jadikannya aku ia.
tak dimilik
tak menghuni
membisik telinga-telinga manusia
mengisah, berkisah, terkisah.
Menjelma, bertebar.
jadikannya aku ia. tak dimilik tak menghuni membisik telinga-telinga manusia mengisah, berkisah, terkisah.
0 Comments
Jadiku pohon.
Mengakar Bumi, tanah. Mendaun sabda. Menyebar benih Menggagas pohon-pohon baru. Menghutanlah kita, dengan gagasan! Bertumbuh tindakan. Berimbun hasil. Berhutan cerita. Pakaian hanyalah benda melekat di tubuhmu.
Selamat, jika kau merasa cantik karenanya. Aku tak berminat pada cantik semacam itu. Ario Sasongko Waktu, kecil, entah antara umur 8-9 tahun, aku pernah bertanya pada pamanku, "Kenapa sih? mobil sedan lebih mahal dari mobil kijang? padahalkan mobil sedan lebih kecil." yang kumaksud dengan mobil kijang di sini, adalah jenis-jenis mobil yang berukuran agak besar.
Pamanku menjelaskan bahwa sedan lebih enak dikendarai (bahasa sederhana dari teknologi automotif yang lebih maju, hanya disesuaikan saja penyampaiannya) selain itu sedan juga modelnya lebih berkelas, jadi terlihat lebih bergengsi. Aku hafal dengan cara kau menyibak rambut. Dari kejauhanpun aku mengerti gerak itu, ayunan tanganmu dan bagaimana rambut panjangmu tersibak. Malam ini hangat, selaras dengan natal dan choir yang pasti tadi kau saksikan dengan senyuman yang sama. Hangat yang sama, pasti, seperti yang sering kuceritakan tentang lagu jazz, dan bagaimana kau sangat menyukai lagu "Joy to the World."
Entah, bagaimana aku lupa, bahwa kau menunggu di seberang jalan. Harusnya kita bertemu di sana. Kitapun berpandangan, sempat kau tersenyum di antara mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aku menikmatinya, senyummu di antara kerumunan orang, dan wajahmu yang tak mencoba bertanya, mengapa aku di seberang jalan. Kita saling tersenyum, di antara semburan tipis angin yang membawakan salam. Mengapa aku menunggumu di seberang? "Aku kesana!" Kau tersenyum. Ario Sasongko 25.12.2011 Aku menunggumu,
bulir hujan yang tulus, yang mengabaikan mendung menyembab membiarkan diresap tanah Memakna zat hara Tanah, sunyi berkata "Inilah kami, Dunia dan diri sendiri" Sanggupkah langit dan awan melepasmu setelah dikandungnya kau sampai membulat Lain hal dengan petir-petir yang pencemburu dan kadang marah menggeledek, menumbang mengumpat dengan bahasa aneh Kita lahir terpisah musim berbatas jarak Hijau ini satunya pemberianku Agak tak perlu, kau datang bersendu Dan lupakan mendung itu, lupakan mendung itu. Ah anginpun memergimu 20 Desember 2012 Ario Sasongko Mungkin malaikat terlalu lama merindu kau,
hingga begitu lekas kau dipanggilnya. Pada suatu sore, kala kau pandangi surga yang merebak di balik awan. Mintakan maafku, Jika mereka menemukan kecupan di pipi itu, Mintakan pula agar mereka merelakan cemburu, Karena di dunia ini, satulah kau untukku. Sempat kau menitipkan hati sebelum pergi. Barangkali di surga kau tak butuh hati. Ah, dengan ini pula, nanti mudah kau kudapati; “Dimana gadis yang tak punya hati?” “Hati? Adakah hati ditinggal mati?” “Ini aku ada satu.” “Untuk apa?” “Mencarinya di surga.” Konon surga tempatnya orang baik. Baik-baiklah kau, manja. Janganlah kau merengek minta apa-apa. Jika sedang sendiri, kau harus bisa urus diri. Dulu sering demikian kukatai. Jagalah sendiri dulu. Aku tak bisa mati cepat-cepat, tak tahulah. Jangan pikir takkan sempat. Aku pasti kesitu. Menjadi orang baik, masuk surga, dan menemanimu (lagi) Ario Sasongko 08.12.2011 |
Halaman ini berisi tulisan harian tentang apa saja yang muncul di pikiran saya.
Archives
January 2016
|