Aku memutuskan untuk tidak memilih siapapun, pada pemilihan umum yang lalu. Ya, aku datang ke tempat pemilihan umum karena panitia di RW-ku, menggunakan pengeras suara masjid, dengan gagah berani terus saja menyebutkan nama-nama warga yang belum datang untuk menggunakan hak pilihnya. Akhirnya aku datang, diam-diam membawa spidol warna merah, diam-diam pula mencorat coret wajah mereka yang terpampang di kertas pemilihan itu, kemudian pulang lagi ke rumah. Entah apa reaksi para panitia itu ketika melihatnya.
Apa-apaan ini? Apakah memang warga negara ini harus menghadapi situasi jalan buntu, kuldesak, macam ini? Negara ini sudah keterlaluan. Aparat, peraturan, dan mekanisme negara ini, yang terbentuk ke dalam sebuah sistem pemerintahan, sudah sangat kelewatan melenceng dari romantisme demokrasi yang pernah ada. Pada sebuah titik, aku berpikir bahwa revolusi adalah jawabannya.
Revolusi. Kata itu akrab kudengar, sejak aku mempelajari Soekarno. Tak banyak yang kutahu darinya, dan pada kelanjutan tulisanku, para Soekarnois di luar sana akan memaki tulisan ini, dan berkata "Bangsat. Diam saja kau jika kau tak tahu apa yag kau tuliskan." Biarlah, biarlah tulisan ini menjadi racauan yang tolol.
Kupikir revolusi tak pernah benar-benar terjadi di negeri ini, tak juga ketika Indonesia pada akhirnya merdeka. Konteks revolusi yang kumaksudkan di sini, adalah sebuah pergerakan anak-anak bangsa, dan juga kemudian dipelihara sejati oleh para revolusioner dengan kelanjutan cita-cita revolusi yang tetap terjaga pada kelanjutannya dan perjuangannya. Pernyataan proklamasi, dan bagaimana Indonesia bertahan dari dua kali Agresi Militer Belanda, dan pada akhirnya konflik ini diselesaikan dalam konferensi Meja bundar pada tahun 1949, bukan pula murni proses dan ketekunan tokoh revolusioner sejati bangsa ini. Nanti akan kujelaskan, mengapa aku berpikiran sedemikan lancang dan tolol.
Selama pasca kemerdekaan, Soekarno yang sejak menjadi presiden Republik Indonesia (dahulu disebut Republik Indonesia Serikat) selalu membuai rakyat dengan impian revolusi. Apa-apa disebutnya sebagai proses dari revolusi. Contoh saja, ketika terjadi Gerakan 30 September, yang menewaskan Petinggi tentara Angkatan Darat, dengan tenang Soekarno berkata bahwa peristiwa semacam ini adalah hal yang lumrah dalam proses revolusi. Apanya yang revolusioner dari peristiwa itu? Anak bangsa membunuh saudara sendiri. Demi apa? Tak lain demi sebuah skenario perebutan kekuasaan. Itu bukan revolusi, itu adalah konspirasi politik yang berorientasi murni pada kekuasaan. Lebih buruk lagi, gerakan itu gagal, kudeta gagal yang berlanjut pada pembantaian rakyat tak berdosa hanya karena phobia kudeta babak kedua dan perlakukan khusus umum terhadap orang-orang yang pernah berinteraksi dengan ideologi komunis, dan pembataian itu berkedok menjaga stabilitas keamanan negara.
Lalu, Reformasi tahun 1998, misalnya. Beruntung peristiwa itu mereka namai sebagai reformasi, bukan revolusi. Peristiwa tahun 1998, menurutku memang hanya sebuah reformasi kekuasaan belaka. Para mahasiswa, anak-anak muda berjiwa revolusioner itu, sayang sekali ditunggangi oleh beberapa tokoh yang memanfaatkan kebencian pada mendiang Soeharto, untuk menggulingkan kekuasaan. Megawati, contohnya, menggunakan nama besar Bapaknya, demi memanfaatkan situasi dan akhirnya bisa pula naik sebagai presiden. Masih ingatkah kemudian apa yang Megawati lakukan pada pemilu yang lalu? Dia berkoalisi dengan Prabowo, pejabat orde baru yang bertanggung jawab atas banyak nyawa tak berdosa pada masa itu. Ya, Megawati kemudian terang-terangan menunjukkan dirinya sebagai pengkhianat Reformasi, sambil tak tahu malu pula bersembunyi di balik nama besar Bapaknya. Jangan lupa pula dengan para demonstran, aktifis era 98, yang dahulu sangat vokal dengan idealisme mereka. Kau sadar betapa busuknya pemerintahan negara ini, saat ini pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Ya, tak sedikit dari wakil rakyat yang sudah jadi rahasia umum kebusukannya itu, adalah mantan aktifis tahun 98. Mereka kini sedang sibuk menjilat ludah yang mereka muntahkan sendiri.
Lalu, apalah maknanya perjuangan di tubuh bangsa ini?
