mencari-cari ruang
hitam pekat
rapat
dan seribu percobaan memejamkan mata
kandas.
Subuh memanggil tidur.
Gelap makin uzur.
Ario Sasongko
18 Februari 2012
Hening menggumul
mencari-cari ruang hitam pekat rapat dan seribu percobaan memejamkan mata kandas. Subuh memanggil tidur. Gelap makin uzur. Ario Sasongko 18 Februari 2012
2 Comments
Di dermaga,
kuperhatikan lambai-lambai di ujung laut sana. Kenangan-kenangan itu berkelit. Kala hari ini, kutunggu kapalmu menyandar, kembali ke tempat pertama Hatiku menggumamkan nama. Satu, hanya kau. Lirihnya tak pernah keluar suara. Hanya membicara melalui mata. Semua berawal ketika aku secara tidak sengaja menemukan artikel pada sebuah portal berita online. Artikel itu menjelaskan tentang undangan untuk mengirimkan puisi dengan tema konflik yang kala itu terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Nantinya, puisi-puisi yang terpilih akan dicetak ke dalam buku antologi puisi dengan judul "Antologi Puisi Bima Membara." (Jika kalian tak pernah mendengar kabar tentang konflik Bima, silahkan lakukan riset anda masing-masing.) Kegiatan ini digagas oleh beberapa orang dari komunitas "Sastra Pembebasan," walau aku tak tahu apakah kegiatan ini mengatas namakan komunitas tersebut atau tidak.
Aku sedang mendengarkan Symphony no.40 in G minor karya Mozzart, ketika memikirkan ini.
Aku memutuskan untuk tidak memilih siapapun, pada pemilihan umum yang lalu. Ya, aku datang ke tempat pemilihan umum karena panitia di RW-ku, menggunakan pengeras suara masjid, dengan gagah berani terus saja menyebutkan nama-nama warga yang belum datang untuk menggunakan hak pilihnya. Akhirnya aku datang, diam-diam membawa spidol warna merah, diam-diam pula mencorat coret wajah mereka yang terpampang di kertas pemilihan itu, kemudian pulang lagi ke rumah. Entah apa reaksi para panitia itu ketika melihatnya. Kupikir permasalahan utama negara ini, adalah karena masyarakatnya yang sudah mulai melupakan gagasan. Kita semua, sebagai sebuah individu-individu kecil, yang merumpun menjadi sebuah kesatuan warga negara, telah kehilangan kemampuan kolektifnya dalam berpikir dan bertindak. Aku akan menuliskan ini semua tanpa satupun referensi atau teori-teori pendukung ucapanku. Ini pula bukanlah sebuah argumen, atau hipotesa tertentu mengenai gejala. Tulisanku kali ini hanyalah geliat yang coba kuakomodir, sampai nanti diakhiri ketika hasrat untuk menuliskannya telah berakhir.
Tanpa kau cari tahupun, tentulah kau paling tidak sedikit-sedikit pernah mendengar kisah-kisah tentang para manusia yang merasai diri mereka tinggi dan disebutlah sebagai wakil rakyat itu, dan tentu kabar-kabar tentang pola pikir mereka, perlakuan mereka terhadap negara ini dan segala macamnya. Kadang tak habis pula kupikirkan urusan itu, tentang bagaimana orang-orang itu seperti tanpa dosa menamai diri mereka wakil rakyat, sementara segala perlakuan mereka tak sungguh mempersoalkan tentang rakyat.
Mereka ingin gedung baru, rakyat protes. Mereka ingin toilet baru, rakyat protes. Mereka ingin pesawat baru, rakyat protes. Mereka pergi berbondong ke pelosok dunia, rakyat protes. Mereka menetapkan pajak kepada pengusaha warteg, rakyat protes. Teruslah demikian mereka ingin sesuatu, rakyatpun protes. Heran, sedikitlah paling tidak, aku pada konflik "ingin-protes" ini, karena semua yang mereka inginkan, segala rencana-rencana itu, tak ada hubungannya dengan rakyat. Lalu kenapa kemudian rakyat protes? |
Halaman ini berisi tulisan harian tentang apa saja yang muncul di pikiran saya.
Archives
January 2016
|