Oke, saat itu aku jatuh cinta dengan jenis musik asing yang kudengar tersebut, walau aku tak tahu namanya. PR matematikaku juga ajaib bisa dengan cepat selesai karena musik tersebut. Selang beberapa waktu, dan aku juga baru sadar ternyata durasi musik tersebut cukup panjang, penyiar radio menutup segmen musik ini, dengan kalimat yang samar-samar masih kuingat; Pendengar, demikianlah sebuah karya yang indah (aku lupa judulnya) karya (aku juga lupa siapa komposernya), memang sangat menyenangkan sekali mendengarkan musik klasik di malam hari, apalagi kalau didengarkan menjelang tidur malam anda, dst."
Ah, saat mendengar penjelasan penyiar itulah, kemudian aku mengetahui bahwa jenis musik asing yang baru saja kudengar itu, bernama musik klasik. Sayang sekali, program musik klasik tersebut keburu habis, tepat ketika aku menyelesaikan PR-ku. Sebenarnya aku ingin mendengarkan musik klasik menjelang tidur, sama seperti anjuran sang penyiar radio, namun malam itu niatanku bertepuk sebelah tangan. Walau, dalam hati aku bertekad untuk belajar lebih awal di esok hari, hingga aku bisa tidur lebih cepat sambil mendengarkan musik klasik tersebut.
Sudahlah itu esoknya, ketika hari baru menjelang malam, aku langsung belajar sehabis mengaji, kemudian mencari-cari siaran radio yang memutar musik klasik. Walau sayang sekali aku tak dapat menemukannya, aku tak tahu gelombang stasiun radio yang kemarin kudengarkan, maklumlah radio di zaman itu belum menggunakan visualisasi digital, sehingga agak sulit mencari gelombang stasiun radio yang sama, paling tidak bagi anak usia 8-9 tahun seperti diriku pada masa itu. Karena putus asa, akhirnya aku berkata kepada keluargaku, yang saat itu sedang berkumpul di ruang keluarga, aku mengatakan ini lebih khusus kutujukan kepada ayahku, karena bagiku kala itu beliau adalah solusi untuk segala hal.
"Pah, malem ini aku mau tidur sambil denger lagu klasik."
Seisi ruangan tertawa. Bahkan kakak perempuanku berkomentar bahwa aku hanya sok tahu dan tak benar-benar mengerti, bahkan belum pernah mendengar seperti apa musik klasik itu. Sepertinya, ucapanku tersebut dianggap sebatas hanya lelucon bagi mereka. Setelah malam itupun, aku tak pernah benar-benar mendengarkan musik klasik lagi.
Entah kapan kiranya aku kemudian aku hingga kini justru sangat akrab dengan musik jenis tersebut, terutama ketika aku sedang menulis. Keinginan masa kecilku, yang kala itu dianggap lelucon, rupanya menjadi keseriusan yang tertanam di alam bawah sadar, hingga akhirnya mencuat ketika aku dewasa. Terdengar membosankan memang. Bagaimana pula aku harus mengelak, karena sejak malam itu, yang entah disebut kebetulan atau suratan, aku berkenalan dengan musik asing yang masih aku cintai hingga kini.
Ya, sukailah apa yang kau sukai.
20.01.2012
Ario Sasongko