Ario sasongko
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya

Revolusi Dalam Hati

9/2/2012

3 Comments

 
Aku sedang mendengarkan Symphony no.40 in G minor karya Mozzart, ketika memikirkan ini.

Aku memutuskan untuk tidak memilih siapapun, pada pemilihan umum yang lalu. Ya, aku datang ke tempat pemilihan umum karena panitia di RW-ku, menggunakan pengeras suara masjid, dengan gagah berani terus saja menyebutkan nama-nama warga yang belum datang untuk menggunakan hak pilihnya. Akhirnya aku datang, diam-diam membawa spidol warna merah, diam-diam pula mencorat coret wajah mereka yang terpampang di kertas pemilihan itu, kemudian pulang lagi ke rumah. Entah apa reaksi para panitia itu ketika melihatnya.
Tadi aku berbincang dengan seorang kawan, dan aku menceritakan pengalaman itu. Dia berpendapat bahwa cara yang kulakukan salah, karena suara-suara yang dianggap tidak terpakai itulah, yang kemudian diklaim oleh para politikus, dengan sejumlah uang tentu saja, dan dimanipulasi sedemikian rupa hingga menguntungkan mereka. Saat kutanya, bagaimana seharusnya aku bersikap. Temanku beranggapan bahwa harusnya aku menggunakan hak suaraku untuk memilih, karena mau tidak mau kita harus menggunakan hak suara kita agar tidak dimanfaatkan oleh oknum politikus semacam itu.

Apa-apaan ini? Apakah memang warga negara ini harus menghadapi situasi jalan buntu, kuldesak, macam ini? Negara ini sudah keterlaluan. Aparat, peraturan, dan mekanisme negara ini, yang terbentuk ke dalam sebuah sistem pemerintahan, sudah sangat kelewatan melenceng dari romantisme demokrasi yang pernah ada. Pada sebuah titik, aku berpikir bahwa revolusi adalah jawabannya.

Revolusi. Kata itu akrab kudengar, sejak aku mempelajari Soekarno. Tak banyak yang kutahu darinya, dan pada kelanjutan tulisanku, para Soekarnois di luar sana akan memaki tulisan ini, dan berkata "Bangsat. Diam saja kau jika kau tak tahu apa yag kau tuliskan." Biarlah, biarlah tulisan ini menjadi racauan yang tolol.

Kupikir revolusi tak pernah benar-benar terjadi di negeri ini, tak juga ketika Indonesia pada akhirnya merdeka. Konteks revolusi yang kumaksudkan di sini, adalah sebuah pergerakan anak-anak bangsa, dan juga kemudian dipelihara sejati oleh para revolusioner dengan kelanjutan cita-cita revolusi yang tetap terjaga pada kelanjutannya dan perjuangannya. Pernyataan proklamasi, dan bagaimana Indonesia bertahan dari dua kali Agresi Militer Belanda, dan pada akhirnya konflik ini diselesaikan dalam konferensi Meja bundar pada tahun 1949, bukan pula murni proses dan ketekunan tokoh revolusioner sejati bangsa ini. Nanti akan kujelaskan, mengapa aku berpikiran sedemikan lancang dan tolol.

Selama pasca kemerdekaan, Soekarno yang sejak menjadi presiden Republik Indonesia (dahulu disebut Republik Indonesia Serikat) selalu membuai rakyat dengan impian revolusi. Apa-apa disebutnya sebagai proses dari revolusi. Contoh saja, ketika terjadi Gerakan 30 September, yang menewaskan Petinggi tentara Angkatan Darat, dengan tenang Soekarno berkata bahwa peristiwa semacam ini adalah hal yang lumrah dalam proses revolusi. Apanya yang revolusioner dari peristiwa itu? Anak bangsa membunuh saudara sendiri. Demi apa? Tak lain demi sebuah skenario perebutan kekuasaan. Itu bukan revolusi, itu adalah konspirasi politik yang berorientasi murni pada kekuasaan. Lebih buruk lagi, gerakan itu gagal, kudeta gagal yang berlanjut pada pembantaian rakyat tak berdosa hanya karena phobia kudeta babak kedua dan perlakukan khusus umum terhadap orang-orang yang pernah berinteraksi dengan ideologi komunis, dan pembataian itu berkedok menjaga stabilitas keamanan negara.

