulis ketika masih di Sekolah Dasar "When there is a will, there is a way." Apakah kalian benar-benar butuh orang lain untuk menuliskan hal semacam itu, agar kalian bisa bersemangat menjalani hidup?
Memang, aforisme itu-kembali kutekankan di sini, bukanlah sesuatu hal yang buruk. Namun sayang sekali, ia dimanfaatkan oleh orang-orang "tidak bertanggung jawab" yang berkedok kepedulian pada sesama, atau memanfaatkan bakat diplomasi bawaan lahir yang kemudian bertujuan akhir tak lain untuk mendapatkan penghasilan dari padanya. Kadang mereka-mereka inilah yang rasanya bertanggung jawab pula pada kehancuran hidup seseorang. Seperti contohnya, kehancuran ekonomi Amerika, akibat hutang macet pada sektor bisnis properti. Semua orang bermimpi untuk memiliki rumah sendiri, dan berkat aforisme tentang keyakinan untuk mencapai impian, mulailah mereka menyicil rumah dengan uang muka yang rendah, namun ketika kemudian mereka tak mampu membayar hutang, dan aset-aset mereka justru disita dan mereka jatuh miskin, apakah para oknum yang berhobi memotivasi orang itu mau bertanggung jawab? Seandainya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mau mengurusi kerugian-kerugian konsumen yang seperti ini. Terlebih dengan budaya konsumtif di negara ini, semakin hari semakin banyak saja orang-orang yang mengkonsumsi kalimat-kalimat motivasi dengan porsi yang bertambah setiap harinya.
Aku menulis ini bukan karena aku merasa bahwa aforisme adalah hal yang buruk. Tidak sama sekali seperti itu. Hal yang aku permasalahkan justru manusianya, pelaku dan para korbannya. Aku sama sekali tak mengerti, bagaimana ada orang yang bisa berbunga-bunga ketika membaca sebuah aforisme bikinan orang lain, dan menjadikannya pedoman hidup pribadinya. Apakah tak ada yang sadar, bahwa keindahan aforisme itu hanyalah ketika membacanya? Karena setelah itu, kembalilah kita ke dunia nyata, ruang yang menguji hidup anda dari apa yang ada di dalam diri anda. Belum lagi fakta bahwa aforisme hanyalah produk dari pola pikir orang lain. Apakah kalian benar-benar serapuh itu, hingga sungguh butuh kalimat-kalimat motivasional yang bisa mengangkat semangat anda sampai keubun-ubun? Atau tidakkah, anda mempertimbangkan, jika demikian, untuk menuliskannya di balik kelopak mata anda, agar dapat membacanya setiap saat? Dan melonjaklah terus semangat anda yang mendobrak ubun-ubun itu.
Sejak awal aku sadar, bahwa para pecandu aforisme pasti akan sangat menyangkal tulisanku ini. Itu wajar, karena aforisme kini berposisi tak ubahnya seperti ayat di kitab suci, yang harus diyakini dan diamalkan. Aforisme motivasional macam itu, sudah tak beda seperti keyakinan di dalam hati-seperti agama.
Jika kalian membaca tulisan ini, dan merasakan adanya tendensi penolakan di hati kalian, hati-hatilah, barangkali kalian memang salah satu di antara mereka.
26 Maret 2012
Ario Sasongko