Supir taksi itu menyalakan argo dan mulai mengendarai taksinya dengan tenang.
“Mau ke Kuningan dimananya, mas?”
“KPK.”
“Oh, KPK!” Dan iapun langsung menambah kecepatan kendaraannya.
Malam itu (6 Oktober 2012, dini hari) aku sampai di KPK sekitar pukul 23.30 WIB. Temanku yang mengabarkan untuk membuka portal berita Tempo.co, dan melihat kabar berita terkini. Puluhan polisi mengepung gedung KPK dan hendak menangkap paksa salah seorang penyidik KPK, Novel Baswedan. Setelah membacanya, tanpa perlu berpikir lama, aku memutuskan untuk langsung berangkat ke lokasi kejadian. Kukira jumlah massa yang datang ke gedung ini hanya beberapa puluh saja. Rupanya aku salah. Aku memang tak menghitung pasti jumlahnya, namun dari pengamatan kasar saja, mereka yang sudah hadir di sana tak kurang dari 150 orang, bahkan lebih. Berita ini sudah tersebar dimana-mana dan malam itu jadi malam yang lumayan panjang.
Malam itu, aku merasakan sebuah konsep konyol, bahwa polisi seperti sudah terlalu menganggap remeh keberadaan rakyat. Mereka dengan seenaknya saja mencoba menangkap penyidik KPK yang sedang ditugaskan menyidik kasus korupsi lembaga kepolisian republik ini. Kejadian ini berawal dari aksi KPK yang menemukan adanya dugaan korupsi atas penyediaan alat simulator tes pembuatan Surat Izin mengemudi. Tak tanggung-tanggung, pejabat tinggi POLRI diduga terlibat. Tak heran jika kemudian pihak kepolisian menghalang-halangi upaya KPK tersebut, dengan dalih bahwa mereka juga penegak hukum dan bisa menyidik sendiri kasus itu.
Kupikir sikap mereka sudah kurang ajar dan tak tahu diri. Sebelumnya mereka menahan tim penyidik yang melakukan penggeledahan di mabes POLRI, menghalangi upaya KPK untuk menyidik kasus ini, menarik seluruh penyidik POLRI yang bertugas di KPK dan kini menangkap salah satu penyidik terbaik yang dimiliki KPK. Mereka bertindak seolah merekalah yang paling punya kuasa. Aku kesal akan hal itu, karenanya aku datang ke sana. Aku tak tahu bahwa niatan itu rupanya juga ada di benak banyak orang (hampir semuanya anak muda) dan sudah menyebar di jejaring sosial. Saat itu aku sadar, bahwa tak banyak yang bisa kulakukan dengan datang ke sana. Tak ada hal yang bisa kulakukan seorang diri, untuk membantu KPK menghadapi masalahnya. Tapi melihat kerumunan ini tadi, melihat orang-orang yang datang secara spontan, berorasi secara spontan pula, aku menyadari sebuah hal penting. Seorang diri, memang aku tak bisa melakukan apa-apa. Tapi jika seorang-seorang ini berkumpul, kami bisa melakukan segalanya. Karena itulah, biar saja aku datang dan hanya berdiri di antara mereka semua, yang penting aku hadir. Pejabat-pejabat korup itu harus sadar bahwa rakyat ada. We need to let them know, that people do exist!
Kita tak pernah sadar kekuatan yang dimiliki rakyat jika kita semua bersatu. Politisi-politisi dan pejabat busuk itu tak akan bisa apa-apa jika rakyat bersatu. Presiden sekalipun, takkan mampu berbuat apa-apa jika rakyat bersatu. Aku pernah melihatnya sendiri saat aku masih kecil, tahun itu 1998, rakyat bersatu menggulingkan rezim pemerintahan yang bercokol selama 32 tahun.
Kupikir sudah saatnya kita berhenti apatis dan tak peduli soal negara ini. Itulah yang pemerintah inginkan. Mereka akan sangat senang jika kita semua bersikap apatis. Mereka akan senang jika rakyat tak bisa menggalang kekuatan untuk bersatu, karena sebagian besar rakyat sudah apatis dan tak mau tahu. Bayangkan jika malam ini hanya ada 5 orang yang peduli dan datang ke gedung KPK. Puluhan polisi itu akan dengan senang hati melihatnya dan mereka akan dengan leluasa menangkap Novel Baswedan. Itulah yang mereka inginkan! Mereka ingin agar kita tak peduli lagi soal situasi negara ini. Mereka ingin kita semua terpecah, menjadi individu-individu yang tidak bersatu.
Kita perlu bersatu. Oh tak perlulah hal yang besar. Tak perlu berpikir terlalu jauh sampai ingin membuat revolusi. Bayangkan jika malam itu seluruh penduduk Jakarta datang ke gedung KPK dan menentang upaya sepihak polisi. Meski 99%nya hanya datang dan berdiri seperti yang malam itu aku lakukan, itu akan berarti besar sekali. Siapa yang berani melihat rakyat bersatu? Tak ada!
Persatuan adalah penting. Itulah yang disadari para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda! Mereka sadar bahwa organisasi-organisasi yang mengelompokkan diri secara terpisah seperti yang dilakukan oleh Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan sebagainya, tidaklah efektif. Karena itulah para pemuda dari berbagai suku ini mengadakan sumpah pemuda. Mereka sadar bahwa persatuan adalah hal terpenting dalam sebuah pergerakan. Dari sanalah, konsep persatuan Indonesia lahir.
Kuharap saja, kalian yang membaca ini bersedia membuka pikiran kalian. Jika kalian tak mau mengurusi atau terjun ke politik, tak usah dipaksakan. Tapi paling tidak, berhentilah bersikap acuh dan berpikir bahwa negara ini sudah tak bisa dibetulkan. Memang perkara membetulkan negara adalah hal besar, terlalu besar bahkan. Tapi, bagaimana keadaan bisa berubah jika tak ada yang berminat melakukan sesuatu? Bagaimana keadaan bisa berubah jika tak ada yang peduli? Atau dalam agamaku dikatakan “Tuhan takkan mengubah keadaan sebuah kaum, jika kaum tersebut tak mau mengubah keadaan mereka sendiri.”
Mulailah dari hal terkecil saja, hal paling mendasar dalam diri kalian masing-masing; Mencoba untuk peduli. Mari kita tunjukkan pada mereka, bahwa rakyat ada! Dan tidak pasrah pula bodoh! Semua orang bisa berperan, sekecil apapun itu. Seperti yang kulakukan dengan datang ke gedung KPK hanya untuk menunjukkan bahwa aku ada. Atau seperti yang supir taksi tadi lakukan padaku saat mengantar ke gedung KPK;
Pada saat kami akhirnya sampai di depan gedung, ia menepikan kendaraannya. Kulihat argo dan menyiapkan uang, namun tiba-tiba saja supir taksi itu berkata,
“Nggak apa-apa mas, nggak usah bayar.”
Aku diam. Supir taksi ini tentu butuh kejar setoran, karenanya ia masih keliling sampai larut malam. Tapi aku juga tak mau menyakiti perasaannya yang ingin memberikan kontribusi melalui cara yang bisa ia lakukan. Dengan segala pertimbangan itu, akhirnya kuputuskan. Aku hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih banyak, dan turun dari taksi. Terberkatilah ia, dan saudara-saudaraku yang meluangkan waktu untuk berjuang dalam segala keterbatasan yang mereka punya.
6 Oktober 2012
Ario Sasongko
#SaveIndonesia