Solidaritas, Cinta, dan Anarki!
Beberapa waktu yang lalu terjadi pendudukan pelabuhan Sape oleh para petani Bima - Nusa Tenggara Barat, sebagai bentuk aksi langsung penolakan tambang PT Sumber Mineral Nusantara di atas tanah hidup mereka. Sebuah aksi yang seharusnya membuka mata dan hati kita bahwa negara dan kapital adalah musuh besar dan penyebab segala kerusakan tatanan masyarakat saat ini: Bahwa perselingkuhan negara dan kapital harus dibakar habis sampai tidak bersisa. Represi dan kebrutalan militer dengan menembaki para pelaku okupasi pelabuhan Sape merupakan jalan yang ditempuh oleh negara dan kapital untuk menghentikan perjuangan para kombatan di Bima, karena perputaran modal adalah hal yang lebih suci daripada nyawa seseorang.
-------------------------
Aku tak dapat setuju lebih banyak lagi dengan tulisan di atas. Kita hidup di dunia dimana rakyat sudah tak memiliki perwakilan lagi atas konstitusi negara. Ketika sebuah perusahaan merusak rumah rakyat dan menghancurkan sebuah daerah karena dampak dari perusahaan industrinya, orang yang bertanggung jawab justru bebas saja berpolitik bahkan menjadi ketua partai politik. Sementara itu, ketika ada seorang pemuda yang melakukan pengrusakan infrastruktur pemerintah, atas dasar kemarahannya melihat ketidak adilan yang dialami oleh rakyat, justru ditangkap dan dipenjara.
Kalian tentu akan menjawab bahwa cara yang dilakukan oleh Hidayat, pada tulisan di atas, adalah cara yang salah. Lalu, apakah kalian pikir cara pengerusakan yang dilakukan oleh LAPINDO, misalnya, adalah cara yang benar? Apakah kerusakan akibat eksploitasi alam yang tanpa perhitungan sehingga menenggelamkan sebuah daerah dengan lumpur, mematikan masa depan ratusan rakyat, adalah cara yang benar? Apakah cara yang dilakukan oleh PT Sumber Mineral Nusantara, dimana perusahaan tambang itu akan menyebabkan keringnya lahan petani bawang di sekitar pertambangan, adalah cara yang benar? Apakah kalian beranggapan bahwa tindakan yang hanya didasarkan pada orientasi keuntungan pemilik modal dan pembagian hasil tak seimbang dengan pemerintah, meski itu artinya menyengsarakan rakyat di sekitar tambang adalah cara yang benar?
Aku pernah mendengar dongeng tentang demokrasi, tentang negara yang harusnya memikirkan kepentingan rakyat. Aku pernah mendengar dongeng tentang pembangunan sebuah negara, demi mengisi kemerdekaan dan mensejahterakan rakyatnya. Namun, coba kalian lihat di kota kalian masing-masing, apakah pembangunan sedang berlangsung di sana? Jika jawabannya adalah "iya," pertanyaanku selanjutnya adalah, apakah membangunan itu memiliki dampak untuk mengentaskan kemiskinan, atau mengentaskan orang-orang miskin? Apakah ada rakyat-rakyat miskin di dalam rencana pembangunan itu? Di dalam Mall-mall dan pusat perbelanjaan yang mentereng, dalam buangan limbah pabrik yang tak pernah surut, dalam dominasi produk-produk asing yang dengan leluasa bercokol di negeri ini?
Kupikir apa yang telah terjadi di negara ini adalah sebuah kesalahan besar. Kesalahan yang berawal dari datangnya para pemilik modal, yang melakukan lobi kepada pemerintah sambil duduk-duduk menghisap cerutu dan minum anggur, merayu untuk diberikan pengesahan, dan mereka saling jatuh cinta. Negara harusnya terbentuk atas dasar cinta pada rakyatnya, bukan cinta pada pemilik modal.
Ya, kemudian anak-anak muda negeri ini, hidup dalam suasana yang "merdeka", bersenang-senang makan enak, sibuk bercinta-cintaan, lulus kuliah demi mencari pekerjaan. Kaum muda negara ini sudah tanpa keberatan sama sekali, rela meneruskan jalan hidup mereka sebagai budak pemilik modal. Apakah kita memang hidup di negara yang bebas dan merdeka?
Jika memang kita hidup di negara yang semacam itu, mengapa kemudian pemerintah tak bisa dengan mudah mengambil alih perusahaan-perusahaan asing yang bercokol dan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam kita? Mengapa anak-anak muda tidak bisa memiliki pemikiran lain, selain sekedar lulus dan bekerja di sebuah korporasi? Mengapa harus ada petani-petani yang berdemonstrasi sampai menjahit mulut mereka hanya demi menyampaikan ketidak adilan yang mereka rasakan? Mengapa, ketika pemerintah menyatakan tingkat perekonomian negara ini bertambah, namun justru kita tak melihat jumlah orang miskin yang berkurang tiap harinya?
Hmm... Aku tak ingin memaksakan kehendak dengan meminta kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan seperti apa yang kuinginkan. Silahkan merenungkannya, hanya bagi yang ingin. Sebagai sedikit kontemplasi, ini puisi Rendra yang kupikir sangat mewakilkan apa yang kubicarakan di atas;
Puisi Reformasi
Karena kami hidup berhimpit-himpitan
Dan ruangmu berlebihan,
maka kita bukan sekutu…
Karena kami kucel dan kamu gemerlapan,
karena kami terlantar di jalan dan kamu memiliki semua keteduhan,
karena kami kami kebanjiran dan kamu pesta di kapal pesiar,
maka kami tidak menyukaimu…
Karena kami dibungkam dan kamu nyorocos bicara,
Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan,
Maka kami bilang TIDAK kepadamu…
Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan,
Maka TIDAK dan TIDAK kepadamu…
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati,
Maka air akan mengikis batu…
(Puisi ini dibacakan oleh Rendra di depan pimpinan DPR/MPR yang pucat pasi Di era Reformasi pada tanggal 13 Mei 1998, sebuah moment yang monumental dari si burung merak)
----
4 Maret 2012
Ario Sasongko