Ibadah solat Jum'atku hari ini diakhiri dengan khotbah yang dramatis. "Kita sebagai umat muslim, pilihlah pemimpin yang seiman." Titik!
Sudah lebih dari sekali aku mendengar kabar ini, bahwa ulama-ulama di luar sana menyelipkan pesanan politik dalam menyampaikan khotbah mereka. Pesanan politik ini diidentikkan dengan ajang pemilihan Gurbernur DKI Jakarta jilid 2 yang akan berlangsung pada bulan September ini. Tentu bagi kalian yang sering mengikuti berita nasional, takkan luput dari kabar semacam itu. Begitupun denganku dan kebetulan baru hari inilah aku mengalaminya pula secara empiris.
Sudah lebih dari sekali aku mendengar kabar ini, bahwa ulama-ulama di luar sana menyelipkan pesanan politik dalam menyampaikan khotbah mereka. Pesanan politik ini diidentikkan dengan ajang pemilihan Gurbernur DKI Jakarta jilid 2 yang akan berlangsung pada bulan September ini. Tentu bagi kalian yang sering mengikuti berita nasional, takkan luput dari kabar semacam itu. Begitupun denganku dan kebetulan baru hari inilah aku mengalaminya pula secara empiris.
Budaya politik di kota Jakarta ini sudah keterlaluan, menurutku demikian. Apa-apaan itu menyelipkan urusan politik dalam kegiatan keagamaan. Apakah mereka sebagai seorang ulama, yang memiliki predikat ahli agama dan ucapannya didengar ratusan orang, pantas bersikap dan mengeluarkan penyataan garis keras semacam itu? Jika konteksnya adalah negeri ini sebagai negara islam, budaya semacam itu masih dapat ditoleransi. Namun faktanya, kita hidup di negeri plural dimana ada lebih dari satu agama yang diakui di tanah yang kita pijak ini. Bukankah penyataan semacam itu justru makin memperlebar jarak antara satu agama dan agama lainnya?
Urusan agama dan politik di negeri ini memang makin lama makin keterlaluan. Sudah sejak dahulu, agama dijadikan alat untuk memberikan doktrin dan prasangka buruk terhadap ideologi politik seseorang. Mari kuberikan sebuah contoh yang mengerikan: Komunis. Jika kita mendengar satu kata ini, tentu akan muncul kengerian. Akan muncul adegan pembunuhan para perwira angkatan darat pada tahun 1965. Akan muncul visual orang-orang bengis menggunakan arit dan berbagai macam tindakan sadisnya. Aku bukan seorang komunis, sama sekali tak akrab dengan dunia dan ideologi itu, hanya saja ada sebuah kenyataan menyedihkan mengenai hal itu yang membuatku pernah melakukan riset mendalam terhadap peristiwa pasca G30S; Bahwa agama dijadikan alat untuk melakukan pembantaian.
Setelah peristiwa pembunuhan perwira angkatan darat tahun 1965, isu tentang agama mulai berhembus di seluruh penjuru negeri. Dikatakan bahwa para komunis itu adalah seorang atheis yang tak percaya Tuhan, tak percaya agama. Isu itulah yang kemudian menjadi kayu bakar dari panasnya situasi politik, dimana masyarakatpun sudah geram dengan kabar pembunuhan para perwira angkatan darat tersebut. Inilah yang terjadi, ketika kemudian ribuan bahkan puluhan ribu rakyat tak berdosa dibantai secara sepihak, dibunuh dengan tanpa ampun, hanya karena mereka dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang yang dibantai ini, sebagian besar hanya simpatisan yang mendukung PKI yang bervisi membela kaum miskin. Sebagian besar lagi hanyalah orang-orang miskin yang dibantai akibat pernah mengantri pada acara bagi-bagi bahan pangan yang dilakukan oleh PKI. Orang-orang yang mati dibantai ini, sebagian besar pula hanyalah petani-petani buta huruf yang tak tahu apa-apa tentang politik. Mereka mati tanpa tahu apa dosa mereka, kecuali sebagai orang-orang kecil yang berharap kesejahteraan hidup mereka membaik, atau ikut mengantri bahan pangan yang dilakukan oleh sebuah partai politik.
