Suasana inilah yang selalu kurasakan di setiap akhir bulan September. Diam dalam nuansa seperti hujan yang sepi. September adalah bulan yang menyedihkan dalam sejarah bangsa ini. "Kontras" menyebutnya sebagai "September Hitam." Ya, September rasanya lebih dari sekedar "Wake me up when september end"nya Greenday, tak ceria pula semacam "September Ceria"nya Vina Panduwinata, atau tak sekedar sebagai penanda datangnya musim hujan. Entah bagaimana ini tersebut sebagai kebetulan, ketika dalam perjalanan bangsa ini, bulan September selalu memiliki catatan gelap pada setiap eranya.
Di era 2000an, 7 September 2004, seorang putra bangsa, seorang cerdas yang melawan, tewas diracun dalam perjalanannya di udara. Munir, seorang aktifis HAM yang seumur hidupnya hanya habis mengurusi keadilan hak manusia, harus dibungkam nyawanya agar tak lagi melawan. Pengadilan memang berjalan, seiring juga iming-iming presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lancang sekali bilang bahwa kasus ini akan diproses sampai tuntas. Nyatanya, sampai hari ini otak dari konspirasi pembunuhan itu tak pernah ditangkap. Mereka yang tertangkap dan diadili hanyalah sekedar kaki dan tangan yang tak punya kehendak selain menjalankan perintah. Mirisnya lagi, kasus inipun dianggap selesai begitu saja, tanpa ada kemungkinan Peninjauan Kembali (PK).
Di era 90an akhir, 24 September 1999, ada peristiwa yang disebut sebagai Tragedi Semanggi 2. Ini adalah peristiwa sekuel dari kasus Semanggi 1. Mahasiswa yang melakukan demonstrasi diberondong senjata api oleh aparat yang konon bertugas menjaga keamanan. Entah keamanan siapakah yang dimaksudkan di sana. Faktanya seorang anak negeri, generasi penerus bangsa, tewas oleh timah panas yang pengadaannya dibayar pakai uang rakyat. Yap Yun Hap nama orang itu, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, tewas dalam peristiwa tersebut. Korban ini, adalah seorang cerdas yang masuk ke Universitas Indonesia berbekal beasiswa. Kasus ini adalah iringan dari gerbong tragedi tewasnya mahasiswa di akhir tahun 90an: Tragedi Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2. Apa yang kemudian diperlakukan pemerintah? Sampai hari ini, DPR menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan sebagai pelanggaran berat HAM. Ya, anak manusia yang berdiri untuk rakyat, menentang ketidakadilan dan tewas ditembak mati tanpa pernah melawan, oleh peluru aparat yang dibayar pakai uang rakyat, dianggap sebagai bukan pelanggaran berat HAM.
Di era 80an, 12 September 1984, ada tragedi yang disebut perisitwa Tanjung Priok. Penamaannya terkesan biasa saja, hanya sekedar "peristiwa." Namun kenyataannya, apa yang dinamakan "peristiwa" ini, memakan korban sampai 400-500 rakyat biasa. Peristiwa ini berawal dari teguran aparat yang menyuruh pencopotan pamphlet yang salah satu isinya mengkritik pancasila. Warga menolaknya yang berujung bentrok. 4 orang ditangkap. Konflik tak selesai sampai hari itu. 5 hari kemudian, kelompok massa melakukan aksi menuju kodim dan polsek koja. Dalam perjalanan itulah massa diberhentikan oleh kelompok aparat yang tak hanya bawa senjata api, tapi juga sampai bawa panser. Pertemuan itu berujung pada dibantainya mereka yang melakukan aksi. Ditembaki habis-habisan, digilas pakai panser, dikejar bahkan sampai ke dalam gang-gang kecil. Sesudahnya, mobil-mobil pemadam kebakaran dikirim untuk membersihkan simbah darah yang banjir di jalanan, mayat-mayat korban diangkut menggunakan truk dan dibawa ke RSPAD. Sampai hari ini, hanya beberapa perwira pangkat rendah saja yang ditangkap dan dihukum.