Lalu, Reformasi tahun 1998, misalnya. Beruntung peristiwa itu mereka namai sebagai reformasi, bukan revolusi. Peristiwa tahun 1998, menurutku memang hanya sebuah reformasi kekuasaan belaka. Para mahasiswa, anak-anak muda berjiwa revolusioner itu, sayang sekali ditunggangi oleh beberapa tokoh yang memanfaatkan kebencian pada mendiang Soeharto, untuk menggulingkan kekuasaan. Megawati, contohnya, menggunakan nama besar Bapaknya, demi memanfaatkan situasi dan akhirnya bisa pula naik sebagai presiden. Masih ingatkah kemudian apa yang Megawati lakukan pada pemilu yang lalu? Dia berkoalisi dengan Prabowo, pejabat orde baru yang bertanggung jawab atas banyak nyawa tak berdosa pada masa itu. Ya, Megawati kemudian terang-terangan menunjukkan dirinya sebagai pengkhianat Reformasi, sambil tak tahu malu pula bersembunyi di balik nama besar Bapaknya. Jangan lupa pula dengan para demonstran, aktifis era 98, yang dahulu sangat vokal dengan idealisme mereka. Kau sadar betapa busuknya pemerintahan negara ini, saat ini pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Ya, tak sedikit dari wakil rakyat yang sudah jadi rahasia umum kebusukannya itu, adalah mantan aktifis tahun 98. Mereka kini sedang sibuk menjilat ludah yang mereka muntahkan sendiri.

Lalu, apalah maknanya perjuangan di tubuh bangsa ini?

Masih segar di ingatanku, peristiwa revolusi timur tengah belakangan ini. Mesir, berhasil menggulingkan diktaktor mereka, Hosni Mubarak, untuk apa? Apa kalian tahu bahwa kini Mesir dikuasai oleh pemerintahan militer yang otoriter, dan bahkan tak kalah mengerikannya dibanding era Mobarak? Tak perlu ragu, sebentar lagi Libya pasti bernasib sama. Demikian pula yang terjadi dengan Reformasi Indonesia. Penggulingan mendiang Soeharto, hanya berlanjut pada dagelan naik turun pergantian kekuasaan yang tolol, dari satu presiden ke presiden lain, yang kemudian distabilkan oleh pemerintahan era sekarang dengan politik pencitraan dan pembodohan. Apakah hanya aku saja yang berpikir bahwa, prakter revolusi di dunia ini, kebanyakan terjebak hanya pada orientasi penggulingan kekuasaan? Orientasi yang menurut ku sangat dangkal.

Ada pula contoh lain, dan ini penjelasan dari pendapatku di awal tulisan ini, tentang revolusi Indonesia. Selama puluhan tahun yang lalu itu, layaknya motivator kondang, Soekarno selalu saja mengagungkan kata Revolusi. Apakah benar Soekarno seorang revolusioner yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan? Apa ada yang sadar, bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, merupakan ide dari anak-anak muda Indonesia. Soekarno pada kala itu, justru sangat pro Jepang, dan menunggu kemerdekaan yag dijanjikan Jepang sejak kedatangannya di tanah negeri ini. Jika memang Soekarno seorang revolusioner sejati, bukankah harusnya ia sadar bahwa kemerdekaan harus diraih melalui perjuangan, bukan melalui kompromi yang merugikan bangsa sendiri. Silahkan lakukan riset anda sendiri, dan temukan bagaimana pidato berapi-api Soekarnolah yang menjadi salah satu faktor pendukung matinya ribuan rakyat indonesia dalam praktek Romusha, yang tak lain demi mendukung persediaan logistik Jepang dalam peperangan di masa itu.

