Waktu mengajak manusia untuk bersepi.
mengubur segala yang abadi.
menarik garis panjang,
dan di atasnya bisa kau tulis segala angan yang hilang.
Haripun mengganti-ganti pagi.
memutar-mutar bulan di atas bumi.
Lalu kau menggumam lantang; Jangan pergi.
Esok lagi,
justru kau yang tak pernah kembali.
Aku manusia tanpa hati.
Tanya-tanya itupun takkan terjawab; Siapa yang kau cari?
Mimpiku hanya imajinasi.
Tentang definisi sempurna yang disebut keindahan surgawi.
dan ruang dua puluh empat jam yang selalu kuisi, sendiri.
Kemarin, hari ini dan nanti.
Malaikat-malaikat jatuh bergantian dari surga.
Mereka menatap dunia, mengagumi nuansa merah muda.
Menggumamkan keterpesonaan atas dunia, yang dahulu selalu mereka pandang dari atas sana.
Nanti ada satu, teresat dalam labirin dunia.
Dan di satu waktu, kami bertemu.
Aku menggenggam tanganmu.
Menuntunmu untuk berjalan, karena di surga kau tak pernah berjalan.
Mengajarimu makna, karena dunia tak selalu indah apa adanya, lagi-lagi tak sama seperti surga.
Mengajarimu tersenyum, karena surga tak memiliki ruang untuk menampung ukiran indah di sudut bibirmu itu.
Lalu kita berjalan ke akhir cerita, di ujung sana ada jurang yang sangat dalam serta langit yang menyilaukan pesona pintu gerbang surga.
Kutunggu sampai kau ingat bagaimana caranya kembali ke atas sana.
Sampai saat itu tiba, kemudian kupelas tanganmu, memandangmu hilang perlahan di balik pintu itu.
Lalu, aku duduk di pinggir cerita, menyaksikan matahari yang nanti menjadi pagi, menjadi senja.
Ario Sasongko
23.Februari.2011
mengubur segala yang abadi.
menarik garis panjang,
dan di atasnya bisa kau tulis segala angan yang hilang.
Haripun mengganti-ganti pagi.
memutar-mutar bulan di atas bumi.
Lalu kau menggumam lantang; Jangan pergi.
Esok lagi,
justru kau yang tak pernah kembali.
Aku manusia tanpa hati.
Tanya-tanya itupun takkan terjawab; Siapa yang kau cari?
Mimpiku hanya imajinasi.
Tentang definisi sempurna yang disebut keindahan surgawi.
dan ruang dua puluh empat jam yang selalu kuisi, sendiri.
Kemarin, hari ini dan nanti.
Malaikat-malaikat jatuh bergantian dari surga.
Mereka menatap dunia, mengagumi nuansa merah muda.
Menggumamkan keterpesonaan atas dunia, yang dahulu selalu mereka pandang dari atas sana.
Nanti ada satu, teresat dalam labirin dunia.
Dan di satu waktu, kami bertemu.
Aku menggenggam tanganmu.
Menuntunmu untuk berjalan, karena di surga kau tak pernah berjalan.
Mengajarimu makna, karena dunia tak selalu indah apa adanya, lagi-lagi tak sama seperti surga.
Mengajarimu tersenyum, karena surga tak memiliki ruang untuk menampung ukiran indah di sudut bibirmu itu.
Lalu kita berjalan ke akhir cerita, di ujung sana ada jurang yang sangat dalam serta langit yang menyilaukan pesona pintu gerbang surga.
Kutunggu sampai kau ingat bagaimana caranya kembali ke atas sana.
Sampai saat itu tiba, kemudian kupelas tanganmu, memandangmu hilang perlahan di balik pintu itu.
Lalu, aku duduk di pinggir cerita, menyaksikan matahari yang nanti menjadi pagi, menjadi senja.
Ario Sasongko
23.Februari.2011