Aku bukan pembela komunis. Aku sampaikan disini, meski fakta dari tragedi G30S itu masih tak jelas kebenarannya, namun jika PKI memang dalangnya, salahkanlah partai tersebut. Jika memang PKI otak dari pembunuhan para perwira angkatan darat tersebut, tangkaplah orang-orang yang dianggap bertanggung jawab. Mengapa kemudian harus sampai membawa-bawa isu agama segala macam, hingga terjadilah pembataian terhadap orang-orang yang tak bersalah? Majalah time pernah merilis bahwa jumlah korban dalam pembantaian pasca G30S, mencapai 100.000 jiwa. Bayangkan jumlah sebanyak itu mati bergelimpangan akibat isu agama yang dibawa-bawa dalam khasanah politik. Peristiwa itu adalah salah satu bukti bagaimana mengerikannya jika urusan agama dibawa-bawa dalam kegiatan politik.
Apakah negeri ini tak cukup dengan isu sara? Kita hidup dengan keberagaman etnis, bahasa, agama, warna kulit, dan budaya. Ini ada sebuah hal yang salah kaprah dalam budaya berpolitik negeri ini. Menurut saya, lebih mengerikan seorang koruptor dibandingkan dengan seorang pemimpin yang berbeda agama. Lebih mengerikan pemimpin munafik yang hanya bisa memuaskan perut sendiri, ketimbang pemimpin yang berbeda agama. Lebih mengerikan pemimpin yang telah menghancurkan negara ini namun berkata bahwa ia telah melakukan kebaikan, ketimbang pemimpin yang berbeda agama. Apakah pantas kita mempertanyakan moral seseorang, hanya karena orang itu berbeda agama dengan kita? Dengan adanya isu-isu semacam itu, kupikir justru semakin memperuncing hubungan antar agama. Jika kemudian terjadi kerusuhan agama di kota Jakarta, apakah para ulama dan ustad yang sudah berkhotbah itu mau bertanggung jawab? Apakah MUI dengan fatwa "haram memilih pemimpin non-islam" mau bertanggung jawab? Apakah tak cukup tragedi kerusuhan politik Mei 98 yang salah satunya disebabkan oleh sentimen perbedaan etnis?
Fenomena politik SARA semacam ini sudah semakin menyedihkan. Paling tidak aku merasakan kesedihan tersebut. Bagiku, yang terpenting adalah memilih pemimpin yang jujur, bersih, berdedikasi dan dekat dengan rakyatnya. Jangan jadikan tempat ibadah sebagai tempat berpolitik, mendoktrinkan sebuah pemahaman, atau menjelek-jelekkan orang lain. Mari kita jadikan kegiatan berpolitik ini menjadi kegiatan sehat dan menggunakan pikiran yang logis.
Agama bukanlah halangan untuk melakukan kebaikan. Sifat yang satu ini memanglah universal. Semua orang layak, pantas dan berhak untuk berbuat baik, terlepas dari apapun agamanya. Demikianlah seharusnya kita memilih calon pemimpin kita kelak. Pilihlah yang memang berdasarkan kemampuan mereka, visi mereka, dan dedikasi mereka, tanpa perlu mempermasalahkan apapun agama mereka.
Aku jadi teringat apa yang pernah diucapkan oleh seorang ulama dan putra bangsa yang sangat kukagumi, Gus Dur; Tak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu. Kira-kira demikianlah yang beliau ucapkan.
Urusan agama dan politik di negeri ini memang makin lama makin keterlaluan. Sudah sejak dahulu, agama dijadikan alat untuk memberikan doktrin dan prasangka buruk terhadap ideologi politik seseorang. Mari kuberikan sebuah contoh yang mengerikan: Komunis. Jika kita mendengar satu kata ini, tentu akan muncul kengerian. Akan muncul adegan pembunuhan para perwira angkatan darat pada tahun 1965. Akan muncul visual orang-orang bengis menggunakan arit dan berbagai macam tindakan sadisnya. Aku bukan seorang komunis, sama sekali tak akrab dengan dunia dan ideologi itu, hanya saja ada sebuah kenyataan menyedihkan mengenai hal itu yang membuatku pernah melakukan riset mendalam terhadap peristiwa pasca G30S; Bahwa agama dijadikan alat untuk melakukan pembantaian.
