“Ratusan ribu butir air hujan yang meninggalkan awan, kemudian mengapa ada satu butir hujan yang tepat jatuh di bahuku?”
“Mungkin karena butir hujan itu ingin.”
“Tapi air hujan tak punya keinginan, tidak juga pikiran.”
“Kalau begitu mudah saja.”
“Apa?”
“Takdir.”
Dan bagiku, takdir hanyalah sebuah pelarian.
Takdir itu dongeng,
dongeng tentang keinginan tepatnya.
Takdir adalah keyakinan yang dibuat-buat,
Dan hanya diyakini oleh orang-orang yang terlalu sibuk berharap.
Pernah aku mempercayainya.
Sekali dua kali.
Lalu, besok-besok aku menyadari,
bahwa takdir itu bohongan.
Buatan, dari resep yang namanya harapan, keinginan,
dan rasa egois untuk menyadari hal lain yang mungkin terjadi.
Yang terjadi ya memang terjadilah.
Tak ada yang istimewa.
Tak ada persiapan, seperti pesta penyambutan nabi ke dunia
Berhentilah berpikir bahwa kebaikan sudah disiapkan untuk kita.
Ah itu menyedihkan.
Tak ada yang disiapkan, sungguh.
Hidup itu jalani saja, menurutku demikian.
Apa yang terjadi adalah apa yang kau lakukan.
Kausalitas
Inginpun belum tentu bisa.
Selalu begitu adanya.
Alih-alih berkutat dengan perandaian yang jenaka,
lebih baik kau lakukan saja yang kau bisa.
Tentang keinginanmu?
Buang ke tempat sampah.
Selesai sudah.
Atau boleh kau masukkan ke dalam kotak.
Ikat, simpan yang rapi,
dan jangan dibuka lagi.
Entah siapa yang dulu menyuruh manusia hidup di dunia.
Kenapa bukan surga?
Mengapa Adam memilih Hawa?
Apa enggan Adam melempar kuldi itu ke muka Hawa?
Apa memang harus si Hawa yang jadi pendampingnya?
Ratusan ribu butir air hujan yang meninggalkan awan,
kemudian ada satu butir hujan yang tepat jatuh di bahuku.
Mudah saja memaknainya.
Aku berdiri di bawah sebutir hujan itu.
Dan sudah, begitu saja.
Kalaupun boleh beringin-ingin.
Inginku cuma satu.
Aku ingin meninggalkan nama.
Kemudian,
mati muda.
Sepertinya itu terhitung dua keinginan.
Entahlah.
Lagipula aku hanya pengingin yang buruk.***
Ario Sasongko
“Mungkin karena butir hujan itu ingin.”
“Tapi air hujan tak punya keinginan, tidak juga pikiran.”
“Kalau begitu mudah saja.”
“Apa?”
“Takdir.”
Dan bagiku, takdir hanyalah sebuah pelarian.
Takdir itu dongeng,
dongeng tentang keinginan tepatnya.
Takdir adalah keyakinan yang dibuat-buat,
Dan hanya diyakini oleh orang-orang yang terlalu sibuk berharap.
Pernah aku mempercayainya.
Sekali dua kali.
Lalu, besok-besok aku menyadari,
bahwa takdir itu bohongan.
Buatan, dari resep yang namanya harapan, keinginan,
dan rasa egois untuk menyadari hal lain yang mungkin terjadi.
Yang terjadi ya memang terjadilah.
Tak ada yang istimewa.
Tak ada persiapan, seperti pesta penyambutan nabi ke dunia
Berhentilah berpikir bahwa kebaikan sudah disiapkan untuk kita.
Ah itu menyedihkan.
Tak ada yang disiapkan, sungguh.
Hidup itu jalani saja, menurutku demikian.
Apa yang terjadi adalah apa yang kau lakukan.
Kausalitas
Inginpun belum tentu bisa.
Selalu begitu adanya.
Alih-alih berkutat dengan perandaian yang jenaka,
lebih baik kau lakukan saja yang kau bisa.
Tentang keinginanmu?
Buang ke tempat sampah.
Selesai sudah.
Atau boleh kau masukkan ke dalam kotak.
Ikat, simpan yang rapi,
dan jangan dibuka lagi.
Entah siapa yang dulu menyuruh manusia hidup di dunia.
Kenapa bukan surga?
Mengapa Adam memilih Hawa?
Apa enggan Adam melempar kuldi itu ke muka Hawa?
Apa memang harus si Hawa yang jadi pendampingnya?
Ratusan ribu butir air hujan yang meninggalkan awan,
kemudian ada satu butir hujan yang tepat jatuh di bahuku.
Mudah saja memaknainya.
Aku berdiri di bawah sebutir hujan itu.
Dan sudah, begitu saja.
Kalaupun boleh beringin-ingin.
Inginku cuma satu.
Aku ingin meninggalkan nama.
Kemudian,
mati muda.
Sepertinya itu terhitung dua keinginan.
Entahlah.
Lagipula aku hanya pengingin yang buruk.***
Ario Sasongko