Di era 60an, 30 September 1965, tentu kita semua pernah dengar peristiwa G/30S. Beberapa perwira angkatan darat diculik pada malam 30 September dan dibunuh kemudian jenazah mereka dibuang ke dalam lubang buaya. Dahulu peristiwa ini disebut G/30S/PKI, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari penculikan dan pembunuhan tersebut. Akibat tuduhan itulah, dan banyaknya pemberitaan bahwa para perwira disiksa dengan sadis sebelum dibunuh, bahwa komunis itu atheis dan segala macamnya, kurang lebih 2.000.000 nyawa melayang akibat dituduh sebagai anggota PKI. Mereka yang dibunuh ini ditangkap tanpa diadili dan langsung dieksekusi begitu saja. Mereka semua, kebanyakan hanya orang yang tak tahu apa-apa soal politik, mereka hanya mendukung PKI karena partai itu menjanjikan untuk membela rakyat kecil. Banyak dari mereka hanyalah petani dan buruh yang cuma pernah sekali-sekali mendapat bantuan sembako dan sisipan bendera berlambang palu arit. Mirisnya lagi, setelah Soeharto turun, barulah beredar fakta bahwa keterlibatan murni PKI dalam persitiwa itu rupanya tidak dapat dibuktikan, dan sejak itulah penamaanya diubah menjadi G/30S. Kisah tersebut kini hanya bersisa sebagai misteri sejarah yang belum terungkap. Perubahan itu tak bisa mengembalikan 2.000.000 nyawa yang hilang akibat fitnah, tak bisa mengobati stigma yang diterima keluarga korban selama puluhan tahun, tak bisa mengobati trauma dan segala ketidakadilan yang mereka terima selama pemerintahan Orde Baru.
Beginilah setidaknya September berlaku pada negeri ini. Orang-orang yang peduli, melihatnya sebagai bulan yang hitam. Aku melihatnya sebagai hujan yang kesepian. Aku menuliskan ini semua bukan sebagai upaya untuk mengorek-ngorek luka lama negeri ini. Sejujurnya, aku hanya ingin kita semua belajar dari sejarah. Paham apa yang telah terjadi, dan mengambil pelajaran daripadanya. Selepas dari bulan ini, aku yakin bahwa banyak yang melaluinya dengan biasa saja, hanya sekedar bulan September lainnya di sepanjang pergantian tahun. Tapi bagiku, bulan September adalah sebuah pelajaran bahwa negeri ini masih jauh dari apa yang tersebut sebagai keadilan Hak Asasi Manusia. Ketidakadilan inilah yang membawa mendung di atas langit negeri ini, dan pada setiap bulan September, mendung ini berlarut dalam rintik-rintik yang menetes di atas tanah negeri, rintik yang tak dipedulikan oleh bangsanya sendiri.
30 September 2012
Ario Sasongko
Di era 90an akhir, 24 September 1999, ada peristiwa yang disebut sebagai Tragedi Semanggi 2. Ini adalah peristiwa sekuel dari kasus Semanggi 1. Mahasiswa yang melakukan demonstrasi diberondong senjata api oleh aparat yang konon bertugas menjaga keamanan. Entah keamanan siapakah yang dimaksudkan di sana. Faktanya seorang anak negeri, generasi penerus bangsa, tewas oleh timah panas yang pengadaannya dibayar pakai uang rakyat. Yap Yun Hap nama orang itu, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, tewas dalam peristiwa tersebut. Korban ini, adalah seorang cerdas yang masuk ke Universitas Indonesia berbekal beasiswa. Kasus ini adalah iringan dari gerbong tragedi tewasnya mahasiswa di akhir tahun 90an: Tragedi Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2. Apa yang kemudian diperlakukan pemerintah? Sampai hari ini, DPR menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan sebagai pelanggaran berat HAM. Ya, anak manusia yang berdiri untuk rakyat, menentang ketidakadilan dan tewas ditembak mati tanpa pernah melawan, oleh peluru aparat yang dibayar pakai uang rakyat, dianggap sebagai bukan pelanggaran berat HAM.
