Waktu, kecil, entah antara umur 8-9 tahun, aku pernah bertanya pada pamanku, "Kenapa sih? mobil sedan lebih mahal dari mobil kijang? padahalkan mobil sedan lebih kecil." yang kumaksud dengan mobil kijang di sini, adalah jenis-jenis mobil yang berukuran agak besar.
Pamanku menjelaskan bahwa sedan lebih enak dikendarai (bahasa sederhana dari teknologi automotif yang lebih maju, hanya disesuaikan saja penyampaiannya) selain itu sedan juga modelnya lebih berkelas, jadi terlihat lebih bergengsi.
Pamanku menjelaskan bahwa sedan lebih enak dikendarai (bahasa sederhana dari teknologi automotif yang lebih maju, hanya disesuaikan saja penyampaiannya) selain itu sedan juga modelnya lebih berkelas, jadi terlihat lebih bergengsi.
Penjelasan terakhir membuat aku terus saja memandangi mobil kijang milik ayahku. Aku senang dengannya, sangat senang bahkan. Dulu sekali waktu ayahku baru membeli mobil ini, bahkan ayahku bisa memanfaatkannya agar aku mau mandi pagi. "Ayo yang ga mau mandi, ga boleh naek kijang." Aku, yang waktu itu masih sangat kecil, rasanya tidak dapat menerima gagasan bahwa manusia-manusia sangat mengagungkan benda-benda yang menjadi simbol kebangaan/kekayaan.
Kini, setelah aku dewasa, mengenal pula yang namanya uang, aku masih tak dapat menerima gagasan itu. Menurutku sangat menggelikan bagaimana manusia-manusia ini sangat tergila-gila pada benda mati, mobil bagus, uang, pakaian mahal, perhiasan, rumah besar, dan segala macamnya. Apakah memang benda-benda itu bisa memberikan kebahagiaan? Kenyamanan mungkin ya bisa mereka dapatkan, namun di mataku semua hal tersebut terlihat biasa saja.
Apa yang dibanggakan dari wanita-wanita yang menghabiskan hidupnya di salon, setiap hari belanja di mall dengan tas tangan jutaan rupiah dan kacamata hitam yang terus menempel di wajahnya? Atau ketidakmauan mereka terkena panas dan tak sudi berkeringat. Apa pula yang dibanggakan dari pria-pria itu dengan mobil mewahnya, berdandan di mall setiap hari, rambut perlente, dan jam tangan jutaan rupiah itu?
Pasti, jika aku adalah orang yang punya banyak uang, dan menulis ini, kalian akan berkata "Wah sungguh orang ini rendah hati sekali." Dan jika aku adalah orang yang tak punya banyak uang (faktanya memang aku tak punya banyak) dan menuliskan ini, kalian pasti berkata "lihat itu, satu lagi anak muda yang sok anti kemapanan, sok menentang materi, padahal di dalam hatinya ia iri. Kesenjangan sosial."
Ya, faktanya lagi, aku terpikirkan akan hal ini ketika kemarin sedang naik metromini, dan rasanya seperti sedang naik benda rongsokan. Tidak nyaman memang, tapi tak terasa ada yang salah dengan hal itu. Semua itu memang pilihan hidup masing-masing orang. Tak ada yang perlu disalahkan, dan akupun menulis ini bukan mengeluh.
Ah seandainya aku mempunyai otak kapitalis. Berengsek.
(ini baru aku mengeluh.)
27.12.2011
Ario Sasongko
Kini, setelah aku dewasa, mengenal pula yang namanya uang, aku masih tak dapat menerima gagasan itu. Menurutku sangat menggelikan bagaimana manusia-manusia ini sangat tergila-gila pada benda mati, mobil bagus, uang, pakaian mahal, perhiasan, rumah besar, dan segala macamnya. Apakah memang benda-benda itu bisa memberikan kebahagiaan? Kenyamanan mungkin ya bisa mereka dapatkan, namun di mataku semua hal tersebut terlihat biasa saja.
Apa yang dibanggakan dari wanita-wanita yang menghabiskan hidupnya di salon, setiap hari belanja di mall dengan tas tangan jutaan rupiah dan kacamata hitam yang terus menempel di wajahnya? Atau ketidakmauan mereka terkena panas dan tak sudi berkeringat. Apa pula yang dibanggakan dari pria-pria itu dengan mobil mewahnya, berdandan di mall setiap hari, rambut perlente, dan jam tangan jutaan rupiah itu?
Pasti, jika aku adalah orang yang punya banyak uang, dan menulis ini, kalian akan berkata "Wah sungguh orang ini rendah hati sekali." Dan jika aku adalah orang yang tak punya banyak uang (faktanya memang aku tak punya banyak) dan menuliskan ini, kalian pasti berkata "lihat itu, satu lagi anak muda yang sok anti kemapanan, sok menentang materi, padahal di dalam hatinya ia iri. Kesenjangan sosial."
Ya, faktanya lagi, aku terpikirkan akan hal ini ketika kemarin sedang naik metromini, dan rasanya seperti sedang naik benda rongsokan. Tidak nyaman memang, tapi tak terasa ada yang salah dengan hal itu. Semua itu memang pilihan hidup masing-masing orang. Tak ada yang perlu disalahkan, dan akupun menulis ini bukan mengeluh.
Ah seandainya aku mempunyai otak kapitalis. Berengsek.
(ini baru aku mengeluh.)
27.12.2011
Ario Sasongko