Kupikir permasalahan utama negara ini, adalah karena masyarakatnya yang sudah mulai melupakan gagasan. Kita semua, sebagai sebuah individu-individu kecil, yang merumpun menjadi sebuah kesatuan warga negara, telah kehilangan kemampuan kolektifnya dalam berpikir dan bertindak. Aku akan menuliskan ini semua tanpa satupun referensi atau teori-teori pendukung ucapanku. Ini pula bukanlah sebuah argumen, atau hipotesa tertentu mengenai gejala. Tulisanku kali ini hanyalah geliat yang coba kuakomodir, sampai nanti diakhiri ketika hasrat untuk menuliskannya telah berakhir.
Pengalaman belakangan ini, membuatku tersadar akan sebuah pemikiran tentang terisolirnya sebuah semangat yang puluhan tahun memerdekakan bangsa ini. Seperti ada sebuah sistem yang mengekang pola pikir masyarakat kita, dalam sebuah skema represi-pada era orde baru, dan pembodohan-pada era sekarang. Sistem ini telah membuat kepala kita menjadi individu yang terisolir satu sama lainnya.
Apakah kalian percaya bahwa keadaan bisa berubah? Segala kemunafikan dan propaganda negeri ini, yang telah menina bobokan sel-sel otak kita untuk berhenti memiliki gagasan. Ya, kekerasan bukanlah lagi cara untuk merepresi masyarakat. Kekerasan hanya akan menciptakan kebencian, psikologi terbalik tentang bagaimana larangan akan menciptakan perlawanan. Kekerasan adalah cara kuno untuk mempertahankan kekuasaan, sudah terlalu ketinggalan zaman, dan tidak mutakhir lagi untuk digunakan.
Contoh saja zaman orde baru. Alam sadarku hanya mengalami periode 7 tahun terakhir zaman tersebut, itupun hanya sampai usiaku 12 tahun saja. Tapi aku banyak membaca, ketika kecil ikut menonton dunia dalam berita-dalam istilah ibuku agar aku tahu apa yang sedang terjadi di dunia ini. Kekerasan adalah senjata utama pada masa itu. Orang-orang yang dianggap vokal, takkan pernah berumur panjang, atau paling beruntungnya menjadi tahanan politik sampai diharapkan membusuk di tahanan. Sebut saja beberapa nama seperti Marsinah, Widji Tukul, orang-orang yang mati dibantai pada periode pemberantasan Partai Komunis Indonesia, program ABRI masuk desa, operasi clurit, dan lainnya-semoga mereka semua beristirahan dalam damai di surga sana. Buku-buku yang dianggap membahayakan pemerintah-atas nama pancasila, dilarang peredarannya. Arus informasi dikontrol ketat oleh departemen penerangan, sebagaimana yang pernah diceritakan Seno Gumira Adjidarma dalam buku kumpulan cerpen trilogi insiden. Silahkan luangkan waktu anda untuk mengetik "orde baru" pada kolom google, dan pelajari sendiri.
Kekerasan semacam itu, memang mampu bertahan cukup lama, puluhan tahun bisa. Namun, metode ini tak ubahnya seperti bom waktu, perlahan namun pasti, akan muncul perlawanan massal atas nama rakyat. Itulah yang terjadi pada akhir orde baru, yang kemudian disebut dengan masa Reformasi. Rezim memang bisa mematikan orang, bisa mematikan suara, dan informasi. Namun tak ada seorang manusiapun, yang mampu mematikan gagasan.
Tampaknya itulah, pelajaran penting yang diambil oleh rezim pemerintah pada masa ini. Mereka sadar, bahwa represi menggunakan kekerasan, hanya akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Karena itulah, kemudian muncul sebuah metode baru, penuh trik dan pengadeganan, yang kemudian disebut "pencitraan." Ya, lahirlah sekarang persiden kita yang gaya bicaranya halus dan tertata rapih, layaknya Jawa sejati, dalam intonasi-intonasi yang terkadang melakolis. Lalu diciptakan sebuah utopia, dongeng tentang kebebasan berbicara, demokrasi, bahwa kini rakyat Indonesia memilik hak asasi manusia.
Apakah ini benar kebebasan? Ketika media kini mampu dengan lancang membicarakan berbagai kasus wakil rakyatnya, bisa mengundang pakar di segala bidang untuk menyampaikan hipotesa, argumen dan segala macam analisa mengenai pemerintahan kita. Apakah ini benar kebebasan, ketika para wakil rakyat dapat dengan santai berdiplomasi di layar televisi, mendalihkan segala kasus yang ada dengan jawaban klishe seperti "Kita tidak boleh sembarang menuduh, ikuti saja proses hukum yang sudah ada, biarkan aparat penegak hukum bekerja." Apakah benar rumput mampu menebas sesama rumput di kerumunannya?
Kurasa tidak demikian. Jika ini kebebasan, maka semua individu di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan bahwa mereka bisa mengubah keadaan. Apakah kalian yakin, bahwa kalian cukup besar untuk mengubah keadaan? Beberapa kali aku mengajukan pertanyaan semacam ini, namun jawaban mereka tetaplah sama, mereka menjawab dengan pertanyaan yang sama;
"Memang mau kau ubah seperti apa lagi negara ini?"
"Bukankah sudah tidak mungkin untuk melakukan hal itu?"
"Apa kau tak mau memikirkan masa depanmu saja?"
Apakah hanya aku saja di dunia ini, yang berpikir bahwa ada yang salah dengan pemerintahan kita, pasca orde baru?
