"Hm, Ini anggur bagus.. Tahun berapa?"
"1935."
"Oh.."
Dan dikecapnya cita rasa itu, yang membuai dan membawa kembali semacam nuansa di tahun 1935.
Ada yang mengatakan padaku, peminum angggur sejati, pasti mengerti perasaan ketika mengecapkan aroma anggur di lidah mereka dan di saat yang sama, akan terbayang suasana perkebunan anggur itu, sebuah cita rasa yang membawa penikmatnya ke dalam nuansa yang nyaman dan damai.
"1935."
"Oh.."
Dan dikecapnya cita rasa itu, yang membuai dan membawa kembali semacam nuansa di tahun 1935.
Ada yang mengatakan padaku, peminum angggur sejati, pasti mengerti perasaan ketika mengecapkan aroma anggur di lidah mereka dan di saat yang sama, akan terbayang suasana perkebunan anggur itu, sebuah cita rasa yang membawa penikmatnya ke dalam nuansa yang nyaman dan damai.
Aku bukan penikmat anggur, pernah dalam beberapa acara mencicipinya dan tak bisa pula aku membedakan mana anggur bagus dan mana anggur buruk.
Hanya saja, kupikir demikianlah pula perasaan yang kualami ketika membaca sebuah puisi. Puisi, bagiku selalu membawa sebuah nuansa, semacam sepotong suasana. Ini tidak akhirnya puisi harus sebuah yang, em, semacam melankolis. Puisi-puisi perjuangan, atau kemarahan juga memiliki nuansa mereka masing-masing. Ini pula tak berarti harus menggunakan kalimat-kalimat yang diperumit dengan estetika keindahan. Kau tentu tahu beberapa penulis yang tidak seperti itu.
Betapapun itu bentuknya, bagiku puisi adalah fragmen-fragmen nuansa. Sama seperti anggur yang selalu tertuang seperempat gelas saja, dengan bentuk gelas yang khas mencembung dan tangkai panjangnya. Demikianlah aku selalu menikmatinya yang tanpa sadar terbawa dalam hidupku. Aku menyukai sepotong-sepotong nuansa itu, yang kadang muncul dan menghilang. Demikianlah, aku menyadari bahwa aku bukan penulis puisi yang bagus.
Ario Sasongko
1 April 2012
Hanya saja, kupikir demikianlah pula perasaan yang kualami ketika membaca sebuah puisi. Puisi, bagiku selalu membawa sebuah nuansa, semacam sepotong suasana. Ini tidak akhirnya puisi harus sebuah yang, em, semacam melankolis. Puisi-puisi perjuangan, atau kemarahan juga memiliki nuansa mereka masing-masing. Ini pula tak berarti harus menggunakan kalimat-kalimat yang diperumit dengan estetika keindahan. Kau tentu tahu beberapa penulis yang tidak seperti itu.
Betapapun itu bentuknya, bagiku puisi adalah fragmen-fragmen nuansa. Sama seperti anggur yang selalu tertuang seperempat gelas saja, dengan bentuk gelas yang khas mencembung dan tangkai panjangnya. Demikianlah aku selalu menikmatinya yang tanpa sadar terbawa dalam hidupku. Aku menyukai sepotong-sepotong nuansa itu, yang kadang muncul dan menghilang. Demikianlah, aku menyadari bahwa aku bukan penulis puisi yang bagus.
Ario Sasongko
1 April 2012