Semua bersumber pada sebuah situasi miris yang sedang terjadi belakangan ini; Kelangkaan tempe dan tahu karena naiknya harga kacang kedelai import. Rupanya peristiwa tersebut tak luput dari perhatian gadisku ini. Gelombang demi gelombang kritik, kekesalan dan kekecewaan ia luapkan sedemikian rupa. Ya, aku setuju dengan logikanya. Bagaimana mungkin negara kita yang kaya dengan sumber daya alam ini, dapat terkena pengaruh akibat harga kacang kedelai import yang melonjak tinggi? Selain itu, apa yang terjadi sekarang adalah dampak dari kebijakan pemerintah yang amat meleset, dimana ia lebih memilih untuk menghabiskan anggaran untuk melakukan import, ketimbang menginvestasikannya untuk pemberdayaan unit usaha lokal yang berbasis pada sumber daya alam (dan Indonesia sejak ratusan tahun lalu tersohor akan tanahnya yang subur dan sumber daya alamnya yang melimpah).
Menulis adalah budaya yang patut dilestarikan. Kupikir demikian. Terutama di negeri ini. Setahuku, masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan budaya lisannya. Kita semua banyak berpikir, banyak resah, banyak mengkritisi, dan banyak gagasan. Namun, akan amat disayangkan jika segala itu hanya disalurkan melalui suara, lisan yang akan segera menguap setelah diucapkan. Apalah arti dari banyak bicara dalam keseharian? Resah ini itu, mengkritisi ini itu jika hanya diucapkan saja. Perubahan takkan terjadi jika segala gagasan dijewantahkan hanya sekedar dalam bentuk ucapan.
Setiap orang punya gagasan, namun sebagian besar hanya mengendapkan itu di kepala mereka, atau menguapkannya dalam bentuk ocehan. Aku amat menyayangkan hal itu. Orator ulung sekalipun, akan abadi segala orasinya ketika segala gagasan itu kemudian tertulis. Tak ada seorang oratorpun yang pernah berorasi setiap hari berkeliling menyebarkan gagasannya, murni melalui ocehan dan dilakukannya selama puluhan tahun. Memang hal tersebut masih lebih baik ketimbang orang-orang yang menyimpan gagasannya untuk dirinya sendiri. Namun, tetap saja, kedua sikap tersebut tak sepenuhnya membawa efek jangka panjang.
Segala gagasan menjadi abadi dalam tulisan. Itulah mengapa sampai hari ini orang-orang masih dapat membahas gagasan Plato, Socrates, Aristoteles, Kierkegaard, Sartre, Hegel, Marx, dan filsuf-filsuf lainnya dari rentang sebelum masehi sampai abad pertengahan masehi, dan seterusnya. Menulis adalah sebuah budaya dan gaya hidup yang amat penting demi melestarikan jati diri dan gagasan. Apa jadinya jika proklamasi negeri ini tak pernah dituliskan oleh Soekarno? Apa jadinya jika isi sumpah pemuda tak pernah dituliskan oleh anak-anak muda yang mendeklarasikannya? Apa jadinya jika pancasila hanya disampaikan secara lisan dari tahun ke tahun? Semua itu sudah pasti akan dilupakan saat ini jika saja segala gagasan itu tak pernah dituliskan.
Tak ada yang salah dengan menulis. Terlebih di era informatika seperti saat ini. Tulis gagasanmu di internet, sebarkan dan tulisan itu akan dibaca oleh semua orang di seluruh penjuru nusantara. Dengan demikianlah, kau dapat menyebarkan gagasanmu secara lebih luas dan efektif. Misalnya demikan.
Sampai kapan pun aku adalah orang yang akan terus percaya, bahwa dengan menulislah sebuah gagasan dapat menjadi sesuatu yang abadi dan akan terus tersebar dari generasi ke generasi. Gagasanmu takkan menguap dengan sia-sia jika kau menuliskannya. Jika kau anggap gagasanmu adalah sebuah jawaban dari situasi masyarakat, maka tulisanmu itu berpotensi membawa perubahan (setidaknya perubahan kesadaran).
Ada banyak hal yang dapat dicapai dengan menulis. Itulah mengapa aku melakukannya.
Mari menulis, kawan!
28 Juli 2012
Ario Sasongko