Saat ini, pola pikir kita sudah diarahkan untuk melupakan gagasan. Kita menjadi individu-individu yang skeptis dan menutup mata dengan apa yang terjadi di negara ini. Lebih buruk lagi, bahkan beberapa sudah tak tahu harus melakukan apa untuk hidup mereka sendiri. Inilah bangsa ini sekarang, ketika tiap individu masyarakatnya lebih memilih untuk menyibukkan hidup mereka, demi masa depan mereka pribadi.
Gagasan memang tak pernah mati, namun rupanya bisa juga gagasan itu dibelai-belai, dibodohi agar bisa tidur nyaman tertimbun jauh di dalam sel-sel otak dan terlupakan oleh pemiliknya.
7 Februari 2012
Ario Sasongko
Apakah kalian percaya bahwa keadaan bisa berubah? Segala kemunafikan dan propaganda negeri ini, yang telah menina bobokan sel-sel otak kita untuk berhenti memiliki gagasan. Ya, kekerasan bukanlah lagi cara untuk merepresi masyarakat. Kekerasan hanya akan menciptakan kebencian, psikologi terbalik tentang bagaimana larangan akan menciptakan perlawanan. Kekerasan adalah cara kuno untuk mempertahankan kekuasaan, sudah terlalu ketinggalan zaman, dan tidak mutakhir lagi untuk digunakan.
Contoh saja zaman orde baru. Alam sadarku hanya mengalami periode 7 tahun terakhir zaman tersebut, itupun hanya sampai usiaku 12 tahun saja. Tapi aku banyak membaca, ketika kecil ikut menonton dunia dalam berita-dalam istilah ibuku agar aku tahu apa yang sedang terjadi di dunia ini. Kekerasan adalah senjata utama pada masa itu. Orang-orang yang dianggap vokal, takkan pernah berumur panjang, atau paling beruntungnya menjadi tahanan politik sampai diharapkan membusuk di tahanan. Sebut saja beberapa nama seperti Marsinah, Widji Tukul, orang-orang yang mati dibantai pada periode pemberantasan Partai Komunis Indonesia, program ABRI masuk desa, operasi clurit, dan lainnya-semoga mereka semua beristirahan dalam damai di surga sana. Buku-buku yang dianggap membahayakan pemerintah-atas nama pancasila, dilarang peredarannya. Arus informasi dikontrol ketat oleh departemen penerangan, sebagaimana yang pernah diceritakan Seno Gumira Adjidarma dalam buku kumpulan cerpen trilogi insiden. Silahkan luangkan waktu anda untuk mengetik "orde baru" pada kolom google, dan pelajari sendiri.
Kekerasan semacam itu, memang mampu bertahan cukup lama, puluhan tahun bisa. Namun, metode ini tak ubahnya seperti bom waktu, perlahan namun pasti, akan muncul perlawanan massal atas nama rakyat. Itulah yang terjadi pada akhir orde baru, yang kemudian disebut dengan masa Reformasi. Rezim memang bisa mematikan orang, bisa mematikan suara, dan informasi. Namun tak ada seorang manusiapun, yang mampu mematikan gagasan.
Tampaknya itulah, pelajaran penting yang diambil oleh rezim pemerintah pada masa ini. Mereka sadar, bahwa represi menggunakan kekerasan, hanya akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Karena itulah, kemudian muncul sebuah metode baru, penuh trik dan pengadeganan, yang kemudian disebut "pencitraan." Ya, lahirlah sekarang persiden kita yang gaya bicaranya halus dan tertata rapih, layaknya Jawa sejati, dalam intonasi-intonasi yang terkadang melakolis. Lalu diciptakan sebuah utopia, dongeng tentang kebebasan berbicara, demokrasi, bahwa kini rakyat Indonesia memilik hak asasi manusia.
Apakah ini benar kebebasan? Ketika media kini mampu dengan lancang membicarakan berbagai kasus wakil rakyatnya, bisa mengundang pakar di segala bidang untuk menyampaikan hipotesa, argumen dan segala macam analisa mengenai pemerintahan kita. Apakah ini benar kebebasan, ketika para wakil rakyat dapat dengan santai berdiplomasi di layar televisi, mendalihkan segala kasus yang ada dengan jawaban klishe seperti "Kita tidak boleh sembarang menuduh, ikuti saja proses hukum yang sudah ada, biarkan aparat penegak hukum bekerja." Apakah benar rumput mampu menebas sesama rumput di kerumunannya?
Kurasa tidak demikian. Jika ini kebebasan, maka semua individu di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan bahwa mereka bisa mengubah keadaan. Apakah kalian yakin, bahwa kalian cukup besar untuk mengubah keadaan? Beberapa kali aku mengajukan pertanyaan semacam ini, namun jawaban mereka tetaplah sama, mereka menjawab dengan pertanyaan yang sama;
"Memang mau kau ubah seperti apa lagi negara ini?"
"Bukankah sudah tidak mungkin untuk melakukan hal itu?"
"Apa kau tak mau memikirkan masa depanmu saja?"
Apakah hanya aku saja di dunia ini, yang berpikir bahwa ada yang salah dengan pemerintahan kita, pasca orde baru?
Saat ini, pola pikir kita sudah diarahkan untuk melupakan gagasan. Kita menjadi individu-individu yang skeptis dan menutup mata dengan apa yang terjadi di negara ini. Lebih buruk lagi, bahkan beberapa sudah tak tahu harus melakukan apa untuk hidup mereka sendiri. Inilah bangsa ini sekarang, ketika tiap individu masyarakatnya lebih memilih untuk menyibukkan hidup mereka, demi masa depan mereka pribadi.
Gagasan memang tak pernah mati, namun rupanya bisa juga gagasan itu dibelai-belai, dibodohi agar bisa tidur nyaman tertimbun jauh di dalam sel-sel otak dan terlupakan oleh pemiliknya.
7 Februari 2012
Ario Sasongko