Setelah peristiwa pembunuhan perwira angkatan darat tahun 1965, isu tentang agama mulai berhembus di seluruh penjuru negeri. Dikatakan bahwa para komunis itu adalah seorang atheis yang tak percaya Tuhan, tak percaya agama. Isu itulah yang kemudian menjadi kayu bakar dari panasnya situasi politik, dimana masyarakatpun sudah geram dengan kabar pembunuhan para perwira angkatan darat tersebut. Inilah yang terjadi, ketika kemudian ribuan bahkan puluhan ribu rakyat tak berdosa dibantai secara sepihak, dibunuh dengan tanpa ampun, hanya karena mereka dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang yang dibantai ini, sebagian besar hanya simpatisan yang mendukung PKI yang bervisi membela kaum miskin. Sebagian besar lagi hanyalah orang-orang miskin yang dibantai akibat pernah mengantri pada acara bagi-bagi bahan pangan yang dilakukan oleh PKI. Orang-orang yang mati dibantai ini, sebagian besar pula hanyalah petani-petani buta huruf yang tak tahu apa-apa tentang politik. Mereka mati tanpa tahu apa dosa mereka, kecuali sebagai orang-orang kecil yang berharap kesejahteraan hidup mereka membaik, atau ikut mengantri bahan pangan yang dilakukan oleh sebuah partai politik.
Aku bukan pembela komunis. Aku sampaikan disini, meski fakta dari tragedi G30S itu masih tak jelas kebenarannya, namun jika PKI memang dalangnya, salahkanlah partai tersebut. Jika memang PKI otak dari pembunuhan para perwira angkatan darat tersebut, tangkaplah orang-orang yang dianggap bertanggung jawab. Mengapa kemudian harus sampai membawa-bawa isu agama segala macam, hingga terjadilah pembataian terhadap orang-orang yang tak bersalah? Majalah time pernah merilis bahwa jumlah korban dalam pembantaian pasca G30S, mencapai 100.000 jiwa. Bayangkan jumlah sebanyak itu mati bergelimpangan akibat isu agama yang dibawa-bawa dalam khasanah politik. Peristiwa itu adalah salah satu bukti bagaimana mengerikannya jika urusan agama dibawa-bawa dalam kegiatan politik.
Apakah negeri ini tak cukup dengan isu sara? Kita hidup dengan keberagaman etnis, bahasa, agama, warna kulit, dan budaya. Ini ada sebuah hal yang salah kaprah dalam budaya berpolitik negeri ini. Menurut saya, lebih mengerikan seorang koruptor dibandingkan dengan seorang pemimpin yang berbeda agama. Lebih mengerikan pemimpin munafik yang hanya bisa memuaskan perut sendiri, ketimbang pemimpin yang berbeda agama. Lebih mengerikan pemimpin yang telah menghancurkan negara ini namun berkata bahwa ia telah melakukan kebaikan, ketimbang pemimpin yang berbeda agama. Apakah pantas kita mempertanyakan moral seseorang, hanya karena orang itu berbeda agama dengan kita? Dengan adanya isu-isu semacam itu, kupikir justru semakin memperuncing hubungan antar agama. Jika kemudian terjadi kerusuhan agama di kota Jakarta, apakah para ulama dan ustad yang sudah berkhotbah itu mau bertanggung jawab? Apakah MUI dengan fatwa "haram memilih pemimpin non-islam" mau bertanggung jawab? Apakah tak cukup tragedi kerusuhan politik Mei 98 yang salah satunya disebabkan oleh sentimen perbedaan etnis?
Fenomena politik SARA semacam ini sudah semakin menyedihkan. Paling tidak aku merasakan kesedihan tersebut. Bagiku, yang terpenting adalah memilih pemimpin yang jujur, bersih, berdedikasi dan dekat dengan rakyatnya. Jangan jadikan tempat ibadah sebagai tempat berpolitik, mendoktrinkan sebuah pemahaman, atau menjelek-jelekkan orang lain. Mari kita jadikan kegiatan berpolitik ini menjadi kegiatan sehat dan menggunakan pikiran yang logis.
Agama bukanlah halangan untuk melakukan kebaikan. Sifat yang satu ini memanglah universal. Semua orang layak, pantas dan berhak untuk berbuat baik, terlepas dari apapun agamanya. Demikianlah seharusnya kita memilih calon pemimpin kita kelak. Pilihlah yang memang berdasarkan kemampuan mereka, visi mereka, dan dedikasi mereka, tanpa perlu mempermasalahkan apapun agama mereka.
Aku jadi teringat apa yang pernah diucapkan oleh seorang ulama dan putra bangsa yang sangat kukagumi, Gus Dur; Tak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu. Kira-kira demikianlah yang beliau ucapkan.
1 September 2012
Ario Sasongko