Sama halnya, seperti ketika Belanda ingin kembali mengklaim Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Saat itu, Soekarno salah satu tokoh yang setuju dengan perundingan wilayah kekuasaan dengan Belanda. Sementara itu, banyak tokoh lain, seperti Sudirman dan Tan Malaka yang menolaknya. Seperti analogi Tan Malaka yang kala itu berkata; Mengapa kita harus berunding dengan maling yang masuk tanpa izin ke dalam rumah kita? Ya, aku setuju dengan analogi itu. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan idiom “Merdeka 100%” Sebuah idiom yang diacuhkan para (yang disebut) tokoh revolusioner dan lebih memilih untuk berunding dalam perundingan Linggarjati. Hasilnya, Belanda pada akhirnya mengkhianati perjanjian itu dan melakukan agresi militer. Terbuktilah bahwa sejak awal harusnya Indonesia tak sudi berunding dengan maling. Itulah mengapa kusebut Revolusi tak benar-benar terjadi di negeri ini, selalu ada titik-titik lunak, kompromi yang dimanfaatkan untuk mengendurkan perjuangan revolusi itu.

Jika kita sedikit membandingkan. Pada revolusi Cina, ketika gerakan Revolusioner Sun Yat Sen berhasil menguasai separuh dari Cina, dan Sun Yat Sen didaulat sebagai presiden Republik Cina untuk pertama kalinya, hal pertama yang dijanjikan oleh Sun Yat Sen, adalah dia akan mundur dari jabatan itu segera setelah Cina benar-benar menjadi negara Republik seutuhnya. Itulah yang benar-benar terjadi ketika pemerintahan monarki korup dinasti Qing berhasil digulingkan, Sun Yat Sen mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin. Berbanding terbalik dengan Soekarno yang naik menjadi presiden ketika berhasil “memerdekakan” bangsa ini. Demikian pula dengan Amien Rais yang menjadi ketua MPR, segera setelah Reformasi.

Aku tidak bermaksud mengecilkan andil tokoh-tokoh bangsa ini. Aku hanya memiliki keresahan, apakah segala perjuangan tokoh bangsa ini, memang berorientasi pada kekuasaan sebagai hasil perjuangan atau murni karena memikirkan nasib rakyatnya? Kupikir pula aku masih bodoh dalam membaca situasi semacam ini, namun jika aku boleh berpendapat, dan karena konon ini adalah negara yang demokratis, maka aku akan berpendapat sebagai berikut;

Revolusi sejati, adalah sebuah gagasan dan keresahan yang memang tertanam di dalam hati seluruh rakyat. Perjuangan itu pula, merupakan perjuangan yang digerakan oleh rakyat, atas nama rakyat dan demi kepentingan rakyat. Revolusi bukan berarti perjuangan untuk merebut kekuasaan atau perjuangan untuk mengganti kekuasaan. Pergantian kekuasaan dalam revolusi adalah hal yang tak terhindarkan, memang, namun posisinya tak lain seperti efek samping ketika kau mengkonsumsi obat ketika kau sakit. Tujuan sejati dari revolusi adalah apa yang ada di dalam hati setiap rakyatnya dan demi rakyat itu sendiri, karena dengan demikianlah perjuangan itu takkan pernah mati.

Aku tak tahu apakah pendapat semacam itu hanyalah mimpi yang buta. Namun, kupikir, untuk saat ini sebaiknya revolusi harus diurungkan dari proses perjalanan bangsa Indonesia. Kupikir, tak ada seorang Indonesiapun yang mampu melakukan revolusi yang pro rakyat dalam situasi seperti ini. Siapa yang bisa merobak sistem, mengabaikan politikus yang ahli memanipulasi keadaan, dan mencabut modal-modal asing yang bercokol dan menjadi benalu di atas tanah kita? Jawab saja di hati kalian masing-masing.

10 Februari 2012
Ario Sasongko
3 Comments
Y. Budianto Monareh link
9/2/2012 10:00:35 pm

Mungkin Ario 'muak' dengan keadaan negeri ini yang para 'pemimpinnya' berada 'di bawah standar minimum', tidak memilih juga merupakan hak, dalam hukum, hak itu boleh digunakan, juga boleh tidak digunakan, berbeda dengan kewajiban, semoga dalam pemilu berikutnya, ada yang di atas 'standar minimum' [hahaaa kalau pake perumpamaan di sekolah, ada yang nilainya minimal 6.0]. Itulah indahnya demokrasi.

