Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan menuju Jogja, aku berkenalan dengan seorang perempuan dan temannya perempuan Perancis. Perkenalan itu terjadi di dalam sebuah mobil travel yang sama-sama kami tumpangi (akibat kehabisan tiket kereta). Kami berbincang semalaman, menggunakan bahasa Inggris, yang rasanya fasih dan normal-normal saja. Perbincangan itu kemudian, ditanggapi oleh Pak Mul, sang supir. "Wah, masnya sama mbaknya, belajar bahasa inggris dari kapan? Kok jago sekali?"
Aku memang pernah ikut program belajar bahasa inggris, demi mempelajari grammar dengan baik. Sementara itu, kenalan baruku menjelaskan bahwa sejak kecil ia memang dididik bahasa inggris dengan keras oleh ayahnya, bahkan ketika kecil, jika melakukan kesalahan, ia diharuskan untuk berpidato menggunakan bahasa inggris. Pak Mul terkagum-kagum dengan penjelasan yang terakhir, karena ia sendiri sama sekali tak bisa bicara bahasa asing.
Di Jogja, pada sebuah kesempatan, aku bertemu dengan teman lamaku, kami pernah sekolah di SD yang sama, dulu ketika aku masih tinggal di Bali. Dalam perbincangan nostalgia mengenang masa kecil itu, temanku berpendapat bahwa kurikulum pendidikan bahasa Inggris di SD kami, agak lebih maju dibandingkan sekolah lain. Hal ini terasa ketika temanku pindah ke kota lain, dan di sekolah barunya ia menerima materi pelajaran bahasa Inggris yang sudah pernah ia pejalari di sekolah kami-bahkan materi itu sudah kami pelajari setahun lebih awal.
Kupikir, memang dengan tuntutan perkembangan zaman yang seperti sekarang ini, kemampuan berbahasa asing memang menjadi kebutuhan yang sangat penting. Bahkan, keponakan-keponakanku yang masih berusia 4-5 tahun sudah sangat fasih berbahasa Inggris, dan menjadi bahasa kedua mereka.
Yah, hal ini terdengar wajar-wajar saja memang. Hanya saja, ada perasaan mengganjal di hatiku, ketika selama di Jogja itu, aku sama sekali tak mengerti percakapan yang menggunakan bahasa Jawa. Aku berdarah Jawa, ayahku seorang Jawa, dan aku sering pergi ke Jawa. Tapi mengapa aku tak bisa bahasa Jawa? Pernah ada seorang pria setengah baya, pria Solo tulen, yang berkata padaku; Ah, anak muda jago ngomong bahasa Inggris itu biasa. Kalo jago bahasa Jawa, nah itu baru luar biasa! Yang harus kita tangkap dalam pernyataan itu, bukan berarti bahasa Jawa adalah bahasa yang agung. Penyataan itu lebih menekankan pada, adanya semacam sistem yang telah melunturkan nilai-nilai luhur budaya yang kita kandung di dalam darah kita.
Pembahasan ini, tak bisa dipukul rata dalam skala wacana umum, memang. Ada pula konteks kebutuhan-kebutuhan yang membuat penguasaan bahasa, memiliki prioritas-prioritas tertentu. Namun, itu tadi, apakah pemahaman bahasa, memang hanya faktor skala kebutuhan? Atau ada semacam perbedaan sosiologis dalam lingkup keluarga, yang membuat setiap orang memiliki pola yang berbeda-beda dalam proses pemahaman bahasa sejak kecil? Lalu bagaimana ketika fenomena ini dipandang dalam wacana kearifan lokal? Ah, apa pula lokal itu harus diagungkan atau dijaga? Relevansi zaman?
Lucu sekali, ketika kemudian aku mengingat-ingat perjalananku ke Jogja kemarin. Dalam sebuah ketika, mobil travel yang kutumpangi sempat mengerem mendadak. Semua orang terkejut. Ada satu hal yang tidak aku antisipasi, adalah ketika perempuan Perancis yang juga menumpang di dalam mobil tersebut, ikut terkejut dan dengan refleks dia berteriak; Eh, Asu!
29. Januari. 2012
Ario Sasongko
* Asu=Anjing-dalam bahasa Jawa.
Di Jogja, pada sebuah kesempatan, aku bertemu dengan teman lamaku, kami pernah sekolah di SD yang sama, dulu ketika aku masih tinggal di Bali. Dalam perbincangan nostalgia mengenang masa kecil itu, temanku berpendapat bahwa kurikulum pendidikan bahasa Inggris di SD kami, agak lebih maju dibandingkan sekolah lain. Hal ini terasa ketika temanku pindah ke kota lain, dan di sekolah barunya ia menerima materi pelajaran bahasa Inggris yang sudah pernah ia pejalari di sekolah kami-bahkan materi itu sudah kami pelajari setahun lebih awal.
Kupikir, memang dengan tuntutan perkembangan zaman yang seperti sekarang ini, kemampuan berbahasa asing memang menjadi kebutuhan yang sangat penting. Bahkan, keponakan-keponakanku yang masih berusia 4-5 tahun sudah sangat fasih berbahasa Inggris, dan menjadi bahasa kedua mereka.
Yah, hal ini terdengar wajar-wajar saja memang. Hanya saja, ada perasaan mengganjal di hatiku, ketika selama di Jogja itu, aku sama sekali tak mengerti percakapan yang menggunakan bahasa Jawa. Aku berdarah Jawa, ayahku seorang Jawa, dan aku sering pergi ke Jawa. Tapi mengapa aku tak bisa bahasa Jawa? Pernah ada seorang pria setengah baya, pria Solo tulen, yang berkata padaku; Ah, anak muda jago ngomong bahasa Inggris itu biasa. Kalo jago bahasa Jawa, nah itu baru luar biasa! Yang harus kita tangkap dalam pernyataan itu, bukan berarti bahasa Jawa adalah bahasa yang agung. Penyataan itu lebih menekankan pada, adanya semacam sistem yang telah melunturkan nilai-nilai luhur budaya yang kita kandung di dalam darah kita.
Pembahasan ini, tak bisa dipukul rata dalam skala wacana umum, memang. Ada pula konteks kebutuhan-kebutuhan yang membuat penguasaan bahasa, memiliki prioritas-prioritas tertentu. Namun, itu tadi, apakah pemahaman bahasa, memang hanya faktor skala kebutuhan? Atau ada semacam perbedaan sosiologis dalam lingkup keluarga, yang membuat setiap orang memiliki pola yang berbeda-beda dalam proses pemahaman bahasa sejak kecil? Lalu bagaimana ketika fenomena ini dipandang dalam wacana kearifan lokal? Ah, apa pula lokal itu harus diagungkan atau dijaga? Relevansi zaman?
Lucu sekali, ketika kemudian aku mengingat-ingat perjalananku ke Jogja kemarin. Dalam sebuah ketika, mobil travel yang kutumpangi sempat mengerem mendadak. Semua orang terkejut. Ada satu hal yang tidak aku antisipasi, adalah ketika perempuan Perancis yang juga menumpang di dalam mobil tersebut, ikut terkejut dan dengan refleks dia berteriak; Eh, Asu!
29. Januari. 2012
Ario Sasongko
* Asu=Anjing-dalam bahasa Jawa.