Masih segar di ingatanku, peristiwa revolusi timur tengah belakangan ini. Mesir, berhasil menggulingkan diktaktor mereka, Hosni Mubarak, untuk apa? Apa kalian tahu bahwa kini Mesir dikuasai oleh pemerintahan militer yang otoriter, dan bahkan tak kalah mengerikannya dibanding era Mobarak? Tak perlu ragu, sebentar lagi Libya pasti bernasib sama. Demikian pula yang terjadi dengan Reformasi Indonesia. Penggulingan mendiang Soeharto, hanya berlanjut pada dagelan naik turun pergantian kekuasaan yang tolol, dari satu presiden ke presiden lain, yang kemudian distabilkan oleh pemerintahan era sekarang dengan politik pencitraan dan pembodohan. Apakah hanya aku saja yang berpikir bahwa, prakter revolusi di dunia ini, kebanyakan terjebak hanya pada orientasi penggulingan kekuasaan? Orientasi yang menurut ku sangat dangkal.
Ada pula contoh lain, dan ini penjelasan dari pendapatku di awal tulisan ini, tentang revolusi Indonesia. Selama puluhan tahun yang lalu itu, layaknya motivator kondang, Soekarno selalu saja mengagungkan kata Revolusi. Apakah benar Soekarno seorang revolusioner yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan? Apa ada yang sadar, bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, merupakan ide dari anak-anak muda Indonesia. Soekarno pada kala itu, justru sangat pro Jepang, dan menunggu kemerdekaan yag dijanjikan Jepang sejak kedatangannya di tanah negeri ini. Jika memang Soekarno seorang revolusioner sejati, bukankah harusnya ia sadar bahwa kemerdekaan harus diraih melalui perjuangan, bukan melalui kompromi yang merugikan bangsa sendiri. Silahkan lakukan riset anda sendiri, dan temukan bagaimana pidato berapi-api Soekarnolah yang menjadi salah satu faktor pendukung matinya ribuan rakyat indonesia dalam praktek Romusha, yang tak lain demi mendukung persediaan logistik Jepang dalam peperangan di masa itu.
Sama halnya, seperti ketika Belanda ingin kembali mengklaim Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Saat itu, Soekarno salah satu tokoh yang setuju dengan perundingan wilayah kekuasaan dengan Belanda. Sementara itu, banyak tokoh lain, seperti Sudirman dan Tan Malaka yang menolaknya. Seperti analogi Tan Malaka yang kala itu berkata; Mengapa kita harus berunding dengan maling yang masuk tanpa izin ke dalam rumah kita? Ya, aku setuju dengan analogi itu. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan idiom “Merdeka 100%” Sebuah idiom yang diacuhkan para (yang disebut) tokoh revolusioner dan lebih memilih untuk berunding dalam perundingan Linggarjati. Hasilnya, Belanda pada akhirnya mengkhianati perjanjian itu dan melakukan agresi militer. Terbuktilah bahwa sejak awal harusnya Indonesia tak sudi berunding dengan maling. Itulah mengapa kusebut Revolusi tak benar-benar terjadi di negeri ini, selalu ada titik-titik lunak, kompromi yang dimanfaatkan untuk mengendurkan perjuangan revolusi itu.
Jika kita sedikit membandingkan. Pada revolusi Cina, ketika gerakan Revolusioner Sun Yat Sen berhasil menguasai separuh dari Cina, dan Sun Yat Sen didaulat sebagai presiden Republik Cina untuk pertama kalinya, hal pertama yang dijanjikan oleh Sun Yat Sen, adalah dia akan mundur dari jabatan itu segera setelah Cina benar-benar menjadi negara Republik seutuhnya. Itulah yang benar-benar terjadi ketika pemerintahan monarki korup dinasti Qing berhasil digulingkan, Sun Yat Sen mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin. Berbanding terbalik dengan Soekarno yang naik menjadi presiden ketika berhasil “memerdekakan” bangsa ini. Demikian pula dengan Amien Rais yang menjadi ketua MPR, segera setelah Reformasi.
Aku tidak bermaksud mengecilkan andil tokoh-tokoh bangsa ini. Aku hanya memiliki keresahan, apakah segala perjuangan tokoh bangsa ini, memang berorientasi pada kekuasaan sebagai hasil perjuangan atau murni karena memikirkan nasib rakyatnya? Kupikir pula aku masih bodoh dalam membaca situasi semacam ini, namun jika aku boleh berpendapat, dan karena konon ini adalah negara yang demokratis, maka aku akan berpendapat sebagai berikut;
Revolusi sejati, adalah sebuah gagasan dan keresahan yang memang tertanam di dalam hati seluruh rakyat. Perjuangan itu pula, merupakan perjuangan yang digerakan oleh rakyat, atas nama rakyat dan demi kepentingan rakyat. Revolusi bukan berarti perjuangan untuk merebut kekuasaan atau perjuangan untuk mengganti kekuasaan. Pergantian kekuasaan dalam revolusi adalah hal yang tak terhindarkan, memang, namun posisinya tak lain seperti efek samping ketika kau mengkonsumsi obat ketika kau sakit. Tujuan sejati dari revolusi adalah apa yang ada di dalam hati setiap rakyatnya dan demi rakyat itu sendiri, karena dengan demikianlah perjuangan itu takkan pernah mati.
Aku tak tahu apakah pendapat semacam itu hanyalah mimpi yang buta. Namun, kupikir, untuk saat ini sebaiknya revolusi harus diurungkan dari proses perjalanan bangsa Indonesia. Kupikir, tak ada seorang Indonesiapun yang mampu melakukan revolusi yang pro rakyat dalam situasi seperti ini. Siapa yang bisa merobak sistem, mengabaikan politikus yang ahli memanipulasi keadaan, dan mencabut modal-modal asing yang bercokol dan menjadi benalu di atas tanah kita? Jawab saja di hati kalian masing-masing.
10 Februari 2012
Ario Sasongko