Di era 80an, 12 September 1984, ada tragedi yang disebut perisitwa Tanjung Priok. Penamaannya terkesan biasa saja, hanya sekedar "peristiwa." Namun kenyataannya, apa yang dinamakan "peristiwa" ini, memakan korban sampai 400-500 rakyat biasa. Peristiwa ini berawal dari teguran aparat yang menyuruh pencopotan pamphlet yang salah satu isinya mengkritik pancasila. Warga menolaknya yang berujung bentrok. 4 orang ditangkap. Konflik tak selesai sampai hari itu. 5 hari kemudian, kelompok massa melakukan aksi menuju kodim dan polsek koja. Dalam perjalanan itulah massa diberhentikan oleh kelompok aparat yang tak hanya bawa senjata api, tapi juga sampai bawa panser. Pertemuan itu berujung pada dibantainya mereka yang melakukan aksi. Ditembaki habis-habisan, digilas pakai panser, dikejar bahkan sampai ke dalam gang-gang kecil. Sesudahnya, mobil-mobil pemadam kebakaran dikirim untuk membersihkan simbah darah yang banjir di jalanan, mayat-mayat korban diangkut menggunakan truk dan dibawa ke RSPAD. Sampai hari ini, hanya beberapa perwira pangkat rendah saja yang ditangkap dan dihukum.
Di era 60an, 30 September 1965, tentu kita semua pernah dengar peristiwa G/30S. Beberapa perwira angkatan darat diculik pada malam 30 September dan dibunuh kemudian jenazah mereka dibuang ke dalam lubang buaya. Dahulu peristiwa ini disebut G/30S/PKI, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari penculikan dan pembunuhan tersebut. Akibat tuduhan itulah, dan banyaknya pemberitaan bahwa para perwira disiksa dengan sadis sebelum dibunuh, bahwa komunis itu atheis dan segala macamnya, kurang lebih 2.000.000 nyawa melayang akibat dituduh sebagai anggota PKI. Mereka yang dibunuh ini ditangkap tanpa diadili dan langsung dieksekusi begitu saja. Mereka semua, kebanyakan hanya orang yang tak tahu apa-apa soal politik, mereka hanya mendukung PKI karena partai itu menjanjikan untuk membela rakyat kecil. Banyak dari mereka hanyalah petani dan buruh yang cuma pernah sekali-sekali mendapat bantuan sembako dan sisipan bendera berlambang palu arit. Mirisnya lagi, setelah Soeharto turun, barulah beredar fakta bahwa keterlibatan murni PKI dalam persitiwa itu rupanya tidak dapat dibuktikan, dan sejak itulah penamaanya diubah menjadi G/30S. Kisah tersebut kini hanya bersisa sebagai misteri sejarah yang belum terungkap. Perubahan itu tak bisa mengembalikan 2.000.000 nyawa yang hilang akibat fitnah, tak bisa mengobati stigma yang diterima keluarga korban selama puluhan tahun, tak bisa mengobati trauma dan segala ketidakadilan yang mereka terima selama pemerintahan Orde Baru.
Beginilah setidaknya September berlaku pada negeri ini. Orang-orang yang peduli, melihatnya sebagai bulan yang hitam. Aku melihatnya sebagai hujan yang kesepian. Aku menuliskan ini semua bukan sebagai upaya untuk mengorek-ngorek luka lama negeri ini. Sejujurnya, aku hanya ingin kita semua belajar dari sejarah. Paham apa yang telah terjadi, dan mengambil pelajaran daripadanya. Selepas dari bulan ini, aku yakin bahwa banyak yang melaluinya dengan biasa saja, hanya sekedar bulan September lainnya di sepanjang pergantian tahun. Tapi bagiku, bulan September adalah sebuah pelajaran bahwa negeri ini masih jauh dari apa yang tersebut sebagai keadilan Hak Asasi Manusia. Ketidakadilan inilah yang membawa mendung di atas langit negeri ini, dan pada setiap bulan September, mendung ini berlarut dalam rintik-rintik yang menetes di atas tanah negeri, rintik yang tak dipedulikan oleh bangsanya sendiri.
30 September 2012
Ario Sasongko