Reply
Y. Budianto Monareh link
9/2/2012 10:21:13 pm

tulisanmu bagus, jujur, apa adanya, dan ada benarnya, tahu kan bahwa ada daerah yg merdeka lebih dulu, yaitu di Rengasdengklok, juga para pemudalah yang seharusnya mendapat penghargaan krn dengan menculik BK, maka terjadilah Proklamasi. Suatu saat nanti, pemahamanmu akan lebih 'mendalam', dan akan lebih mengerti, yaitu dengan mempelajari bidang 'politik'. Jangan apriori, jangan enggan untuk mempelajari, mengapa? karena, suka tidak suka, semua manusia bersentuhan, berkaitan, juga terkena dampaknya (UU, perda, SK dll adalah produk politik), walaupun tentu saja, berpolitik harus dengan etika. Ilmu politik bisa dan wajib dipelajari (malah kalau memang tertarik ya dikuasai). Dalam bermahasiswa, senat adalah lembaga politik, dalam membina hubungan dengan para pemimpin akademi, sesama mhsw, dalam bernegosiasi dalam konteks apapun, itu juga berpolitik. Mengapa? karena kita punya kepentingan, kepentingan diri sendiri, kelompok, golongan, dst dst. Yang paling penting sekarang adalah, jangan mau didikte oleh mereka yang mengatakan 'politik itu kotor', 'politik itu jahat'. Tidak! Politik itu netral, tergantung siapa yang menggunakannya. Persis sama dengan analogi, "pisau". BIsa untuk tindakan positif, dan juga negatif. Kalau saya, Ario, saya sedang 'jatuh cinta' dengan politik. Karena hidup itu adalah multi-disiplin, campuran bermacam-macam bidang, dengan menambah faktor politik, maka saya merasa 'lebih bisa memahami', misalnya kenapa SBY begini, begitu, [walaupun kalau sy anggap dia salah, ya tetap saja salah, kalau dia bertindak bodoh, ya tetap sy katakan dia bodoh]. Nah dengan memahami 'politik', tegas sy katakan di sini, dia itu bodh berpolitik!

Reply
Ario Sasongko
9/2/2012 10:39:55 pm

Jujur saja, saya memang awam terhadap politik. Tulisan ini, misalnya, saya buat akibat keresahan saya ketika melakukan riset mengenai perjalanan sejarah Indonesia. Keresahan akibat bertambahnya pengetahuan saya.

Saya, pikir ilmu pengetahuan lah yang membuat umat manusia berkembang, sebagai bentuk kesatuan kolektif maupun sebagai individu. Saya harus bersetuju sekali dengan pendapat bahwa janganlah kita apriori pada politik, sejatinya, kupikir merugilah orang yang menutup diri dari ilmu pengetahuan, termasuk politik.

Saya masih tidak tahu, akan seperti apakah kepala saya ini menggerakkan saya untuk bertindak dalam waktu-waktu ke depan. Satu hal yang pasti, semakin bertambahnya pengetahuan, semakin kepala saya ini diliputi keresahan.

Keresahan yang jelas sekali, walau masih berupa bibit, takkan bisa saya abaikan dalam kelanjutan rencana hidup saya. Entah akan saya implementasikan seperti apa. Mungkin, saya akan mengetahuinya seiring dengan bertambahnya pengetahuan di kepala saya.




Leave a Reply.

    Halaman ini berisi tulisan harian tentang apa saja yang muncul di pikiran saya.

    RSS Feed

    Archives

    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2013
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    July 2012
    June 2012
    May 2012
    April 2012
    March 2012
    February 2012
    January 2012
    December 2011
    November 2011
    October 2011
    September 2011
    August 2011
    July 2011
    June 2011
    March 2011
    February 2011
    January 2011
    December 2010

    Real Time Web Analytics
Powered by Create your own unique website with customizable templates.
  • Home
  • BUKU
  • Tulisan, Pikiran
  • Cerita Pendek
  • Hubungi Saya